Perpanjangan Waktu 3 Hari Daftar Pilkada Dinilai Tak Cukup
A
A
A
JAKARTA - Waktu tiga hari yang diberikan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk pendaftaran di tujuh daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon (paslon) tunggal di Pilkada Serentak 2015, dinilai belum cukup.
Hal itu dikatakan peneliti politik senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. Menurutnya, KPU setidaknya diberikan waktu tiga bulan agar parpol bisa mempersiapkan kembali.
"Tiga hari terlalu pendek, karena ada partai yang masih friksi (PPP-Golkar) dan kita baru selesai pileg dan pilpres. Parpol (partai politik) masih dalam keadaan letih," kata Siti di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (6/8/2015).
Menurut Siti, jika tujuh hari tersebut diberikan waktu yang cukup, maka parpol akan mengkalkulasikan kembali kekuatan politik agar bisa mengusung paslon.
"Partai akan kembali me-review dirinya sendiri, dan calon yang dikatakan sebagai calon boneka akan tergerak hatinya untuk tidak sekadar menjadi calon boneka," ucapnya.
Siti berpandangan, munculnya fenomena paslon tunggal di tujuh daerah itu disebabkan oleh tiga hal. Pertama, Undang-undang (UU) Nomor 8/2015 tentang Pilkada merupakan UU baru, di satu sisi UU ini menghadirkan pasal-pasal baru.
"Misalnya calon perorangan yang persyaratannya luar biasa, padahal mereka tidak punya mesin partai. Prosentase KTP yang dibuat sebegitu besarnya, membuat calon perorangan memang tidak dikehendaki," jelasnya.
Kedua lanjutnya, ada asumsi salah bahwa calon petahana itu segalanya. Mereka punya kekuasaan materi, dukungan politik, dan popularitas. Sebaiknya, jangan langsung diasumsikan bahwa petahana itu segalanya, tapi harus diasumsikan bahwa kompetisi harus hadir dalam Pilkada Serentak.
"Para perumus UU Pilkada tidak salah. Asumsinya kan masa iya sih dengan 10 partai di DPR ini tidak dapat mengusung calon. Sekarang kita tanyakan pertanggungjawaban parpol, kalau sudah memenuhi syarat ya maju dong!" tegasnya.
Pilihan:
Kekuatan Marinir Indonesia Masuk Tiga Besar di Dunia
Jokowi Klaim Pasal Penghinaan Presiden Warisan Rezim SBY
Hal itu dikatakan peneliti politik senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro. Menurutnya, KPU setidaknya diberikan waktu tiga bulan agar parpol bisa mempersiapkan kembali.
"Tiga hari terlalu pendek, karena ada partai yang masih friksi (PPP-Golkar) dan kita baru selesai pileg dan pilpres. Parpol (partai politik) masih dalam keadaan letih," kata Siti di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (6/8/2015).
Menurut Siti, jika tujuh hari tersebut diberikan waktu yang cukup, maka parpol akan mengkalkulasikan kembali kekuatan politik agar bisa mengusung paslon.
"Partai akan kembali me-review dirinya sendiri, dan calon yang dikatakan sebagai calon boneka akan tergerak hatinya untuk tidak sekadar menjadi calon boneka," ucapnya.
Siti berpandangan, munculnya fenomena paslon tunggal di tujuh daerah itu disebabkan oleh tiga hal. Pertama, Undang-undang (UU) Nomor 8/2015 tentang Pilkada merupakan UU baru, di satu sisi UU ini menghadirkan pasal-pasal baru.
"Misalnya calon perorangan yang persyaratannya luar biasa, padahal mereka tidak punya mesin partai. Prosentase KTP yang dibuat sebegitu besarnya, membuat calon perorangan memang tidak dikehendaki," jelasnya.
Kedua lanjutnya, ada asumsi salah bahwa calon petahana itu segalanya. Mereka punya kekuasaan materi, dukungan politik, dan popularitas. Sebaiknya, jangan langsung diasumsikan bahwa petahana itu segalanya, tapi harus diasumsikan bahwa kompetisi harus hadir dalam Pilkada Serentak.
"Para perumus UU Pilkada tidak salah. Asumsinya kan masa iya sih dengan 10 partai di DPR ini tidak dapat mengusung calon. Sekarang kita tanyakan pertanggungjawaban parpol, kalau sudah memenuhi syarat ya maju dong!" tegasnya.
Pilihan:
Kekuatan Marinir Indonesia Masuk Tiga Besar di Dunia
Jokowi Klaim Pasal Penghinaan Presiden Warisan Rezim SBY
(maf)