Tantangan di Tahun Pertama BPJS Ketenagakerjaan
A
A
A
BPJS Ketenagakerjaan beroperasi penuh sejak 1Juli2015. Inilah era baru jaminan sosial bagi kaum pekerja di Indonesia. Namun, saat akan tancap gas untuk tahun pertamanya, BPJS menghadapi sejumlah tantangan.
TRAGEDI ledakan dan kebakaran hebat di PT Mandom Indonesia, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, menjadi cerita pilu di bulan puasa dan menjelang Lebaran. Tidak kurang dari 17 pekerja produsen alat-alat kosmetik itu tewas dan 58 lainnya luka-luka. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK) pun beraksi meringankan duka para korban dan keluarga mereka.
Total dana jaminan sosial yang dibayarkan BPJS mencapai Rp3,4 miliar. Dana tersebut merupakan gabungan dari empat manfaat sekaligus, yakni jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKm), jaminan hari tua (JHT), dan jaminan pensiun (JP). Ketujuh belas korban yang meninggal menerima 48 kali gaji terakhir mereka ditambah Rp4 juta untuk biaya pemakaman.
Anak-anak mereka pun mendapatkan beasiswa hingga usia 23 tahun. Manfaat ini lebih besar ketimbang iuran yang dibayarkan perusahaan kepada BPJS. Untuk JKm, misalnya, PT Mandom hanya mengiur Rp6.800 per pekerja. Untuk JKK cuma 0,24-1,74% dari upah atau rata-rata Rp20.000 per pekerja. ”Jadi, jangan ditanya! Bandingkan saja antara iuran dan manfaatnya,” ujar Direktur Utama BPJS TK, Elvyn G Masassya, Jumat pekan lalu.
Pada 19 Oktober 2004, Presiden Megawati mengesahkan UU SJSN setelah rancangannya bolak-balik ke DPR lebih dari 50 kali. Undangundang itu memerintahkan pelaksanaan sistem jaminan sosial paling lambat lima tahun kemudian. Namun, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lalai menaati tenggat tersebut.
Akibatnya, baru pada 2011 UU BPJS sebagai pelaksana SJSN disahkan. Pada akhir 2013, Presiden Yudhoyono pun meresmikan Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola BPJS Kesehatan hasil transformasi PT Askes. Pada 1 Juli 2015, giliran Presiden Joko Widodo meresmikan pengoperasian BPJS TK sebagai jelmaan dari PT Jamsostek.
Sayangnya, momen bersejarah 1 Juli sedikit ternoda oleh polemik penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46/2015 tentang JHT. Polemik diawali protes sejumlah pekerja yang gagal mencairkan tabungan JHT pada tanggal tersebut. Musababnya adalah aturan lama yang mengatur PT Jamsostek mengizinkan pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja atau mundur untuk mengambil seluruh tabungannya setelah lima tahun menjadi peserta.
Sementara itu, aturan baru dalam peraturan tersebut tidak mengenal pencairan seluruh dana JHT bagi mereka yang terkena PHK atau keluar dari perusahaan. Aturan baru hanya mengizinkan pekerja aktif mengambil sebagian dana saat setelah sepuluh tahun masa kepesertaan.
Taspen dan Asabri Siap Menyodok
Transformasi BPJS TK juga belum sepenuhnya jelas. Jika PT Jamsostek yang bubar setelah berubah menjadi BPJS TK sudah sangat jelas, nasib PT Taspen dan PT Asabri masih kabur. Ini karena UU BPJS tampak setengah hati menempatkan PT Taspen dan PT Asabri dalam skema SJSN.
Padahal, UU BPJS memerintahkan pengalihan program asuransi PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS selambat-lambatnya pada 2029. Kini, kabar beredar PT Taspen tengah menyiapkan rancangan peraturan pemerintah tentang JKK dan JKm khusus bagi PNS. Dalam rilis resminya, PT Taspen mengatakan bahwa dua program itu didasarkan pada UU Aparatur Sipil Negara, bukan UU SJSN.
Padahal, filosofi SJSN mengisyaratkan seluruh penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berada di bawah satu payung hukum, yakni UU SJSN dan UU BPJS. ”Boleh-boleh saja membuat program yang sama, asalkan on top manfaatnya. Jadi, ada manfaat lebih yang ditawarkan,” ujar Hasbullah.
Baca selengkapnya di SINDO Weekly No 21-22 Tahun 4, 2015, terbit Kamis 30 Juli 2015
Irman Abdurrahman, Fikri Kurniawan, Ferdi Christian, Fahmi Bahtiar, dan Debi Abdullah
TRAGEDI ledakan dan kebakaran hebat di PT Mandom Indonesia, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi, menjadi cerita pilu di bulan puasa dan menjelang Lebaran. Tidak kurang dari 17 pekerja produsen alat-alat kosmetik itu tewas dan 58 lainnya luka-luka. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK) pun beraksi meringankan duka para korban dan keluarga mereka.
Total dana jaminan sosial yang dibayarkan BPJS mencapai Rp3,4 miliar. Dana tersebut merupakan gabungan dari empat manfaat sekaligus, yakni jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKm), jaminan hari tua (JHT), dan jaminan pensiun (JP). Ketujuh belas korban yang meninggal menerima 48 kali gaji terakhir mereka ditambah Rp4 juta untuk biaya pemakaman.
Anak-anak mereka pun mendapatkan beasiswa hingga usia 23 tahun. Manfaat ini lebih besar ketimbang iuran yang dibayarkan perusahaan kepada BPJS. Untuk JKm, misalnya, PT Mandom hanya mengiur Rp6.800 per pekerja. Untuk JKK cuma 0,24-1,74% dari upah atau rata-rata Rp20.000 per pekerja. ”Jadi, jangan ditanya! Bandingkan saja antara iuran dan manfaatnya,” ujar Direktur Utama BPJS TK, Elvyn G Masassya, Jumat pekan lalu.
Pada 19 Oktober 2004, Presiden Megawati mengesahkan UU SJSN setelah rancangannya bolak-balik ke DPR lebih dari 50 kali. Undangundang itu memerintahkan pelaksanaan sistem jaminan sosial paling lambat lima tahun kemudian. Namun, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lalai menaati tenggat tersebut.
Akibatnya, baru pada 2011 UU BPJS sebagai pelaksana SJSN disahkan. Pada akhir 2013, Presiden Yudhoyono pun meresmikan Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola BPJS Kesehatan hasil transformasi PT Askes. Pada 1 Juli 2015, giliran Presiden Joko Widodo meresmikan pengoperasian BPJS TK sebagai jelmaan dari PT Jamsostek.
Sayangnya, momen bersejarah 1 Juli sedikit ternoda oleh polemik penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46/2015 tentang JHT. Polemik diawali protes sejumlah pekerja yang gagal mencairkan tabungan JHT pada tanggal tersebut. Musababnya adalah aturan lama yang mengatur PT Jamsostek mengizinkan pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja atau mundur untuk mengambil seluruh tabungannya setelah lima tahun menjadi peserta.
Sementara itu, aturan baru dalam peraturan tersebut tidak mengenal pencairan seluruh dana JHT bagi mereka yang terkena PHK atau keluar dari perusahaan. Aturan baru hanya mengizinkan pekerja aktif mengambil sebagian dana saat setelah sepuluh tahun masa kepesertaan.
Taspen dan Asabri Siap Menyodok
Transformasi BPJS TK juga belum sepenuhnya jelas. Jika PT Jamsostek yang bubar setelah berubah menjadi BPJS TK sudah sangat jelas, nasib PT Taspen dan PT Asabri masih kabur. Ini karena UU BPJS tampak setengah hati menempatkan PT Taspen dan PT Asabri dalam skema SJSN.
Padahal, UU BPJS memerintahkan pengalihan program asuransi PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS selambat-lambatnya pada 2029. Kini, kabar beredar PT Taspen tengah menyiapkan rancangan peraturan pemerintah tentang JKK dan JKm khusus bagi PNS. Dalam rilis resminya, PT Taspen mengatakan bahwa dua program itu didasarkan pada UU Aparatur Sipil Negara, bukan UU SJSN.
Padahal, filosofi SJSN mengisyaratkan seluruh penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berada di bawah satu payung hukum, yakni UU SJSN dan UU BPJS. ”Boleh-boleh saja membuat program yang sama, asalkan on top manfaatnya. Jadi, ada manfaat lebih yang ditawarkan,” ujar Hasbullah.
Baca selengkapnya di SINDO Weekly No 21-22 Tahun 4, 2015, terbit Kamis 30 Juli 2015
Irman Abdurrahman, Fikri Kurniawan, Ferdi Christian, Fahmi Bahtiar, dan Debi Abdullah
(ftr)