Pasal Penghinaan Presiden Jadi Polemik

Selasa, 04 Agustus 2015 - 09:09 WIB
Pasal Penghinaan Presiden Jadi Polemik
Pasal Penghinaan Presiden Jadi Polemik
A A A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly sudah menyerahkan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) ke DPR pada 5 Juni lalu.

Dari 786 pasal di RUU KUHP itu terdapat pasal yang menjadi polemik dan bakal alot pembahasannya di DPR yakni tentang pidana penghinaan presiden. Pasal yang sebelumnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

”Secara asas hukum yang berlaku, segala undang-undang atau pasal yang telah dibatalkan oleh MK tidak bisa dibahas atau dihidupkan kembali dalam UU. Tapi, itu biarlah nanti dibahas oleh raker dalam inventarisir masalah,” kata Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Menurut Aziz, putusan MK bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, walaupun pemerintah tetap memaksakan pasal itu untuk masuk, sesuai asas hukum hal itu menjadi sulit diwujudkan. ”Tidak bisa karena negara ini kan negara hukum. Putusan MK itu final dan mengikat. Jadi tidak bisa dihidupkan kembali. Kalaupun dihidupkan kembali, akan langsung dibatalkan MK,” ujarnya.

Dalam RUU KUHP yang diajukan pemerintah, pasal penghinaan presiden terdapat dalam Pasal 263 ayat 1 yang berbunyi: Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Kemudian pasal selanjutnya yang memperluas ruang lingkup Pasal Penghinaan Presiden adalah Pasal 264 yang berbunyi: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV .

Padahal, pasal dengan substansi itu di UU KUHP sudah dihapus oleh MK pada 2006. Tidak hanya menghapus Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP, MK juga memerintahkan pemerintah dan DPR menghapus norma itu dari RUU KUHP.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Masinton Pasaribu berharap usulan pemerintah tersebut tidak langsung disikapi secara antipati. Menurut dia, perlu ada pendalaman lebih lanjut substansi dari pasal tersebut karena bisa jadi yang dimaksud adalah untuk membedakan antara kritik dan penghinaan.

”Ini kan baru RUU. Tentu kita sepakat demokrasi kita tidak boleh mundur, harus maju. Kita akan pilah mana yang menghina dan mengkritik. Kita akan membuat batasan. Dalam pembahasannya nanti akan dikaji,” katanya.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai NasDem Patrice Rio Capella mengatakan, usulan tersebut perlu dikaji secara mendalam karena MK sudah menghapuskan pasal yang berkaitan dengan itu.

Tetapi, dia menilai pengajuan pasal tersebut bukan dilihat dari pantas atau tidak, tetapi putusan MK yang menyatakan bahwa semua warga negara sama di mata hukum. Kendati demikian, Presiden sebagai simbol negara tidak boleh menerima penghinaan.

”Semua warga negara punya hak sama di depan hukum. Walaupun menurut aku, bukan berarti Presiden boleh dihina. Bukan soal pada orang, tapi soal jabatan yang merupakan salah satu simbol sebuah negara,” ujarnya.

Rahmat sahid
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9609 seconds (0.1#10.140)