Meningkatkan Social Entrepreneurship Mahasiswa
A
A
A
Menjelang penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015, sejumlah kalangan terus memacu diri untuk menghadapi persaingan di tingkat Asia Tenggara itu. Indonesia tentu harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri, dan tidak kalah dalam berkompetisi dengan negara ASEAN lain.
Sektor pendidikan tidak kalah kencang menyambut momentum tersebut. Sejumlah perguruan tinggi sudah mempersiapkan diri agar dapat menelurkan lulusan yang memiliki daya saing kuat di pentas ekonomi.
Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, berkonsentrasi membenahi kurikulum yang berkaitan pada social entrepreneurship. Rektor UGM Dwikorita Karnawati menjelaskan, bentuk terobosan yang dilakukan pihaknya cuma mengedepankan kurikulum di aspek social entrepreneurship. Artinya, seluruh mahasiswa UGM dengan program studi apa pun yang digeluti bakal diberi mata kuliah yang bermuatan meningkatkan kemampuan dalam mengasah ide dan kreativitas mereka.
Dengan begitu, ketika mahasiswa menyelesaikan studi di UGM, mereka siap terjun ke arena persaingan bisnis industri, kuat, dan percaya diri dalam mengembangkan serta memasarkan setiap kreativitas yang dibuatnya. ”Selama ini mahasiswa UGM dan Indonesia banyak yang pintar. Hanya, mereka kurang percaya diri untuk memperkenalkan ke publik tentang keahlian yang dimiliki, sehingga ide kreatif yang berpotensi mempunyai nilai bisnis tidak tergarap optimal,” ungkap Dwikorita atau Rita kepada KORAN SINDO.
Rita menyebutkan, beberapa tahun belakangan tidak sedikit mahasiswa yang tergabung dalam unit kegiatan mahasiswa di bidang entrepreneurshipmelakukan beragam kreativitas. Produk kreatif mereka itu mendapat respons positif dari dunia industri. Ada yang membuat robot untuk memadamkan kebakaran, pembuatan software, dansebagainya. Namun, kegiatan tersebut tidak masuk dalam kurikulum akademik sehingga hasil kreativitas mahasiswa itu hanya dikembangkan sendiri tanpa mendapatkan legitimasi secara akademik dari kampus.
Berangkat dari fenomena tadi, untuk tahun akademik 2015-2016 UGM bakal menjadikan kreativitas yang mengandung nilai entrepreneurship sebagai bagian dari kurikulum. Setiap produk atau ide kreatif mahasiswa yang dihasilkan akan dihitung menjadi bagian dari sistem kredit studi (SKS). Tentu mahasiswa yang kreatif bisa menamatkan studi lebih cepat karena mereka menyelesaikan beberapa studi di ranah kreativitas.
”Kegiatan seperti ini akan melatih kepercayaan diri mahasiswa. Mereka tidak canggung lagi kalau berkarya dan memasarkan kepada publik. Lebih dari itu, mahasiswa ini memiliki jiwa tarung yang kuat di sektor usaha,” ungkapnya. Program studi yang ditekankan dalam sektor socialentrepreneurshipini berlaku untuk bidang ilmu teknologi dan informasi, ekonomi, manajemen bisnis, dan ilmu terapan lain.
Semua program studi tersebut sebetulnya memiliki tujuan agar mahasiswa sewaktu lulus mampu membuat sebuah terobosan atas ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Ilmu itu diaktualkan dalam bentuk karya atau produk baru, yang kemudian memiliki pasar ekonomi tersendiri. Pasar hanya akan diraih oleh penggiat yang bisa membaca kondisi ekonomi, mampu bersaing bisnis secara sehat, menjalin relationship dengan baik, dan sebagainya.
”Kalau ini tercapai, Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri pada MEA mendatang,” ungkap Rita. Lebih jauh rektor perempuan pertama UGM ini mengungkapkan, pada MEA yang perlu diwaspadai adalah kemampuan anak muda dari Malaysia, Filipina, dan Singapura. Di tiga negara tersebut, anak muda atau angkatan produktif yang belajar di perguruan tinggi di negara masing-masing benar-benar disiapkan oleh negara mereka untuk siap terjun di MEA.
Akan tetapi, kewaspadaan itu tidak perlu ditakutkan, karena secara umum kemampuan mahasiswa Indonesia lebih baik dari mereka. Sebagai contoh, mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Singapura atau Malaysia mampu bersaing dengan mahasiswa negara setempat. Hal itu bisa dicapai lantaran sistem pendidikan di negara ASEAN cukup ketat dan mampu menempa mahasiswa menjadi entrepreneur yang kuat. Hal itu berbeda dengan Universitas Trisakti (Usakti), Jakarta.
Perguruan tinggi swasta ini tidak begitu mempersoalkan MEA. Wakil Rektor I Universitas Trisakti Yuswar Zainul Basri mengungkapkan, selama ini Trisakti dikenal sebagai salah satu perguruan tinggi yang mampu menelurkan lulusan di bidang industri yang berdaya saing tinggi. Banyak alumni Trisakti yang menjadi pengusaha atau diserap oleh dunia industri. ”Selama ini Trisakti sangat memahami kebutuhan industri. Makanya, setiap lulusan harus bisa dipakai oleh user-nya,” ungkap Yuswar.
Dalam pandangan Yuswar, sejumlah lulusan PTN terkenal di Indonesia banyak berperan di bidang birokrat, pemerintahan, badan usaha milik negara (BUMN), dan sebagainya. Berbeda dengan itu, lulusan Universitas Trisakti banyak berdikari dalam beragam sektor, baik di bidang akademik, industri, jasa, maupun sektor lain. ”Universitas Bina Nusantara (Binus) itu didirikan oleh alumni Trisakti,” ujar Yuswar.
MEA, yang akan disongsong pada akhir2015, dianggapsebagaipeluangbagi Universitas Esa Unggul Indonusa. Menurut Rektor Esa Unggul Arief Kusuma, MEA bisa menjadi ancaman bagi dunia pendidikan Indonesia, bisa pula menjadi peluangbesar. Bentukpeluangnya, perguruan tinggi akan tertantang untuk mengembangkan kapasitas serta kemampuandalammenelurkanlulusan.” Tinggal memilih saja, apakah dijadikan sebagai tantangan atau ancaman,” ujar Arief.
Bagi perguruan tinggi yang tidak meningkatkan akuntabilitas, kualitas sumber daya manusia (SDM), tenaga pengajar, dan penyesuaian kurikulum akademiknya, maka proses serta pola pembelajaran di kampus itu akan berlangsung stagnan. Sebaliknya, perguruan tinggi yang mampu menyesuaikan kebutuhan dunia industri dan bisnis akan membuat penyesuaian terhadap kurikulum atau membuka program studi baru demi memenuhi kebutuhan tenaga kerja, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun global.
Tentu kapasitas tenaga pengajar akan lebih dioptimalkan lagi. Bisa juga dengan mengirimkan mahasiswa terbaik ke perguruan tinggi luar negeri untuk program pertukaran mahasiswa. Dengan program ini, mahasiswa yang dikirim bakal mendapatkan atmosfer dan kapasitas yang berdaya saing lebih kuat. Pada MEA ini akan banyak industri dari luar negeri yang berekspansi di Indonesia. Mereka tentu tidak mau mengambil risiko dalam mengembangkan bisnis. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut adalah dengan memanfaatkan SDM yang andal dan kompetitif.
”Mereka mungkin akan membawa SDM dari negeri sendiri,” kata Arief. Cara seperti itu membuat kesempatan tenaga produktif atau lulusan perguruan tinggi Indonesia semakin ketat persaingannya untuk mendapatkan kesempatan bekerja. Ekspatriat akan semakin banyak berada di Indonesia. Hal itu harus diantisipasi dengan membuat lulusan yang memiliki kapasitas yang sesuai kebutuhan di tingkat global, sehingga mereka tidak hanya menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tapi juga dapat berkompetisi di negara ASEAN lain.
Dalam hal ini, sebut Arief, universitasnya sudah membuat beragam terobosan. Kampus ini mengedepankan program studi di bidang kesehatan dan engineering. Sebab, pada MEA nanti akan banyak rumah sakit internasional hadir di Indonesia. Tentu kebutuhan tenaga medis bakal sangat meningkat.
Begitu pula dengan bidang engineering. Pasalnya, pemerintah tengah mengedepankan pembangunan di bidang infrastruktur untuk melancarkan kebutuhan pengiriman logistik dan peningkatan ekonomi lain. Peluang dilihat oleh Arief untuk Esa Unggul dengan mempersiapkan lulusan di bidang tersebut.
Ilham safutra
Sektor pendidikan tidak kalah kencang menyambut momentum tersebut. Sejumlah perguruan tinggi sudah mempersiapkan diri agar dapat menelurkan lulusan yang memiliki daya saing kuat di pentas ekonomi.
Universitas Gadjah Mada (UGM), misalnya, berkonsentrasi membenahi kurikulum yang berkaitan pada social entrepreneurship. Rektor UGM Dwikorita Karnawati menjelaskan, bentuk terobosan yang dilakukan pihaknya cuma mengedepankan kurikulum di aspek social entrepreneurship. Artinya, seluruh mahasiswa UGM dengan program studi apa pun yang digeluti bakal diberi mata kuliah yang bermuatan meningkatkan kemampuan dalam mengasah ide dan kreativitas mereka.
Dengan begitu, ketika mahasiswa menyelesaikan studi di UGM, mereka siap terjun ke arena persaingan bisnis industri, kuat, dan percaya diri dalam mengembangkan serta memasarkan setiap kreativitas yang dibuatnya. ”Selama ini mahasiswa UGM dan Indonesia banyak yang pintar. Hanya, mereka kurang percaya diri untuk memperkenalkan ke publik tentang keahlian yang dimiliki, sehingga ide kreatif yang berpotensi mempunyai nilai bisnis tidak tergarap optimal,” ungkap Dwikorita atau Rita kepada KORAN SINDO.
Rita menyebutkan, beberapa tahun belakangan tidak sedikit mahasiswa yang tergabung dalam unit kegiatan mahasiswa di bidang entrepreneurshipmelakukan beragam kreativitas. Produk kreatif mereka itu mendapat respons positif dari dunia industri. Ada yang membuat robot untuk memadamkan kebakaran, pembuatan software, dansebagainya. Namun, kegiatan tersebut tidak masuk dalam kurikulum akademik sehingga hasil kreativitas mahasiswa itu hanya dikembangkan sendiri tanpa mendapatkan legitimasi secara akademik dari kampus.
Berangkat dari fenomena tadi, untuk tahun akademik 2015-2016 UGM bakal menjadikan kreativitas yang mengandung nilai entrepreneurship sebagai bagian dari kurikulum. Setiap produk atau ide kreatif mahasiswa yang dihasilkan akan dihitung menjadi bagian dari sistem kredit studi (SKS). Tentu mahasiswa yang kreatif bisa menamatkan studi lebih cepat karena mereka menyelesaikan beberapa studi di ranah kreativitas.
”Kegiatan seperti ini akan melatih kepercayaan diri mahasiswa. Mereka tidak canggung lagi kalau berkarya dan memasarkan kepada publik. Lebih dari itu, mahasiswa ini memiliki jiwa tarung yang kuat di sektor usaha,” ungkapnya. Program studi yang ditekankan dalam sektor socialentrepreneurshipini berlaku untuk bidang ilmu teknologi dan informasi, ekonomi, manajemen bisnis, dan ilmu terapan lain.
Semua program studi tersebut sebetulnya memiliki tujuan agar mahasiswa sewaktu lulus mampu membuat sebuah terobosan atas ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Ilmu itu diaktualkan dalam bentuk karya atau produk baru, yang kemudian memiliki pasar ekonomi tersendiri. Pasar hanya akan diraih oleh penggiat yang bisa membaca kondisi ekonomi, mampu bersaing bisnis secara sehat, menjalin relationship dengan baik, dan sebagainya.
”Kalau ini tercapai, Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri pada MEA mendatang,” ungkap Rita. Lebih jauh rektor perempuan pertama UGM ini mengungkapkan, pada MEA yang perlu diwaspadai adalah kemampuan anak muda dari Malaysia, Filipina, dan Singapura. Di tiga negara tersebut, anak muda atau angkatan produktif yang belajar di perguruan tinggi di negara masing-masing benar-benar disiapkan oleh negara mereka untuk siap terjun di MEA.
Akan tetapi, kewaspadaan itu tidak perlu ditakutkan, karena secara umum kemampuan mahasiswa Indonesia lebih baik dari mereka. Sebagai contoh, mahasiswa asal Indonesia yang kuliah di Singapura atau Malaysia mampu bersaing dengan mahasiswa negara setempat. Hal itu bisa dicapai lantaran sistem pendidikan di negara ASEAN cukup ketat dan mampu menempa mahasiswa menjadi entrepreneur yang kuat. Hal itu berbeda dengan Universitas Trisakti (Usakti), Jakarta.
Perguruan tinggi swasta ini tidak begitu mempersoalkan MEA. Wakil Rektor I Universitas Trisakti Yuswar Zainul Basri mengungkapkan, selama ini Trisakti dikenal sebagai salah satu perguruan tinggi yang mampu menelurkan lulusan di bidang industri yang berdaya saing tinggi. Banyak alumni Trisakti yang menjadi pengusaha atau diserap oleh dunia industri. ”Selama ini Trisakti sangat memahami kebutuhan industri. Makanya, setiap lulusan harus bisa dipakai oleh user-nya,” ungkap Yuswar.
Dalam pandangan Yuswar, sejumlah lulusan PTN terkenal di Indonesia banyak berperan di bidang birokrat, pemerintahan, badan usaha milik negara (BUMN), dan sebagainya. Berbeda dengan itu, lulusan Universitas Trisakti banyak berdikari dalam beragam sektor, baik di bidang akademik, industri, jasa, maupun sektor lain. ”Universitas Bina Nusantara (Binus) itu didirikan oleh alumni Trisakti,” ujar Yuswar.
MEA, yang akan disongsong pada akhir2015, dianggapsebagaipeluangbagi Universitas Esa Unggul Indonusa. Menurut Rektor Esa Unggul Arief Kusuma, MEA bisa menjadi ancaman bagi dunia pendidikan Indonesia, bisa pula menjadi peluangbesar. Bentukpeluangnya, perguruan tinggi akan tertantang untuk mengembangkan kapasitas serta kemampuandalammenelurkanlulusan.” Tinggal memilih saja, apakah dijadikan sebagai tantangan atau ancaman,” ujar Arief.
Bagi perguruan tinggi yang tidak meningkatkan akuntabilitas, kualitas sumber daya manusia (SDM), tenaga pengajar, dan penyesuaian kurikulum akademiknya, maka proses serta pola pembelajaran di kampus itu akan berlangsung stagnan. Sebaliknya, perguruan tinggi yang mampu menyesuaikan kebutuhan dunia industri dan bisnis akan membuat penyesuaian terhadap kurikulum atau membuka program studi baru demi memenuhi kebutuhan tenaga kerja, baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun global.
Tentu kapasitas tenaga pengajar akan lebih dioptimalkan lagi. Bisa juga dengan mengirimkan mahasiswa terbaik ke perguruan tinggi luar negeri untuk program pertukaran mahasiswa. Dengan program ini, mahasiswa yang dikirim bakal mendapatkan atmosfer dan kapasitas yang berdaya saing lebih kuat. Pada MEA ini akan banyak industri dari luar negeri yang berekspansi di Indonesia. Mereka tentu tidak mau mengambil risiko dalam mengembangkan bisnis. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut adalah dengan memanfaatkan SDM yang andal dan kompetitif.
”Mereka mungkin akan membawa SDM dari negeri sendiri,” kata Arief. Cara seperti itu membuat kesempatan tenaga produktif atau lulusan perguruan tinggi Indonesia semakin ketat persaingannya untuk mendapatkan kesempatan bekerja. Ekspatriat akan semakin banyak berada di Indonesia. Hal itu harus diantisipasi dengan membuat lulusan yang memiliki kapasitas yang sesuai kebutuhan di tingkat global, sehingga mereka tidak hanya menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tapi juga dapat berkompetisi di negara ASEAN lain.
Dalam hal ini, sebut Arief, universitasnya sudah membuat beragam terobosan. Kampus ini mengedepankan program studi di bidang kesehatan dan engineering. Sebab, pada MEA nanti akan banyak rumah sakit internasional hadir di Indonesia. Tentu kebutuhan tenaga medis bakal sangat meningkat.
Begitu pula dengan bidang engineering. Pasalnya, pemerintah tengah mengedepankan pembangunan di bidang infrastruktur untuk melancarkan kebutuhan pengiriman logistik dan peningkatan ekonomi lain. Peluang dilihat oleh Arief untuk Esa Unggul dengan mempersiapkan lulusan di bidang tersebut.
Ilham safutra
(ars)