Paket Pemilu Hong Kong Gagal
A
A
A
HONG KONG - Parlemen Hong Kong menolak paket reformasi pemilihan umum (pemilu) yang didukung China. Penolakan ini akan membuka babak baru dalam pemilihan pemimpin Hong Kong pada 2017.
Namun, sejauh mana intervensi China bisa tersingkir, masih terlalu dini bagi Hong Kong untuk melakukan selebrasi. Aktivis prodemokrasi menyambut gembira penolakan itu. Mereka menyebut proposal reformasi yang diajukan merupakan topeng yang dibuat untuk menutupi wajah demokrasi sebenarnya.
Dengan reformasi itu, meskipun pemilu digelar, semua kandidat merupakan hasil saringan China. Dalam pemilu 2017, China ingin pemimpin Hong Kong masih bagian dari loyalis China dengan alasan untuk menjaga kestabilan nasional. Namun, keinginan itu mendapat perlawanan, terutama dari kalangan mahasiswa. Sejauh ini semua pemimpin besar di berbagai wilayah China lahir dari Partai Komunis China. Kemarin sidang parlemen di ruang Badan Legislatif berlangsung cepat dan hanya dihadiri 37 anggota. Artinya kurang 33 orang dari total anggota parlemen.
Sebanyak 28 anggota menolak rancangan reformasi yang diajukan dan hanya delapan anggota yang mendukung. Satu anggota lainnya abstain. ”Hari ini (kemarin) 28 anggota legislatif memvoting untuk melawan keinginan mayoritas masyarakat Hong Kong,” kata Ketua Eksekutif Leung Chunying, dikutip Reuters. ”Hak pilih universal untuk memilih ketua eksekutif sekarang diblok. Hak pilih untuk memilih semua anggota legislatif juga menjadi tidak pasti,” sambung pemimpin ketiga Hong Kong itu.
Chun-ying menambahkan, pemerintah dan jutaan masyarakat Hong Kong kecewa dengan hasil itu. Juru bicara Kongres Rakyat Nasional (NPC) mengatakan, sebagian kecil anggota parlemen Hong Kong keras kepala. ”Sikap itu menghambat perkembangan demokrasi dan merusak stabilitas Hong Kong,” tandasnya. Sesaat sebelum jajak pendapat dilakukan, banyak anggota parlemen pro-China yang meninggalkan ruang sidang (walkout). Padahal, jika diperhitungkan secara kasar, reformasi itu akan berjalan mulus.
Anggota Democratic Alliance for the BettermentandProgressofHong Kong (DAB) Tam Yiu-chung mengatakan, 30 anggota pro- China tidak ada di ruang sidang. Semua anggota yang menolak reformasi mendesak aktivis prodemokrasi untuk terus berjuang dalam mencari hak pilih universal yang nyata. ”Hasil veto ini membantu Hong Kong mengirimkan pesan yang jelas kepada Beijing bahwa kami ingin pemilu yang benar-benar nyata dan asli,” kata anggota parlemen prodemokrasi Alan Leong. Alan melanjutkan, meski menang, perjuangan aktivis prodemokrasi belum berakhir.
”Sebenarnya baru dimulai,” ucap Alan. Di luar parlemen aktivis prodemokrasi bersukacita sambil bertepuk tangan menyambut hasil veto tersebut. ”Ini kemenangan demokrasi dan rakyat,” tandas seorang aktivis prodemokrasi, Wong, 75. Sementara itu, sekitar 500 aktivis pro-Beijing atau antidemokrasi meneriakkan yel-yel menentang anggota legislatif yang menolak reformasi untuk tidak kembali didukung.
”Turunkan mereka pada 2016!” teriak mereka. Ratusan polisi berjaga-jaga mengawasi situasi di sekitar parlemen dan mencegah terjadi bentrok antardua kelompok itu. Proposal reformasi itu disusun NPC di Beijing pada Agustus 2014. Pembentukannya didukung para pejabat Hong Kong pro-China. Namun, kini misi itu gagal. Artinya, Hong Kong kemungkinan akan kembali menggunakan sistem lama. Sekitar 1.200 anggota komite yang dipenuhi politisi pro-China akan mengendalikan pemilihan. Anggota parlemen Michael Tien mengatakan peluang penerapan reformasi pada 2017 masih terbuka.
”Tahun depan kanada pemilihan legislatif. Sekarang, kekuasaan ada di tangan pemilih. Jika mereka ingin paket reformasi yang sekarang diimplementasikan, mereka harus memilih kandidat legislatif yang mendukung reformasi itu,” katanya.
Muh shamil
Namun, sejauh mana intervensi China bisa tersingkir, masih terlalu dini bagi Hong Kong untuk melakukan selebrasi. Aktivis prodemokrasi menyambut gembira penolakan itu. Mereka menyebut proposal reformasi yang diajukan merupakan topeng yang dibuat untuk menutupi wajah demokrasi sebenarnya.
Dengan reformasi itu, meskipun pemilu digelar, semua kandidat merupakan hasil saringan China. Dalam pemilu 2017, China ingin pemimpin Hong Kong masih bagian dari loyalis China dengan alasan untuk menjaga kestabilan nasional. Namun, keinginan itu mendapat perlawanan, terutama dari kalangan mahasiswa. Sejauh ini semua pemimpin besar di berbagai wilayah China lahir dari Partai Komunis China. Kemarin sidang parlemen di ruang Badan Legislatif berlangsung cepat dan hanya dihadiri 37 anggota. Artinya kurang 33 orang dari total anggota parlemen.
Sebanyak 28 anggota menolak rancangan reformasi yang diajukan dan hanya delapan anggota yang mendukung. Satu anggota lainnya abstain. ”Hari ini (kemarin) 28 anggota legislatif memvoting untuk melawan keinginan mayoritas masyarakat Hong Kong,” kata Ketua Eksekutif Leung Chunying, dikutip Reuters. ”Hak pilih universal untuk memilih ketua eksekutif sekarang diblok. Hak pilih untuk memilih semua anggota legislatif juga menjadi tidak pasti,” sambung pemimpin ketiga Hong Kong itu.
Chun-ying menambahkan, pemerintah dan jutaan masyarakat Hong Kong kecewa dengan hasil itu. Juru bicara Kongres Rakyat Nasional (NPC) mengatakan, sebagian kecil anggota parlemen Hong Kong keras kepala. ”Sikap itu menghambat perkembangan demokrasi dan merusak stabilitas Hong Kong,” tandasnya. Sesaat sebelum jajak pendapat dilakukan, banyak anggota parlemen pro-China yang meninggalkan ruang sidang (walkout). Padahal, jika diperhitungkan secara kasar, reformasi itu akan berjalan mulus.
Anggota Democratic Alliance for the BettermentandProgressofHong Kong (DAB) Tam Yiu-chung mengatakan, 30 anggota pro- China tidak ada di ruang sidang. Semua anggota yang menolak reformasi mendesak aktivis prodemokrasi untuk terus berjuang dalam mencari hak pilih universal yang nyata. ”Hasil veto ini membantu Hong Kong mengirimkan pesan yang jelas kepada Beijing bahwa kami ingin pemilu yang benar-benar nyata dan asli,” kata anggota parlemen prodemokrasi Alan Leong. Alan melanjutkan, meski menang, perjuangan aktivis prodemokrasi belum berakhir.
”Sebenarnya baru dimulai,” ucap Alan. Di luar parlemen aktivis prodemokrasi bersukacita sambil bertepuk tangan menyambut hasil veto tersebut. ”Ini kemenangan demokrasi dan rakyat,” tandas seorang aktivis prodemokrasi, Wong, 75. Sementara itu, sekitar 500 aktivis pro-Beijing atau antidemokrasi meneriakkan yel-yel menentang anggota legislatif yang menolak reformasi untuk tidak kembali didukung.
”Turunkan mereka pada 2016!” teriak mereka. Ratusan polisi berjaga-jaga mengawasi situasi di sekitar parlemen dan mencegah terjadi bentrok antardua kelompok itu. Proposal reformasi itu disusun NPC di Beijing pada Agustus 2014. Pembentukannya didukung para pejabat Hong Kong pro-China. Namun, kini misi itu gagal. Artinya, Hong Kong kemungkinan akan kembali menggunakan sistem lama. Sekitar 1.200 anggota komite yang dipenuhi politisi pro-China akan mengendalikan pemilihan. Anggota parlemen Michael Tien mengatakan peluang penerapan reformasi pada 2017 masih terbuka.
”Tahun depan kanada pemilihan legislatif. Sekarang, kekuasaan ada di tangan pemilih. Jika mereka ingin paket reformasi yang sekarang diimplementasikan, mereka harus memilih kandidat legislatif yang mendukung reformasi itu,” katanya.
Muh shamil
(ars)