Yunani dan Referendum

Rabu, 01 Juli 2015 - 08:55 WIB
Yunani dan Referendum
Yunani dan Referendum
A A A
Krisis Yunani saat ini akan masuk dalam episode yang genting, namun juga menarik karena langkahlangkah politik luar negeri dan kebijakan ekonomi yang tidak biasa dilakukan oleh pemerintahan Yunani.

Minggu lalu saya menyimpulkan bahwa Perdana Menteri (PM) Yunani, Alexis Tsipras, akan menemui hambatan dalam menegosiasikan kembali utang-utangnya karena para kepala negara pemilik mata uang euro tampak tetap menuntut Yunani menjalankan kebijakan pengetatan anggaran atau akan menghadapi default atau gagal bayar. PM Yunani yang disokong oleh Kelompok Kiri itu tampaknya mencoba untuk keluar dari permainan negosiasi tersebut dengan mengumumkan lewat media sosial pada pagi hari tanggal 27 Juni.

Intinya, dia akan melakukan referendum untuk bertanya kepada rakyat Yunani apakah mereka menerima atau tidak kebijakan pengetatan anggaran yang didorong oleh Uni Eropa, the International Monetary Fund (IMF), dan the European Central Bank (ECB) pada 5 Juli 2015. Langkah ini diambil mengingat rakyat yang telah mendukung Partai Syriza di Yunani itu tidak sepenuhnya setuju gagasan untuk menolak kebijakan pengetatan anggaran. Sebagian besar rakyat masih cenderung takut bahwa mereka tidak akan dapat maju tumbuh bila tidak bersama Eropa.

Langkah ini tentu mengundang reaksi negatif dari para pemimpin Eropa, namun Yunani tampaknya tetap bergeming dengan keputusan mereka. Keputusan menerima atau menolak kebijakan pengetatan anggaran sebagai syarat untuk menerima utang lagi demi menutupi utang lama mereka tidak otomatis mendorong Yunani keluar dari Zona Euro walaupun konsekuensi itu selalu ditegaskan dalam setiap pembicaraan atau negosiasi antara Perdana Menteri Yunani dan para kepala negara Eropa.

Bola keputusan akan berada di tangan para pemimpin Eropa. Referendum itu juga bukan sesuatu yang luar biasa karena negara anggota Eropa lain, Swedia, pernah melakukan hal yang sama pada 2003. Pada saat itu rakyat Swedia menyatakan tidak mau bergabung untuk membentuk mata uang euro. Mata uang euro saat ini dipegang oleh 19 negara anggota Uni Eropa, sementara negara anggota lain seperti Bulgaria, Kroasia, Republik Ceko, Hongaria, Polandia, Rumania, dan Swedia menggunakan mata uang masing-masing.

Apabila Rakyat Yunani menolak maka akan ada 7 negara anggota Uni Eropa yang tidak menggunakan mata uang Euro di wilayah mereka. Penolakan Yunani secara politik akan menyudutkan kebijakan pengetatan anggaran (austerity) yang selama ini menjadi rumus ekonomi kebijakan liberal negara-negara Eropa. Banyak ekonom yang simpati dengan Yunani terlepas dari apakah pemerintahannya dipimpin oleh kelompok kiri atau bukan.

Dalam sebuah artikel yang ditulis di Financial Times (26/07) Joseph Stiglitz, Thomas Piketty, Marcus Miller dan mantan PM Italia Massimo D’Alem memberikan pesan bagi para pemimpin Eropa untuk berpikir lebih manusiawi dan rasional dalam menghadapi kesulitan yang dialami Yunani. Persatuan Eropa akan ditentukan oleh kompromi yang tercapai antara Yunani dan kreditor mereka.

Sebagian besar ekonom yang bersimpati kepada Yunani mengecam kebijakan Bank Sentral Eropa yang tidak manusiawi dalam menetapkan reformasi yang sangat ketat kepada Yunani. Tingkat pengangguran di Yunani saat ini mencapai 25% dan 50% di antara mereka adalah angkatan kerja muda. GDP Yunani telah turun hingga 25% sejak 2009 dan membuktikan bahwa paket reformasi dan kebijakan pengetatan anggaran tidak efektif menyelesaikan masalah di Yunani.

Kreditor juga menggunakan batas waktu pengembalian utang sebagai alat politik untuk menekan Yunani dan rakyat mereka. Para pemimpin Eropa mengatakan bahwa batasan waktu bagi Yunani untuk mengembalikan utang adalah kredibilitas yang dipertahankan secara politik dan batas waktu itu juga terkait dengan kepentingan negara lain yang tergabung di Uni Eropa. Pendapat ini dianggap tidak beralasan.

Thomas Piketty dalam wawancara dengan Spiegel OnlineInternasional mengingatkan bahwa Jerman dan Inggris yang terlibat utang pada 1945 bahkanbelummembayarpenuh utang-utang mereka. Tapi mengapa mereka sekarang yang justru tidak bersikap simpati dengan negara yang sedang mengalami kesulitan uang. Batas waktu dianggap politis dan tidak ada kaitan langsung dengan perbaikan ekonomi.

Para ekonom mengatakan bahwa yang dibutuhkan oleh Yunani saat ini adalah kelonggaran waktu agar mereka bisa berkembang dan tumbuh. Para kreditor jangan hanya memikirkan uang mereka kembali dengan cepat, tetapi juga harus memikirkan apa yang diderita olehrakyat Yunaniuntukmembayar utang-utang tersebut. Ekonomi mereka tidak bisa tumbuh apabila pada waktu bersamaan mereka harus membayar utang dengan tingkat inflasi yang tinggi.

Andrew Marshal (17/07/2011) juga memandang bahwa para pemimpin Eropa sangat licik karena pada saat mereka meminta Pemerintah Yunani memotong belanja negara, mengurangi pegawai negeri, dan menaikkan pajak, Angela Merkel and Nicolas Sarkozy juga memaksa PM Yunani Papandreou untuk tetap menaati kontrak pembelian senjata dan peralatan perang dari Jerman dan Inggris (AFP, 7/05/2010).

Para ekonom meminta agar para pemimpin Eropa memberikan kelonggaran dan waktu yang lebih panjang bagi Yunani untuk dapat membayar utangutang mereka sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi saat ini dan bukan kondisi yang dibayangkan oleh para kreditor. Pengetatan anggaran juga jangan dijadikan alat untuk menghukum manajemen salah urus yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya.

Piketty menggambarkan Yunani seperti seorang anak yang dihukum keras karena perbuatan orang tuanya yang tidak benar. Dengan kejadian ini semua, kita perlu apresiasi tindakan pemimpin Yunani dalam mencari jalan keluar dari krisis. Orientasi mereka untuk mengurangi penderitaan warga negaranya adalah inspirasi bagi kita semua.

Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0850 seconds (0.1#10.140)