Tertekan, Ribuan Remaja Mengurung Diri

Jum'at, 10 Juli 2015 - 08:27 WIB
Tertekan, Ribuan Remaja Mengurung Diri
Tertekan, Ribuan Remaja Mengurung Diri
A A A
Kemajuan peradaban Jepang, di antaranya ditandai dengan kecanggihan teknologi dan gaya hidup sehat, sepertinya membuat masyarakatnya tampak sempurna.

Namun, di balik itu ternyata ada fenomena negatif generasi muda Jepang yang banyak mengurung diri di dalam rumah. Diperkirakan, sebanyak 1 juta anak muda di Jepang bersembunyi di rumah mereka dalam suatu waktu. Mereka enggan bertemu atau bergaul dengan orang lain. Masalah dimulai ketika anak-anak muda ini enggan berangkat ke sekolah.

”Saya mulai menyalahkan diri sendiri dan orang tua saya juga menyalahkan saya karena tidak pergi ke sekolah. Dari situ tekanan mulai ada,” ujar seorang pemuda Jepang kepada BBC . Dia menambahkan, secara bertahap ia juga menjadi takut untuk pergi keluar dan bertemu orang. Dia hanya ingin bersembunyi, tidak berkomunikasi, dan menjauhkan diri dari temanteman hingga orang tua.

Untuk menghindari melihat orang lain selain dirinya, pemuda itu hanya tidur dan menonton TV sepanjang hari. ”Saya memiliki semua jenis emosi negatif dalam diri,” katanya. Emosi negatif yang dimaksud ialah rasa marah terhadap orang luar, termasuk orang tuanya.

Emosi lainnya yakni rasa sedih yang terlalu berlebihan mengenai kondisi mereka kini dan takut menghadapi masa depan serta rasa cemburu terhadap orangorang yang memiliki kehidupan normal. Fenomena menarik diri dari dunia luar yang cukup memprihatinkan ini dalam istilah Jepang disebut Hikikomori. Tamaki Saito, seorang psikiater, mengatakan, fenomena ini ada sejak awal 1990-an.

Dia mendapat banyak keluhan dari banyak orang tua yang meminta bantuannya. Anak-anak mereka berhenti sekolah dan bersembunyi di dalam kamar selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Hikikomori kebanyakan terjadi pada remaja dari keluarga kelas menengah. Kebanyakan laki-laki berusia 15 tahun.

Mungkin terdengar seperti kemalasan remaja biasa. Tapi, menurut Saito, mereka menderita ketakutan sosial yang mendalam. ”Mereka disiksa dalam pikiran. Mereka sebenarnya ingin keluar dan memiliki teman-teman atau kekasih, tetapi mereka tidak bisa,” katanya. Saito menjelaskan, gejala Hikikomori bervariasi antara satu pasien dan lainnya.

Bagi beberapa orang, emosi keras bergantian dengan perilaku kekanak-kanakan seperti mengais-ngais di tubuh ibunya. Pasien lain mungkin obsesif, paranoid, dan tertekan. Diperkirakan, jumlah penderita kelainan Hikikomori terus meningkat. Survei yang dilakukan Kantor Kabinet Jepang pada 2010 menyebutkan sebanyak 700.000 orang mengalami kelainan ini.

Namun, Saito menempatkan angka yang lebih besar lagi sekitar 1 juta jika dilihat dari ciri-ciri awal Hikikomori. Usia rata-rata penderita Hikikomori juga tampaknya meningkat selama dua dekade terakhir. Pada mulanya 15 tahun, kemudian 21 tahun, dan sekarang mulai menjangkiti usia dewasa 32 tahun.

Lantas, apa pemicu mereka mulai menarik diri dari kehidupan luar? Kemungkinan terjadi karena mereka mendapat nilai buruk atau patah hati. Namun, mengasingkan diri itu juga dapat menjadi sumber trauma. Faktor sosial kedua ialah ketergantungan yang disebabkan ciri khas dari hubungan di keluarga Jepang.

Wanita muda biasanya tinggal bersama orang tua mereka sampai menikah dan laki-laki juga tidak pernah pindah dari rumah keluarga. Meski setengah dari penderita Hikikomori adalah kekerasan yang dilakukan orang tua, itu dipicu keinginan orang tua mereka untuk menunjukkan rasa hormat dan memenuhi peran mereka dalam masyarakat dengan mendapatkan pekerjaan.

Seperti yang dialami Matsu. Dia menderita Hikikomori kecewa terhadap orang tuanya yang menentukan karier dan universitas tempat dia melanjutkan belajar. Saito membenarkan bahwa 70-80% penderita kelainan ini adalah kaum adam. Namun, survei yang dilakukan NHK melalui internet ditemukan hanya 53% Hikikomori dialami lakilaki.

Sekarang banyak perempuan yang mengalaminya. Matsu salah satunya yang terus-menerus mengurung diri di dalam rumah. ”Saya merasa mental saya baik, tetapi orang tua saya mendorong saya dengan cara yang saya tidak ingin lakukan. Ayah saya seorang seniman dan dia menjalankan bisnis sendiri. Ia ingin aku melakukan hal yang sama,” cerita Matsu.

Tapi, dia bersikeras menolak karena ingin menjadi programmer komputer di perusahaan besar. Sang ayah berdalih mengajarkan anaknya agar tidak menjadi karyawan agar masa depannya lebih cerah. Karena alasan itu, ayahnya selalu menekannya agar mau mengikuti kemauannya.

Matsu adalah anak sulung dan merasa berat untuk memenuhi semua harapan orang tuanya. Dia sangat marah ketika melihat adiknya melakukan apa yang dia inginkan. ”Saya mengalami kekerasan dan harus hidup terpisah dari keluarga,” katanya.

Apa yang terjadi dengan Matsu merupakan pergeseran budaya di Jepang. Kazuhiko Saito, direktur Departemen Psikiatri Rumah Sakit Kohnodai di Chiba, mengatakan, intervensi berlebihan dapat mengakibatkan hal buruk dalam sisi psikologis remaja.

Cara menyembuhkan seseorang yang sudah telanjur mengasingkan diri ialah dengan melakukan pendekatan. Mulai dengan reorganisasi hubungan antara pasien dan orang tuanya dan menyarankan orang tua untuk kembali berkomunikasi dengan anak-anak mereka.

Ananda Nararya
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4449 seconds (0.1#10.140)