PBNU Berharap Muktamar Jadi Perekat
A
A
A
JAKARTA - Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama menjadi peristiwa sangat penting dalam perjalanan sejarah NU. Muktamar di Jombang harus bisa menyatukan para tokoh dan kader dalam rangka menyongsong satu abad organisasi ulama ini.
”Muktamar kali ini harus menjadi muktamar persatuan. Jangan sampai muktamar Jombang ini malah me-nyebabkan NU pecah. Muktamar Jombang harus menjadi momentum nahdloh tsaniyah (kebangkitan kedua),” kata Wakil Ketua Umum PBNU KH Asad Said Ali di Jakarta kemarin. Pernyataan disampaikan terkait suasana gelisah menjelang pelaksanaan muktamar, 1- 5 Agustus besok.
Hingga saat ini, para muktamirin atau peserta muktamar dari PWNU dan PCNU seluruh Indonesia belum menyepakati model pemilihan yang akan diterapkan dalam muktamar. Dia meminta pihak-pihak yang terlibat dalam suksesi pemilihan pemimpin baru NU untuk mengedepankan semangat persatuan. ”Jangan sampai di Muktamar Jombang malah ada perpecahan di NU, seperti terjadi di partai politik atau PSSI,” kata alumni Pesantren Krapyak, Yogyakarta ini. Menurut Asad, Muktamar Jombang akan membicarakan langkah-langkah strategis menyongsong peringatan 100 tahun NU.
”Muktamar harus dilandasi semangat menyambut satu abad NU. Organisasi NU adalah organisasi kemasyarakatan yang sangat kuat memegang tawasuth (moderat), tawazun (proporsional), dan tasamuh (toleran),” katanya. NU dianggap paling cocok untuk mengatasi berbagai persoalan keagamaan yang berkembang. Tahun 2014 lalu bahkan warga muslim di Afganistan mendeklarasikan berdirinya organisasi NU Afganistan atau NUA dengan format yang mirip dengan NU yang ada di Indonesia.
NU, menurut Asad, akan tetap menjadi ormas Islam yang besar, bersih, dan berwibawa, serta rahmatan lil alamin. Meski demikian, penataan dan konsolidasi organisasi perlu terus dilakukan di lingkungan internal NU menghadapi berbagai tantangan dan perubahan. Ditambahkan, pada usia menjelang 100 tahun, NU dihadapkan dengan beberapa perkembangan, antara lain warga NU sudah tersebar tidak hanya terkonsentrasi di desa tetapi juga di kota-kota besar di Indonesia.
Selain itu, generasi NU sudah tidak didominasi oleh para ahli agama Islam. ”Kita sekarang punya kekuatan baru yakni kalangan pebisnis, birokrat, akademisi, politisi dan kaum profesional. Semua ingin bergabung menguatkan NU tapi tidak tahu jalannya. Ini perlu kita pikirkan, kalau tidak kader kita ini akan diambil orang lain,” katanya.
PWNU Jatim Putuskan Pilih AHWA
PWNU Jatim akhirnya bersikap tegas terkait polemik sistem pemilihan Rais Aam PBNU pada Muktamar di Jombang, 1- 5 Agustus mendatang. Mereka bersepakat untuk memilih model Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) dan menolak sistem voting. Keputusan tersebut disampaikan Ketua Rois Syuriah PWNU Jatim KH Miftachul Akhyar seusai menggelar pertemuan tertutup dengan 22 pengasuh pondok pesantren di Jatim dan Jateng di kantor PWNU Jatim kemarin.
Kiai Miftach menyatakan bahwa seluruh ulama dan Pengurus Cabang (PCNU) telah bulat memilih model AHWA pada pemilihan Rais Aam nanti. ”Ahlul Halli Wal ‘Aqdi menyesuaikan dengan hasil Munas Alim Ulama NU pada 2 November 2014. AHWA dipandang akan lebih maslahah (kebaikan) dan mengurangi mafasid (keburukan) dalam pemilihan,” tegas KH Miftachul didampingi pimpinan rapat KH Anwar Iskandar kemarin.
Kiai Miftah mengatakan, seluruh peserta rapat sepakat mendukung Ahwa dalam pemilihan Rois Aam PBNU dibandingkan voting karena menjaga martabat ulama sebagai pemegang amanat tertinggi NU dan tidak bertentangan AD/ART. ”Pemilihan khulafaurrasyidin pada masa lalu adalah dipilih dan diangkat oleh Ahwa atau musyawarah mufakat. Itu selalu dilakukan pada masa awal NU berdiri dan Muktamar NU di Situbondo tahun 1984,”klaimnya.
Kiai Miftah menjelaskan, dengan model AHWA tersebut, maka akan ada tim khusus terdiri dari sembilan kiai khos. Mereka inilah yang akan bermusyawarah dan menentukan Rais Aam. Sembilan kiai sendiri lanjut Miftah akan dipilih oleh forum muktamar. ”Mereka yang dipilih juga tidak sembarang. Akan dilihat ketokohannya, kiprahnya dalam NU dan perjuangannya membesarkan NU. Sementara kriteria itu akan ditentukan pada tata tertib. Sehingga tidak akan subyektif,” lanjutnya.
Terkait keputusan PWNU tersebut, Miftah menyerukan kepada seluruh PCNU se-Jatim untuk mengikuti. Mereka dilarang untuk mbalelo dan memilih model voting. ”Struktur di NU ini model komando. Semua keputusan bersifat instruktif dari atas. Jadi, bila PWNU memutuskan AHWA, maka PCNU juga wajib mengikuti,”tegasnya. Sementara itu, keputusan Syuriah PWNU kemarin bertolak belakang dengan pernyataan Ketua PWNU Jatim KH Hasan Mutawakkil Alaallah.
Dia menyatakan bahwa PWNU tidak akan mendukung salah satu model pemilihan. Apakah AHWA maupun voting. Ini dilakukan karena PWNU ingin bersikap netral. ”Saya dukung suksesnya muktamar, karena PWNU Jatim akan menjadi tuan rumah yang baik. Untuk itu tidak dukung AHWA atau voting,” tegas Ketua PWNU Jatim KH Mutawakkil Alaallah. Sebaliknya, pihaknya menyerahkan keputusan AHWA atau voting kepada muktamirin atau peserta muktamar, yang akan membahas masalah tersebut pada sidang pleno soal tata tertib muktamar.
Sementara itu, sejumlah pengasuh ponpes yang hadir pada pertemuan kemarin adalah KH Maimoen Zubair (Rembang, Jateng) dan yang dari Jatim adalah KH Anwar Manshur, KH Abdullah Kafabihi Machrus, KH Zainuddin Djazuli, KH Mas Mansur Thalhah, KH Miftachul Akhyar, KH Nurul Huda Djazuli, KH Idris Hamid, KH Mujib Imron, KH Mas Ahmad Su-badar, KH Masbuchin Faqih, KH Jakfar Yusuf, KH Syafiuddin Wahid, KH Mahrus Malik, KH Syafrudin Syarif, KH Suyuti Thoha, KH Nasiruddin, KH Romadhon Khatib, KH Abdullah, KH Anwar Iskandar, KH Abdul Qadir.
Ihya ulumuddin
”Muktamar kali ini harus menjadi muktamar persatuan. Jangan sampai muktamar Jombang ini malah me-nyebabkan NU pecah. Muktamar Jombang harus menjadi momentum nahdloh tsaniyah (kebangkitan kedua),” kata Wakil Ketua Umum PBNU KH Asad Said Ali di Jakarta kemarin. Pernyataan disampaikan terkait suasana gelisah menjelang pelaksanaan muktamar, 1- 5 Agustus besok.
Hingga saat ini, para muktamirin atau peserta muktamar dari PWNU dan PCNU seluruh Indonesia belum menyepakati model pemilihan yang akan diterapkan dalam muktamar. Dia meminta pihak-pihak yang terlibat dalam suksesi pemilihan pemimpin baru NU untuk mengedepankan semangat persatuan. ”Jangan sampai di Muktamar Jombang malah ada perpecahan di NU, seperti terjadi di partai politik atau PSSI,” kata alumni Pesantren Krapyak, Yogyakarta ini. Menurut Asad, Muktamar Jombang akan membicarakan langkah-langkah strategis menyongsong peringatan 100 tahun NU.
”Muktamar harus dilandasi semangat menyambut satu abad NU. Organisasi NU adalah organisasi kemasyarakatan yang sangat kuat memegang tawasuth (moderat), tawazun (proporsional), dan tasamuh (toleran),” katanya. NU dianggap paling cocok untuk mengatasi berbagai persoalan keagamaan yang berkembang. Tahun 2014 lalu bahkan warga muslim di Afganistan mendeklarasikan berdirinya organisasi NU Afganistan atau NUA dengan format yang mirip dengan NU yang ada di Indonesia.
NU, menurut Asad, akan tetap menjadi ormas Islam yang besar, bersih, dan berwibawa, serta rahmatan lil alamin. Meski demikian, penataan dan konsolidasi organisasi perlu terus dilakukan di lingkungan internal NU menghadapi berbagai tantangan dan perubahan. Ditambahkan, pada usia menjelang 100 tahun, NU dihadapkan dengan beberapa perkembangan, antara lain warga NU sudah tersebar tidak hanya terkonsentrasi di desa tetapi juga di kota-kota besar di Indonesia.
Selain itu, generasi NU sudah tidak didominasi oleh para ahli agama Islam. ”Kita sekarang punya kekuatan baru yakni kalangan pebisnis, birokrat, akademisi, politisi dan kaum profesional. Semua ingin bergabung menguatkan NU tapi tidak tahu jalannya. Ini perlu kita pikirkan, kalau tidak kader kita ini akan diambil orang lain,” katanya.
PWNU Jatim Putuskan Pilih AHWA
PWNU Jatim akhirnya bersikap tegas terkait polemik sistem pemilihan Rais Aam PBNU pada Muktamar di Jombang, 1- 5 Agustus mendatang. Mereka bersepakat untuk memilih model Ahlul Halli wal Aqdi (AHWA) dan menolak sistem voting. Keputusan tersebut disampaikan Ketua Rois Syuriah PWNU Jatim KH Miftachul Akhyar seusai menggelar pertemuan tertutup dengan 22 pengasuh pondok pesantren di Jatim dan Jateng di kantor PWNU Jatim kemarin.
Kiai Miftach menyatakan bahwa seluruh ulama dan Pengurus Cabang (PCNU) telah bulat memilih model AHWA pada pemilihan Rais Aam nanti. ”Ahlul Halli Wal ‘Aqdi menyesuaikan dengan hasil Munas Alim Ulama NU pada 2 November 2014. AHWA dipandang akan lebih maslahah (kebaikan) dan mengurangi mafasid (keburukan) dalam pemilihan,” tegas KH Miftachul didampingi pimpinan rapat KH Anwar Iskandar kemarin.
Kiai Miftah mengatakan, seluruh peserta rapat sepakat mendukung Ahwa dalam pemilihan Rois Aam PBNU dibandingkan voting karena menjaga martabat ulama sebagai pemegang amanat tertinggi NU dan tidak bertentangan AD/ART. ”Pemilihan khulafaurrasyidin pada masa lalu adalah dipilih dan diangkat oleh Ahwa atau musyawarah mufakat. Itu selalu dilakukan pada masa awal NU berdiri dan Muktamar NU di Situbondo tahun 1984,”klaimnya.
Kiai Miftah menjelaskan, dengan model AHWA tersebut, maka akan ada tim khusus terdiri dari sembilan kiai khos. Mereka inilah yang akan bermusyawarah dan menentukan Rais Aam. Sembilan kiai sendiri lanjut Miftah akan dipilih oleh forum muktamar. ”Mereka yang dipilih juga tidak sembarang. Akan dilihat ketokohannya, kiprahnya dalam NU dan perjuangannya membesarkan NU. Sementara kriteria itu akan ditentukan pada tata tertib. Sehingga tidak akan subyektif,” lanjutnya.
Terkait keputusan PWNU tersebut, Miftah menyerukan kepada seluruh PCNU se-Jatim untuk mengikuti. Mereka dilarang untuk mbalelo dan memilih model voting. ”Struktur di NU ini model komando. Semua keputusan bersifat instruktif dari atas. Jadi, bila PWNU memutuskan AHWA, maka PCNU juga wajib mengikuti,”tegasnya. Sementara itu, keputusan Syuriah PWNU kemarin bertolak belakang dengan pernyataan Ketua PWNU Jatim KH Hasan Mutawakkil Alaallah.
Dia menyatakan bahwa PWNU tidak akan mendukung salah satu model pemilihan. Apakah AHWA maupun voting. Ini dilakukan karena PWNU ingin bersikap netral. ”Saya dukung suksesnya muktamar, karena PWNU Jatim akan menjadi tuan rumah yang baik. Untuk itu tidak dukung AHWA atau voting,” tegas Ketua PWNU Jatim KH Mutawakkil Alaallah. Sebaliknya, pihaknya menyerahkan keputusan AHWA atau voting kepada muktamirin atau peserta muktamar, yang akan membahas masalah tersebut pada sidang pleno soal tata tertib muktamar.
Sementara itu, sejumlah pengasuh ponpes yang hadir pada pertemuan kemarin adalah KH Maimoen Zubair (Rembang, Jateng) dan yang dari Jatim adalah KH Anwar Manshur, KH Abdullah Kafabihi Machrus, KH Zainuddin Djazuli, KH Mas Mansur Thalhah, KH Miftachul Akhyar, KH Nurul Huda Djazuli, KH Idris Hamid, KH Mujib Imron, KH Mas Ahmad Su-badar, KH Masbuchin Faqih, KH Jakfar Yusuf, KH Syafiuddin Wahid, KH Mahrus Malik, KH Syafrudin Syarif, KH Suyuti Thoha, KH Nasiruddin, KH Romadhon Khatib, KH Abdullah, KH Anwar Iskandar, KH Abdul Qadir.
Ihya ulumuddin
(ars)