Hasil Uji Kompetensi Guru Dievaluasi Ulang
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta mengevaluasi uji kompetensi guru (UKG). Hasil UKG dinilai masih bias lantaran guru masih gagap teknologi (gaptek) dan dilakukan tanpa standar jelas.
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Rochmat Wahab mengatakan guru yang diwajibkan ikut UKG harus diuji dengan komputer. Karena itu, data UKG akan bias jika guru yang mengikuti UKG tidak terampil memakai komputer. ”Hasil ujian tidak bisa dijadikan potret kompetensi guru,” katanya saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.
Rochmat juga mempertanyakan parameter seperti apa yang diujicobakan pada guru dalam UKG. Jika ingin melihat kompetensi guru, tesnya harus dibedakan antara tes pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Dia memandang, UKG sebelumnya dilakukan tanpa ada standar pengukuran yang jelas sehingga hasilnya juga dikatakan bias. Selain itu, tesnya pun tidak hanya teori menjawab soal di depan komputer.
Misalnya tes pedagogik yang ingin mengukur kompetensi guru untuk memahami peserta didik semestinya diuji dengan tes teori dan praktik. Guru besar bidang pendidikan UNY ini bahkan menyerukan, jika pola UKG tahun ini dilakukan dengan pola yang sama, hanya menghamburhamburkan uang negara. Selain itu, Rochmat juga menekankan, tidak perlu 3 juta guru mengikuti UKG.
Cukup guru yang belum ikut UKG yang diwajibkan. ”Sekarang mau dilihat apanya. Apa yang sekarang (UKG) dianggap sudah terstandar sehingga 3 juta guru perlu diuji semuanya. Saya anggap ini pemborosan jika tesnya sama saja,” ungkapnya. UNY dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) merupakan lembaga pendidik tenaga kependidikan (LPTK) yang juga ditunjuk sebagai lokasi UKG sebelumnya.
Rektor UNJ Djaali menjelaskan, kelemahan UKG adalah hasilnya yang bias karena banyak guru yang gaptek dengan komputer. Dia menganggap, jangan-jangan yang Kemendikbud lihat dari UKG adalah kemampuan guru menggunakan teknologi informatika daripada kompetensi.
Padahal, untuk melihat kemampuan guru bukan dari bisa dan tidak guru memakai komputer. Dia menjelaskan, jika melihat dari peraturan perundangan, kompetensi guru memang dilihat dari pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Namun, Djaali memandang, agak sulit jika hanya melihatnya dari tes tertulis.
Dia menyarankan, harus ada penilaian dari rekan sejawat dan atasan langsung guru tersebut. ”Karena yang dinilai itu bagaimana kompetensinya dalam praktik kerja. Tidak hanya pengetahuan potensial, namun juga cerminan sikap dan perilakunya sehari-hari,” katanya.
Sementara itu, pengamat pendidikan Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen menyatakan, harapan yang dinanti dari pemerintah adalah ada tujuan yang jelas dan spesifik apa yang ingin diketahui dari UKG tersebut. Selain itu, juga bagaimana tindak lanjutnya dari data yang diperoleh.
Dia berpendapat, jika sekadar ingin mengetahui situasi dan kondisi guru secara umum, kiranya cukup dengan hasil UKG sebelumnya yang diterapkan bagi 1,6 juta guru saja. Abduhzen menambahkan, Kemendikbud tidak pernah memublikasikan ada upaya perbaikan bagi guru secara individual. Memang agak sulit memetakan kualitas guru hanya melalui tes yang sifatnya kognitif atau uji pengetahuan.
”UKG itu hanya mengukur pengetahuan. Pengetahuan tentang materi ajar, metode dan pengetahuan tentang sikap. Itu tidak mencerminkan sosok guru seutuhnya,” sebutnya.
Neneng zubaidah
Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Rochmat Wahab mengatakan guru yang diwajibkan ikut UKG harus diuji dengan komputer. Karena itu, data UKG akan bias jika guru yang mengikuti UKG tidak terampil memakai komputer. ”Hasil ujian tidak bisa dijadikan potret kompetensi guru,” katanya saat dihubungi KORAN SINDO kemarin.
Rochmat juga mempertanyakan parameter seperti apa yang diujicobakan pada guru dalam UKG. Jika ingin melihat kompetensi guru, tesnya harus dibedakan antara tes pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional. Dia memandang, UKG sebelumnya dilakukan tanpa ada standar pengukuran yang jelas sehingga hasilnya juga dikatakan bias. Selain itu, tesnya pun tidak hanya teori menjawab soal di depan komputer.
Misalnya tes pedagogik yang ingin mengukur kompetensi guru untuk memahami peserta didik semestinya diuji dengan tes teori dan praktik. Guru besar bidang pendidikan UNY ini bahkan menyerukan, jika pola UKG tahun ini dilakukan dengan pola yang sama, hanya menghamburhamburkan uang negara. Selain itu, Rochmat juga menekankan, tidak perlu 3 juta guru mengikuti UKG.
Cukup guru yang belum ikut UKG yang diwajibkan. ”Sekarang mau dilihat apanya. Apa yang sekarang (UKG) dianggap sudah terstandar sehingga 3 juta guru perlu diuji semuanya. Saya anggap ini pemborosan jika tesnya sama saja,” ungkapnya. UNY dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) merupakan lembaga pendidik tenaga kependidikan (LPTK) yang juga ditunjuk sebagai lokasi UKG sebelumnya.
Rektor UNJ Djaali menjelaskan, kelemahan UKG adalah hasilnya yang bias karena banyak guru yang gaptek dengan komputer. Dia menganggap, jangan-jangan yang Kemendikbud lihat dari UKG adalah kemampuan guru menggunakan teknologi informatika daripada kompetensi.
Padahal, untuk melihat kemampuan guru bukan dari bisa dan tidak guru memakai komputer. Dia menjelaskan, jika melihat dari peraturan perundangan, kompetensi guru memang dilihat dari pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Namun, Djaali memandang, agak sulit jika hanya melihatnya dari tes tertulis.
Dia menyarankan, harus ada penilaian dari rekan sejawat dan atasan langsung guru tersebut. ”Karena yang dinilai itu bagaimana kompetensinya dalam praktik kerja. Tidak hanya pengetahuan potensial, namun juga cerminan sikap dan perilakunya sehari-hari,” katanya.
Sementara itu, pengamat pendidikan Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen menyatakan, harapan yang dinanti dari pemerintah adalah ada tujuan yang jelas dan spesifik apa yang ingin diketahui dari UKG tersebut. Selain itu, juga bagaimana tindak lanjutnya dari data yang diperoleh.
Dia berpendapat, jika sekadar ingin mengetahui situasi dan kondisi guru secara umum, kiranya cukup dengan hasil UKG sebelumnya yang diterapkan bagi 1,6 juta guru saja. Abduhzen menambahkan, Kemendikbud tidak pernah memublikasikan ada upaya perbaikan bagi guru secara individual. Memang agak sulit memetakan kualitas guru hanya melalui tes yang sifatnya kognitif atau uji pengetahuan.
”UKG itu hanya mengukur pengetahuan. Pengetahuan tentang materi ajar, metode dan pengetahuan tentang sikap. Itu tidak mencerminkan sosok guru seutuhnya,” sebutnya.
Neneng zubaidah
(bbg)