Bukan Mustahil Kebangkitan Islam Kedua
A
A
A
Bukan tidak mungkin kebangkitan Islam kedua dapat tumbuh di negeri yang mengusung nilai kebinekaan seperti Indonesia.
Namun, untuk mencapai itu, ada tiga syarat yang mesti terpenuhi. Pertama, kedamaian. Stabilitas politik dan sosial dalam bernegara harus tercapai agar masyarakat yang hidup dalam naungan Islam merasa aman dan nyaman. Kedua, kemandirian dan kemajuan ekonomi. Dengan adanya ekonomi yang baik, hal tersebut akan menopang peradaban sebuah bangsa.
Dan, yang ketiga adalah wawasan pengetahuan tentang keislaman yang luas. Hal tersebut mencuat dalam diskusi buku Kebangkitan Kedua Umat Islam: Jalan Menuju Kemuliaan karya Yusuf Effendi, Kamis (2/7), di Omah Btari Sri, Jakarta. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menilai, etika syarat tersebut harus terpenuhi untuk membangkitkan kembali umat Islam pada sebuah bangsa.
Jika melihat tiga prasyarat tersebut, Timur Tengah—menurutnya —akan sulit untuk sekadar membayangkan kebangkitan Islam. Konflik Timur Tengah yang berkepanjangan telah menjadikan negara-negara di Timur Tengah terlalu lelah untuk memikirkan kebangkitan Islam. Misalnya, ia memaparkan, tribalisme dan sektarianisme masih dianut sangat kuat di Mesir.
”Untuk bangkit dari keterpurukan konflik saja, Timur Tengah sudah sulit. Apalagi harus memikirkan kebangkitan Islam kedua, sepertinya terlalu lelah untuk mereka karena tribalisme dan sektarianisme masih kuat di sana,” ujarnya. Ketika kelompok Ikhwanul Muslimin dan Bashar Assad menolak kedinastian, Arab Saudi segera memberikan bantuan kepada kelompok Abdurrahman El Sisi untuk menggulingkan Assad.
Maka itu, 1.200 aktivis Ikhwanul Muslimin termasuk Bashar Assad dijatuhi hukuman mati. Ikhwanul Muslimin hanya akan bebas dari hukuman mati jika para sheikh di Universitas Al Azhar sepakat untuk mengampuni, namun hal itu musykil terjadi karena Al Azhar dikenal sebagai kroni pemerintah.
Dengan adanya hal ini, Mesir berpotensi disintegrasi, karena berupaya menghabisi Ikhwanul Muslimin. Hal inilah menurut Azyumardi sebagai kemusykilan kebangkitan Islam di Timur Tengah. Kebangkitan Islam, menurutnya, telah terbiasa berpindah- pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Dengan memperhatikan kontur politik dan stabilitas yang ada pada sebuah negeri, wawasan yang luas mengenai keislaman, dengan sendirinya akan menciptakan kedamaian tersendiri dan kejayaan bagi umat Islam dan umat lainnya. Ajaran Islam selalu bisa beradaptasi dengan kontur budaya manapun. Maka dengan modal tersebut, Indonesia berpotensi untuk membangkitkan kejayaan Islam, asal syarat-syarat yang ada dapat dicapai.
Islam yang inklusif, yang mau menerima kebaikan-kebaikan dari mana pun serta menyebarkan kebaikan ke manapun, adalah kunci kebangkitan Islam. Sementara itu, cendekiawan muslim Musa Kadzim menilai demokrasi, akhlak, dan ilmu pengetahuan harus terus dijaga sebagai modal kebangkitan Islam kedua di Indonesia.
Sebagai negara yang terbentuk dari persatuan beberapa kerajaan, masyarakat Indonesia lebih demokratis dan plural ketimbang Timur Tengah. Sikap demokratis tersebut pun diwarnai dengan adanya sikap saling menghormati dan gotong royong yang menjadi ciri khas Indonesia. Sebuah peradaban yang maju, lanjutnya, adalah dengan melibatkan rakyat dalam proses pemerintahan.
Maka itu, pemerintahan tiran seperti yang terjadi di banyak negara Islam, telah keliru dalam merepresentasikan visi dan misi Islam. Ia mengambil contoh, meskipun banyak negara Islam dengan sistem otoritarian yang sukses di bidang ekonomi seperti Malaysia dan Brunei Darussalam, hal itu merupakan kemajuan yang semu. Ketidakterlibatan rakyat adalah bentuk pengkhianatan terhadap hak asasi manusia.
”Kemajuan dalam membangun peradaban adalah sejatinya harus melibatkan rakyat. Kemajuan ekonomi dari sebuah negara Islam yang tiran adalah sebuah kemajuan yang semu pada hakikatnya,” ujarnya.
Imas damayanti
Namun, untuk mencapai itu, ada tiga syarat yang mesti terpenuhi. Pertama, kedamaian. Stabilitas politik dan sosial dalam bernegara harus tercapai agar masyarakat yang hidup dalam naungan Islam merasa aman dan nyaman. Kedua, kemandirian dan kemajuan ekonomi. Dengan adanya ekonomi yang baik, hal tersebut akan menopang peradaban sebuah bangsa.
Dan, yang ketiga adalah wawasan pengetahuan tentang keislaman yang luas. Hal tersebut mencuat dalam diskusi buku Kebangkitan Kedua Umat Islam: Jalan Menuju Kemuliaan karya Yusuf Effendi, Kamis (2/7), di Omah Btari Sri, Jakarta. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra menilai, etika syarat tersebut harus terpenuhi untuk membangkitkan kembali umat Islam pada sebuah bangsa.
Jika melihat tiga prasyarat tersebut, Timur Tengah—menurutnya —akan sulit untuk sekadar membayangkan kebangkitan Islam. Konflik Timur Tengah yang berkepanjangan telah menjadikan negara-negara di Timur Tengah terlalu lelah untuk memikirkan kebangkitan Islam. Misalnya, ia memaparkan, tribalisme dan sektarianisme masih dianut sangat kuat di Mesir.
”Untuk bangkit dari keterpurukan konflik saja, Timur Tengah sudah sulit. Apalagi harus memikirkan kebangkitan Islam kedua, sepertinya terlalu lelah untuk mereka karena tribalisme dan sektarianisme masih kuat di sana,” ujarnya. Ketika kelompok Ikhwanul Muslimin dan Bashar Assad menolak kedinastian, Arab Saudi segera memberikan bantuan kepada kelompok Abdurrahman El Sisi untuk menggulingkan Assad.
Maka itu, 1.200 aktivis Ikhwanul Muslimin termasuk Bashar Assad dijatuhi hukuman mati. Ikhwanul Muslimin hanya akan bebas dari hukuman mati jika para sheikh di Universitas Al Azhar sepakat untuk mengampuni, namun hal itu musykil terjadi karena Al Azhar dikenal sebagai kroni pemerintah.
Dengan adanya hal ini, Mesir berpotensi disintegrasi, karena berupaya menghabisi Ikhwanul Muslimin. Hal inilah menurut Azyumardi sebagai kemusykilan kebangkitan Islam di Timur Tengah. Kebangkitan Islam, menurutnya, telah terbiasa berpindah- pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Dengan memperhatikan kontur politik dan stabilitas yang ada pada sebuah negeri, wawasan yang luas mengenai keislaman, dengan sendirinya akan menciptakan kedamaian tersendiri dan kejayaan bagi umat Islam dan umat lainnya. Ajaran Islam selalu bisa beradaptasi dengan kontur budaya manapun. Maka dengan modal tersebut, Indonesia berpotensi untuk membangkitkan kejayaan Islam, asal syarat-syarat yang ada dapat dicapai.
Islam yang inklusif, yang mau menerima kebaikan-kebaikan dari mana pun serta menyebarkan kebaikan ke manapun, adalah kunci kebangkitan Islam. Sementara itu, cendekiawan muslim Musa Kadzim menilai demokrasi, akhlak, dan ilmu pengetahuan harus terus dijaga sebagai modal kebangkitan Islam kedua di Indonesia.
Sebagai negara yang terbentuk dari persatuan beberapa kerajaan, masyarakat Indonesia lebih demokratis dan plural ketimbang Timur Tengah. Sikap demokratis tersebut pun diwarnai dengan adanya sikap saling menghormati dan gotong royong yang menjadi ciri khas Indonesia. Sebuah peradaban yang maju, lanjutnya, adalah dengan melibatkan rakyat dalam proses pemerintahan.
Maka itu, pemerintahan tiran seperti yang terjadi di banyak negara Islam, telah keliru dalam merepresentasikan visi dan misi Islam. Ia mengambil contoh, meskipun banyak negara Islam dengan sistem otoritarian yang sukses di bidang ekonomi seperti Malaysia dan Brunei Darussalam, hal itu merupakan kemajuan yang semu. Ketidakterlibatan rakyat adalah bentuk pengkhianatan terhadap hak asasi manusia.
”Kemajuan dalam membangun peradaban adalah sejatinya harus melibatkan rakyat. Kemajuan ekonomi dari sebuah negara Islam yang tiran adalah sebuah kemajuan yang semu pada hakikatnya,” ujarnya.
Imas damayanti
(ftr)