Perang Berakhir, tapi Tidak Tragediku
A
A
A
Setahun sudah perang di Gaza, Palestina berakhir. Namun, hingga kini efek perang masih sangat terasa. Impian warga Gaza untuk membangun masa depan yang lebih cerah masih menjadi keinginan belaka.
Pasalnya, pembangunan gedunggedung perkantoran, sekolah, rumah, dan ladang yang hancur akibat agresi Israel belum juga bisa dilakukan. Sebagian masyarakat Gaza hanya pasrah pada uluran tangan orang terdekat mereka. Ali Wahdan misalnya. Sebelum kakinya hancur terkena bom dan diamputasi, Wahdan merupakan seorang guru matematika di Gaza.
Seragamnya yang terpajang rapi mengingatkannya pada masa-masa kelam saat dia masih bisa berdiri. Kehidupan yang sulit di Beit Hanoun, utara Gaza, kini menjadi tantangan yang sangat berat bagi Wahdan. Ketika dia bisa berdiri di atas kaki sendiri untuk membangun keluarga sendiri, semangatnya selalu berselang seling dengan rasa gembira. Namun, kenangan itu kini terkubur ganasnya perang selama 50 hari antara Israel dan Hamas setahun silam.
Wahdan tidak hanya bersedih karena kehilangan kaki dan profesinya, tapi juga karena kehilangan istri tercintanya dan 11 anggota keluarganya. Prospek kehidupannya sudah hancur. Dia tidak bisa bergerak begitu jauh dalam mengembangkan masa depannya selama hampir 12 bulan.
Hingga setahun, kehidupannya hampir tidak ada yang berubah sedikit pun. ”Perang berakhir, tapi tidak dengan tragediku,” ujar pria berusia 36 tahun yang saat ini harus di atas kursi roda elektriknya, dikutip Reuters . ”Saya menghabiskan tahun sebelumnya dengan berpindah-pindah tempat dari rumah sakit satu ke yang lain. Setahun lalu menjadi guru, sekarang saya bahkan tak berdaya membantu anak saya sendiri,” tambahnya.
Seperti dikatakan Wahdan, Gaza sudah kembali tenang tanpa ada kontak senjata atau bom dalam setahun terakhir. Namun, di sisi lain, mereka yang menjadi korban masih berjuang bangkit. Kekhawatiran juga masih menghantui sebagian masyarakat. Pasalnya, gencatan senjata yang disepakati Israel dan Hamas bisa saja tidak berlangsung stabil.
Masyarakat menjadi korban pertama kebiadaban perang, sekalipun warga sipil secara hukum dilindungi. Beberapa area di Gaza boleh dibilang luluh lantak. Lebih dari 12.000 rumah rata dengan tanah dan sekitar 100.000 rusak parah. Sampai saat ini, dengan keadaan ekonomi yang tidak bergerak maju, rumah-rumah itu belum direkonstruksi.
Ribuan warga Gaza akhirnya mencari penghidupan dari uluran kemanusiaan yang dibawa organisasi internasional. Mereka telantar dan terdampar di negeri sendiri. Hampir 2/3 dari total penduduk yang mencapai 1,8 juta bergantung pada bantuan dari Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).
Lebih dari 70% anak-anak juga turut menderita. Lembaga seperti Save the Children sadar kondisi anakanak di Gaza yang sangat memprihatinkan. Anak-anak bahkan tak luput dari sasaran.
Lebih dari 500 anak di Gaza masuk daftar korban tewas dari total 2.100 dari pihak Palestina yang mayoritas warga sipil. Sementara jumlah korban tewas dari pihak Israel mencapai 73, hampir semuanya tentara.
Muh Shamil
Pasalnya, pembangunan gedunggedung perkantoran, sekolah, rumah, dan ladang yang hancur akibat agresi Israel belum juga bisa dilakukan. Sebagian masyarakat Gaza hanya pasrah pada uluran tangan orang terdekat mereka. Ali Wahdan misalnya. Sebelum kakinya hancur terkena bom dan diamputasi, Wahdan merupakan seorang guru matematika di Gaza.
Seragamnya yang terpajang rapi mengingatkannya pada masa-masa kelam saat dia masih bisa berdiri. Kehidupan yang sulit di Beit Hanoun, utara Gaza, kini menjadi tantangan yang sangat berat bagi Wahdan. Ketika dia bisa berdiri di atas kaki sendiri untuk membangun keluarga sendiri, semangatnya selalu berselang seling dengan rasa gembira. Namun, kenangan itu kini terkubur ganasnya perang selama 50 hari antara Israel dan Hamas setahun silam.
Wahdan tidak hanya bersedih karena kehilangan kaki dan profesinya, tapi juga karena kehilangan istri tercintanya dan 11 anggota keluarganya. Prospek kehidupannya sudah hancur. Dia tidak bisa bergerak begitu jauh dalam mengembangkan masa depannya selama hampir 12 bulan.
Hingga setahun, kehidupannya hampir tidak ada yang berubah sedikit pun. ”Perang berakhir, tapi tidak dengan tragediku,” ujar pria berusia 36 tahun yang saat ini harus di atas kursi roda elektriknya, dikutip Reuters . ”Saya menghabiskan tahun sebelumnya dengan berpindah-pindah tempat dari rumah sakit satu ke yang lain. Setahun lalu menjadi guru, sekarang saya bahkan tak berdaya membantu anak saya sendiri,” tambahnya.
Seperti dikatakan Wahdan, Gaza sudah kembali tenang tanpa ada kontak senjata atau bom dalam setahun terakhir. Namun, di sisi lain, mereka yang menjadi korban masih berjuang bangkit. Kekhawatiran juga masih menghantui sebagian masyarakat. Pasalnya, gencatan senjata yang disepakati Israel dan Hamas bisa saja tidak berlangsung stabil.
Masyarakat menjadi korban pertama kebiadaban perang, sekalipun warga sipil secara hukum dilindungi. Beberapa area di Gaza boleh dibilang luluh lantak. Lebih dari 12.000 rumah rata dengan tanah dan sekitar 100.000 rusak parah. Sampai saat ini, dengan keadaan ekonomi yang tidak bergerak maju, rumah-rumah itu belum direkonstruksi.
Ribuan warga Gaza akhirnya mencari penghidupan dari uluran kemanusiaan yang dibawa organisasi internasional. Mereka telantar dan terdampar di negeri sendiri. Hampir 2/3 dari total penduduk yang mencapai 1,8 juta bergantung pada bantuan dari Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB).
Lebih dari 70% anak-anak juga turut menderita. Lembaga seperti Save the Children sadar kondisi anakanak di Gaza yang sangat memprihatinkan. Anak-anak bahkan tak luput dari sasaran.
Lebih dari 500 anak di Gaza masuk daftar korban tewas dari total 2.100 dari pihak Palestina yang mayoritas warga sipil. Sementara jumlah korban tewas dari pihak Israel mencapai 73, hampir semuanya tentara.
Muh Shamil
(ftr)