Islam Nusantara II
A
A
A
Semasa SMA saya paling payah dalam ilmu kimia. Meski begitu saya masih ingat bahwa O2 disebut oksigen atau zat asam. Tapi kalau sudah ditambah dengan hidrogen (zat air) menjadi H2O, namanya sudah berubah menjadi air dan kalau ditambah lagi dengan sulfur menjadi H2S04, namanya berubah lagi menjadi asam sulfat walaupun dalam kedua senyawa itu masih ada unsur oksigen.
Hakikat dari suatu zat akan langsung hilang begitu dicampur dengan unsur lain. Jadi kalau oksigen ya oksigenlah. Tidak ada oksigen Arab, oksigen Pakistan, atau oksigen Nusantara. Tapi itu dalam ilmu kimia, satu cabang dari ilmu fisika. Coba sekarang kita beralih ke luar ilmu kimia. Kita semua tahu “kursi”, kan? Kursi di mana-mana juga kursi, yaitu suatu benda yang dibuat manusia untuk dijadikan tempat duduk.
Mau di Mekkah atau di Cibinong, yang namanya kursi ya kursi. Tapi coba sekarang tambahkan unsur lain, misalnya “kayu”, kursi kita menjadi kursi kayu, ada sifat kayunya tetapi masih tetap kursi, kan? Atau boleh kita tambah lagi dengan “hijau”, menjadi “kursi kayu hijau”, tetapi sifat kekursiannya masih melekat. Atau boleh ditambah terus sehingga menjadi misalnya “kursi kayu hijau saya di sudut kamar tidur mama”. Banyak sekali tambahan unsurnya, tetapi tetap tidak kehilangan sifat kekursiannya. Itulah yang ada dalam ilmu metafisika atau filsafat.
Filsafat adalah ilmu tentang berpikir. Dalam berpikir, manusia menggunakan ide yang diwujudkan dalam kata atau istilah. Ada ide-ide yang bersifat universal (berlaku di mana saja, kapan saja, di seluruh dunia), ada yang bersifat partikular (khusus, bagian dari universal), bahkan ada yang singular (individual).
“Kursi”, misalnya, adalah ide universal, sedangkan “kursi hijau” adalah ide partikular (khusus kursi yang berwarna hijau, tidak termasuk yang warna lain), sedangkan “kursi hijau saya” adalah ide singular, hanya ada satusatunya, yaitu kursi hijau yang itu, yangadadikamarmama. Tapi khususnya dalam ilmu kimia tidak ada universal, partikular, singular, karena hal-hal yang lebih khusus (partikular) itu senantiasa identik dengan yang umum (universal).
Begitu juga dalam matematika, angka “2” berarti dua, kapansaja, dimanasaja, apakah dia umum maupun khusus. Ketika ditambah dengan angka lain, hakikatnya langsung berubah, misalnya 22, 2.000, 2.000.000 (semua berubah hakikat, bukan lagi dua). Begitu juga dengan ide tentang Islam Nusantara. Beberapa waktu lalu, sebelum puasa, di depan Munas NU diMasjid Istiqlal, Presiden Jokowi meluncurkan istilah baru itu.
Maksudnya tentu saja adalah Islam yang dipraktikkan di Indonesia, yang sejuk, damai, inklusif, moderat, dan toleran. Istilah ini langsung jadi kontroversial. Mereka yang tidak setuju melayangkan protes kepada Presiden Jokowi. Argumentasi mereka, Islam ya Islam, tidak perlu ditambah embelembel, karena rujukannya sudah jelas: Alquran dan hadis. Yang keluar dari itu malah bisa menjadi aliran sesat.
Tapi argumentasi seperti itu salah karena agama bukan tergolong ilmu kimia atau matematika. Dalam ilmu kimia, memang benar tidak ada O2 lain dan dalam matematika tidak ada angka 2 lain, selain yang sudah dimaksud dari sono- nya karena memang tidak ada partikular atau singular yang berbeda dari universalnya. Namun agama bukan kimia dan juga bukan matematika.
Analogi agama (termasuk Islam) yang lebih tepat adalah “kursi” bukan “oksigen”. Islam yang universal memang ada, yaitu hakikat yang diturunkan oleh Allah SWT melalui Rasulullah Muhammad SAW. Tapi ketika Islam itu dipraktikkan oleh manusia biasa, langsung terjadi Islam yang partikular.
Masalahnya, dalammempraktikkanagama, manusia selalu mengandalkan pikirannya (satu-satunya alat dalam sistem psiko-fisik manusia untuk menganalisis masalah), maka terjadilah penafsiran. Ketika masuk unsur tafsir, masuklah faktor kebiasaan, adat, kesenangan, kepentingan kelompok, kebudayaan, dan 1.001 faktor lain yang memecah-mecah keuniversalan Islam menjadi partikular, bahkan individual atau singular.
Karena itulah ada Islam Sunni, Islam Syiah. Islam mazhab Syafii, Islam mazhab Hambali, Islam Afghanistan, Islam Arab Saudi, dan Islam Nusantara. Di Nusantara ada Islam Minangkabau yang patriarkat, Islam Tapanuli yang beradat persis sama dengan Kristen Batak, Islam Jawa Tengah yang percaya kepada Nyai Loro Kidul,
dan bertradisi selamatan seperti orang Hindu, Islam Kudus yang masjidnya bermenara seperti kuil Hindu dan tempat wudunya berornamen arca Hindu, dan masih banyak lagi. Semua itu tidak kehilangan hakikat keislamannya walaupun tidak sama dengan Islam yang di Arab.
Pada suatu waktu di masa lalu, kebetulan saya dan dua orang Indonesia lain pernah salat Idul Fitri di sebuah masjid di Birmingham, Inggris. Masjid itu adalah masjid komunitas Pakistan setempat. Banyak penganan dijajakan (namanya juga Lebaran), tetapi kami tidak tertarik karena penganan-penganan itu terlalu manis buat lidah kami.
Maka kami pun langsung masuk dan duduk mengambil tempat di dalam masjid dan mendengarkan khotbah dalam bahasa Urdu yang tidak kami pahami. Untunglah ketika takbir dan salat dimulai, ayat Alfatihah yang dibacakan akrab di telinga kami sehingga kami pun merasa khusuk seperti di rumah sendiri, sampai tibalah saatnya di pengujung surat Alfatihah imam membaca ... “waladhdhoollin”...,
maka dengan semangat 45 kami bertiga yang berislam Nusantara segera menyahut keras-keras beramai-ramai ... “amiiinnn “. Tapi ternyata hanya kami bertiga yang mengamini secara penuh semangat. Jamaah yang lain diam saja. Di situlah kami bertiga menyadari bahwa Islam Nusantara ya hanya berlaku di Indonesia dan tentunya Islam yang non-Nusantara tidak bisa dimasukkan ke Indonesia, apalagi dengan cara paksaan dan kekerasan.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
Hakikat dari suatu zat akan langsung hilang begitu dicampur dengan unsur lain. Jadi kalau oksigen ya oksigenlah. Tidak ada oksigen Arab, oksigen Pakistan, atau oksigen Nusantara. Tapi itu dalam ilmu kimia, satu cabang dari ilmu fisika. Coba sekarang kita beralih ke luar ilmu kimia. Kita semua tahu “kursi”, kan? Kursi di mana-mana juga kursi, yaitu suatu benda yang dibuat manusia untuk dijadikan tempat duduk.
Mau di Mekkah atau di Cibinong, yang namanya kursi ya kursi. Tapi coba sekarang tambahkan unsur lain, misalnya “kayu”, kursi kita menjadi kursi kayu, ada sifat kayunya tetapi masih tetap kursi, kan? Atau boleh kita tambah lagi dengan “hijau”, menjadi “kursi kayu hijau”, tetapi sifat kekursiannya masih melekat. Atau boleh ditambah terus sehingga menjadi misalnya “kursi kayu hijau saya di sudut kamar tidur mama”. Banyak sekali tambahan unsurnya, tetapi tetap tidak kehilangan sifat kekursiannya. Itulah yang ada dalam ilmu metafisika atau filsafat.
Filsafat adalah ilmu tentang berpikir. Dalam berpikir, manusia menggunakan ide yang diwujudkan dalam kata atau istilah. Ada ide-ide yang bersifat universal (berlaku di mana saja, kapan saja, di seluruh dunia), ada yang bersifat partikular (khusus, bagian dari universal), bahkan ada yang singular (individual).
“Kursi”, misalnya, adalah ide universal, sedangkan “kursi hijau” adalah ide partikular (khusus kursi yang berwarna hijau, tidak termasuk yang warna lain), sedangkan “kursi hijau saya” adalah ide singular, hanya ada satusatunya, yaitu kursi hijau yang itu, yangadadikamarmama. Tapi khususnya dalam ilmu kimia tidak ada universal, partikular, singular, karena hal-hal yang lebih khusus (partikular) itu senantiasa identik dengan yang umum (universal).
Begitu juga dalam matematika, angka “2” berarti dua, kapansaja, dimanasaja, apakah dia umum maupun khusus. Ketika ditambah dengan angka lain, hakikatnya langsung berubah, misalnya 22, 2.000, 2.000.000 (semua berubah hakikat, bukan lagi dua). Begitu juga dengan ide tentang Islam Nusantara. Beberapa waktu lalu, sebelum puasa, di depan Munas NU diMasjid Istiqlal, Presiden Jokowi meluncurkan istilah baru itu.
Maksudnya tentu saja adalah Islam yang dipraktikkan di Indonesia, yang sejuk, damai, inklusif, moderat, dan toleran. Istilah ini langsung jadi kontroversial. Mereka yang tidak setuju melayangkan protes kepada Presiden Jokowi. Argumentasi mereka, Islam ya Islam, tidak perlu ditambah embelembel, karena rujukannya sudah jelas: Alquran dan hadis. Yang keluar dari itu malah bisa menjadi aliran sesat.
Tapi argumentasi seperti itu salah karena agama bukan tergolong ilmu kimia atau matematika. Dalam ilmu kimia, memang benar tidak ada O2 lain dan dalam matematika tidak ada angka 2 lain, selain yang sudah dimaksud dari sono- nya karena memang tidak ada partikular atau singular yang berbeda dari universalnya. Namun agama bukan kimia dan juga bukan matematika.
Analogi agama (termasuk Islam) yang lebih tepat adalah “kursi” bukan “oksigen”. Islam yang universal memang ada, yaitu hakikat yang diturunkan oleh Allah SWT melalui Rasulullah Muhammad SAW. Tapi ketika Islam itu dipraktikkan oleh manusia biasa, langsung terjadi Islam yang partikular.
Masalahnya, dalammempraktikkanagama, manusia selalu mengandalkan pikirannya (satu-satunya alat dalam sistem psiko-fisik manusia untuk menganalisis masalah), maka terjadilah penafsiran. Ketika masuk unsur tafsir, masuklah faktor kebiasaan, adat, kesenangan, kepentingan kelompok, kebudayaan, dan 1.001 faktor lain yang memecah-mecah keuniversalan Islam menjadi partikular, bahkan individual atau singular.
Karena itulah ada Islam Sunni, Islam Syiah. Islam mazhab Syafii, Islam mazhab Hambali, Islam Afghanistan, Islam Arab Saudi, dan Islam Nusantara. Di Nusantara ada Islam Minangkabau yang patriarkat, Islam Tapanuli yang beradat persis sama dengan Kristen Batak, Islam Jawa Tengah yang percaya kepada Nyai Loro Kidul,
dan bertradisi selamatan seperti orang Hindu, Islam Kudus yang masjidnya bermenara seperti kuil Hindu dan tempat wudunya berornamen arca Hindu, dan masih banyak lagi. Semua itu tidak kehilangan hakikat keislamannya walaupun tidak sama dengan Islam yang di Arab.
Pada suatu waktu di masa lalu, kebetulan saya dan dua orang Indonesia lain pernah salat Idul Fitri di sebuah masjid di Birmingham, Inggris. Masjid itu adalah masjid komunitas Pakistan setempat. Banyak penganan dijajakan (namanya juga Lebaran), tetapi kami tidak tertarik karena penganan-penganan itu terlalu manis buat lidah kami.
Maka kami pun langsung masuk dan duduk mengambil tempat di dalam masjid dan mendengarkan khotbah dalam bahasa Urdu yang tidak kami pahami. Untunglah ketika takbir dan salat dimulai, ayat Alfatihah yang dibacakan akrab di telinga kami sehingga kami pun merasa khusuk seperti di rumah sendiri, sampai tibalah saatnya di pengujung surat Alfatihah imam membaca ... “waladhdhoollin”...,
maka dengan semangat 45 kami bertiga yang berislam Nusantara segera menyahut keras-keras beramai-ramai ... “amiiinnn “. Tapi ternyata hanya kami bertiga yang mengamini secara penuh semangat. Jamaah yang lain diam saja. Di situlah kami bertiga menyadari bahwa Islam Nusantara ya hanya berlaku di Indonesia dan tentunya Islam yang non-Nusantara tidak bisa dimasukkan ke Indonesia, apalagi dengan cara paksaan dan kekerasan.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
(bbg)