Rumah Putih Kolonial Bagi
A
A
A
Yuni Shara, rumah merupakan tujuan persinggahan selama masih hidup. Oleh karena itu, penting bagi ibu dua putra ini untuk menjadikan rumah ”tampil” senyaman mungkin. Layaknya oase, rumah menjadi penyegar setelah penat lantaran segudang kesibukan di luar.
”Sampai rumah harus merasa plong,” kata pemilik nama asli Wahyu Setyaning Budi ini mengawali percakapan dengan KORAN SINDO di kediamannya, kawasan Jalan Margasatwa, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Griya bernuansa putih ini ditempati Yuni sejak delapan bulan lalu. Untuk mendapatkan rumah tersebut, Yuni hunting selama satu tahun.
Sampai-sampai ia punya data semua rumah yang dijual di kawasan Jakarta Selatan. ”Cari rumah kan jodoh-jodohan ya. Alhamdulillah dapat di sini, cukup dua menit ke sekolah anak-anak. Alasan tersebut yang membuat saya sreg dengan rumah ini,” kata Yuni. Bagi Yuni, kenyamanan anak-anak merupakan poin utama dan terpenting saat memilih hunian.
Ia memutuskan pindah dari rumah di Lebak Bulus ke Jalan Margasatwa di kawasan Pondok Labu pun karena kedua buah hatinya. ”Cavin dan Cello semakin besar, jadi butuh ruang yang lebih lapang. Butuh kamar tidur, ruang belajar, dan ruang bermain yang lebih nyaman,” ujar Yuni.
Dalam griya seluas 800 meter persegi ini, terdapat area yang dinamakan boy’s room di lantai dua. Area ini mencakup kamar Cavin dan Cello. Ada juga kamar yang berisi beberapa perangkat komputer dan meja biliar di ruang tengah lantai dua. Bagi Yuni, yang terpenting anak-anak senang dan betah di rumah.
Hal unik dari kamar kedua anak Yuni adalah adanya mural sebagai pengganti wallpaper di salah satu sisi dinding masing-masing kamar. Cavin dan Cello pun kerap membawa temantemannya untuk bermain di rumah. ”Jika ada kerabat atau sahabat yang bertamu, baik si ibu dan si anak senang di sini. Malah terkadang ibunya sudah mau pulang, tapi si anak masih betah,” tutur penyuka barang vintage itu, sambil tersenyum.
Griya yang dibangun di atas lahan seluas hampir 1.000 meter persegi ini memiliki pekarangan luas nan rindang. Yuni memang menginginkan rumahnya diisi sebanyakbanyaknya pohon. Sebut saja pohon beringin, jambu, kamboja, dan anggrek menghiasi taman Yuni yang berkarpetkan rumput gajah. ”Saya ingin rumah seperti hutan karena tanaman bisa membawa suasana teduh ke rumah dan berdampak baik bagi diri kita sendiri,” ujarnya.
Yuni membeli rumah ini sudah dalam bentuk bangunan, tapi kemudian dibongkar. Proses pembangunan kembali itu memakan waktu selama sembilan bulan. Yuni sendiri yang mengonsepkan rumah, dibantu oleh arsitek. ”Rumah ini cita-cita saya dari zaman dulu. Saya ingin seperti rumah orang dulu. Banyak yang bilang ini rumah kolonial,” ujar perempuan kelahiran 3 Juni 1972 itu.
Untuk mewujudkan rumah impiannya, Yuni turun langsung dalam proses pembangunan rumah. Dari pemilihan material, furnitur, hingga desain kotak-kotak pada kusen pintu. Bahkan, ia juga yang memandori tukang saat memantek paku di dinding. Yuni menjadi orang pertama yang mengatur tata letak barang serta hiasan dinding di kediamannya.
Mengusung konsep Rumah Putih, Yuni memberikan sentuhan lain di pintu utama. Khusus untuk pintu utama, ia memilih warna merah. Sementara elemen yang lain seperti cat tembok, bingkai jendela, hingga tempat sampah berwarna putih. Yuni mengaku terinspirasi oleh sebuah rumah berwarna putih dan ingin mengaplikasikan itu ke dalam huniannya.
Dalam hunian Yuni, tidak ada istilah ruang tamu. ”Terkadang ruang tamu hanya formalitas dan tak terpakai, jadi lebih baik saya tiadakan. Semua teman saya bebas mau duduk di mana saja,” imbuhnya. Oleh karena itu, mudah sekali menemukan sofa dan kursi di berbagai sudut hunian Yuni.
Selain itu, setiap dinding di kediaman Yuni hampir selalu diisi oleh foto, lukisan, ataupun piring hiasan. Di dekat dapur terdapat sudut yang seolah-olah mencerminkan kegemaran Yuni dalam menyeruput kopi. Di sudut bernuansa hitam-putih tersebut, terpajang aneka hiasan dinding mengenai kopi. Setiap sudut dalam griya ini menjadi ruang favorit Yuni. ”Saya pada dasarnya suka rumah, anak rumahan. Jadi, semua sudut jadi favorit saya,” kata Yuni.
Sementara waktu favorit Yuni adalah pada pagi hari. Biasanya, ia menyiapkan perlengkapan anak sekolah dilanjutkan sarapan dan bercengkerama bersama di meja makan. Baginya, rugi jika tidak melihat tumbuh kembang anak. ”Kualitas pagi hari penting sekali,” tandas perempuan yang gemar melukis itu.
Dina angelina
”Sampai rumah harus merasa plong,” kata pemilik nama asli Wahyu Setyaning Budi ini mengawali percakapan dengan KORAN SINDO di kediamannya, kawasan Jalan Margasatwa, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Griya bernuansa putih ini ditempati Yuni sejak delapan bulan lalu. Untuk mendapatkan rumah tersebut, Yuni hunting selama satu tahun.
Sampai-sampai ia punya data semua rumah yang dijual di kawasan Jakarta Selatan. ”Cari rumah kan jodoh-jodohan ya. Alhamdulillah dapat di sini, cukup dua menit ke sekolah anak-anak. Alasan tersebut yang membuat saya sreg dengan rumah ini,” kata Yuni. Bagi Yuni, kenyamanan anak-anak merupakan poin utama dan terpenting saat memilih hunian.
Ia memutuskan pindah dari rumah di Lebak Bulus ke Jalan Margasatwa di kawasan Pondok Labu pun karena kedua buah hatinya. ”Cavin dan Cello semakin besar, jadi butuh ruang yang lebih lapang. Butuh kamar tidur, ruang belajar, dan ruang bermain yang lebih nyaman,” ujar Yuni.
Dalam griya seluas 800 meter persegi ini, terdapat area yang dinamakan boy’s room di lantai dua. Area ini mencakup kamar Cavin dan Cello. Ada juga kamar yang berisi beberapa perangkat komputer dan meja biliar di ruang tengah lantai dua. Bagi Yuni, yang terpenting anak-anak senang dan betah di rumah.
Hal unik dari kamar kedua anak Yuni adalah adanya mural sebagai pengganti wallpaper di salah satu sisi dinding masing-masing kamar. Cavin dan Cello pun kerap membawa temantemannya untuk bermain di rumah. ”Jika ada kerabat atau sahabat yang bertamu, baik si ibu dan si anak senang di sini. Malah terkadang ibunya sudah mau pulang, tapi si anak masih betah,” tutur penyuka barang vintage itu, sambil tersenyum.
Griya yang dibangun di atas lahan seluas hampir 1.000 meter persegi ini memiliki pekarangan luas nan rindang. Yuni memang menginginkan rumahnya diisi sebanyakbanyaknya pohon. Sebut saja pohon beringin, jambu, kamboja, dan anggrek menghiasi taman Yuni yang berkarpetkan rumput gajah. ”Saya ingin rumah seperti hutan karena tanaman bisa membawa suasana teduh ke rumah dan berdampak baik bagi diri kita sendiri,” ujarnya.
Yuni membeli rumah ini sudah dalam bentuk bangunan, tapi kemudian dibongkar. Proses pembangunan kembali itu memakan waktu selama sembilan bulan. Yuni sendiri yang mengonsepkan rumah, dibantu oleh arsitek. ”Rumah ini cita-cita saya dari zaman dulu. Saya ingin seperti rumah orang dulu. Banyak yang bilang ini rumah kolonial,” ujar perempuan kelahiran 3 Juni 1972 itu.
Untuk mewujudkan rumah impiannya, Yuni turun langsung dalam proses pembangunan rumah. Dari pemilihan material, furnitur, hingga desain kotak-kotak pada kusen pintu. Bahkan, ia juga yang memandori tukang saat memantek paku di dinding. Yuni menjadi orang pertama yang mengatur tata letak barang serta hiasan dinding di kediamannya.
Mengusung konsep Rumah Putih, Yuni memberikan sentuhan lain di pintu utama. Khusus untuk pintu utama, ia memilih warna merah. Sementara elemen yang lain seperti cat tembok, bingkai jendela, hingga tempat sampah berwarna putih. Yuni mengaku terinspirasi oleh sebuah rumah berwarna putih dan ingin mengaplikasikan itu ke dalam huniannya.
Dalam hunian Yuni, tidak ada istilah ruang tamu. ”Terkadang ruang tamu hanya formalitas dan tak terpakai, jadi lebih baik saya tiadakan. Semua teman saya bebas mau duduk di mana saja,” imbuhnya. Oleh karena itu, mudah sekali menemukan sofa dan kursi di berbagai sudut hunian Yuni.
Selain itu, setiap dinding di kediaman Yuni hampir selalu diisi oleh foto, lukisan, ataupun piring hiasan. Di dekat dapur terdapat sudut yang seolah-olah mencerminkan kegemaran Yuni dalam menyeruput kopi. Di sudut bernuansa hitam-putih tersebut, terpajang aneka hiasan dinding mengenai kopi. Setiap sudut dalam griya ini menjadi ruang favorit Yuni. ”Saya pada dasarnya suka rumah, anak rumahan. Jadi, semua sudut jadi favorit saya,” kata Yuni.
Sementara waktu favorit Yuni adalah pada pagi hari. Biasanya, ia menyiapkan perlengkapan anak sekolah dilanjutkan sarapan dan bercengkerama bersama di meja makan. Baginya, rugi jika tidak melihat tumbuh kembang anak. ”Kualitas pagi hari penting sekali,” tandas perempuan yang gemar melukis itu.
Dina angelina
(ftr)