Kebijakan Opsional S-1 Tanpa Skripsi

Senin, 15 Juni 2015 - 09:34 WIB
Kebijakan Opsional S-1 Tanpa Skripsi
Kebijakan Opsional S-1 Tanpa Skripsi
A A A
Terbetik berita, 23 Mei lalu, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristek Dikti) berencana menelurkan kebijakan baru yakni tidak mewajibkan penulisan skripsi sebagai syarat kelulusan program sarjana (S-1).

Motivasinya untuk menekan potensi kecurangan dalam penyusunan tugas akhir itu. Rencana tersebut disampaikan langsung oleh Menristek Dikti Muhammad Nasir. Menurut mantan rektor Universitas Diponegoro ini, penulisan skripsi sedang dikaji menjadi syarat opsional saja untuk lulus sarjana. ”Sebagai ganti nanti mahasiswa yang akan lulus diberikan pilihan-pilihan,” ujar Nasir.

Selain menyusun skripsi, mereka juga boleh memilih untuk mengerjakan pengabdian ke masyarakat atau laporan penelitian di laboratorium. Terus-terang setelah membaca berita ini, saya jadi bertanya sendiri: ke mana saja Menteri Nasir selama ini? Bukankah sebelum menjadi menteri dia seorang rektor, namun mengapa seolah tidak tahu bahwa kebijakan opsional sebagai syarat kelulusan S-1 itu sudah relatif lama diberlakukan di berbagai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta?

Di Universitas Indonesia misalnya sewaktu Prof dr MK Tadjudin menjadi rektor (1994-1998) pernah diterbitkan surat keputusan yang menyebutkan bahwa bagi mahasiswa yang telah menyelesaikan 150 satuan kredit semester (SKS) terbuka peluang untuk memperoleh gelar sarjana tanpa harus membuat skripsi. Jadi, setelah mengumpulkan sedikitnya 140 SKS, mahasiswa boleh memilih untuk menempuh jalur skripsi atau nonskripsi.

Terhadap kekhawatiran penghapusan skripsi akan melemahkan daya analisis ilmiah para sarjana, menurut Tadjudin, itu bukan masalah. Karena sebagai ganti, tugas-tugas menulis akan lebih diperbanyak. Terkait kebijakan opsional itu, yang juga perlu dipikirkan ke depan, apakah S-1 skripsi maupun S-1 nonskripsi sama-sama berhak untuk melanjutkan ke jenjang S-2? Kalau begitu, apa untungnya atau bangganya membuat skripsi ?

Bukankah ini berpeluang menimbulkan ”kecemburuan intelektual” secara tak langsung bagi para sarjana yang membuat skripsi? Lagi pula ini perlu dipikirkan bahwa mahasiswa S-2 yang pernah membuat skripsi saja masih kesulitan saat harus membuat tesis, apalagi jika sebelumnya mereka tak pernah membuat skripsi? Ada pendapat bahwa skripsi merupakan wahana untuk mengembangkan kualitas keilmuan seorang sarjana.

Skripsi ditulis setelah melalui penelitian mendalam, yang hasil-hasil maupun temuan- temuannya kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan formal yang analitis-sistemik. Setelah berhasil menyusun skripsi pun, kualitas kesarjanaan seseorang masih harus terus diasah supaya makin dalam.

Ia masih perlu belajar terus-menerus, melalui kegiatan penelitian dan penulisan laporan penelitian, agar kelak terbukti bahwa kesarjanaan yang diperolehnya betulbetul berbobot dan bukan sekadar gelar berdasar secarik ijazah belaka. Jika skripsi saja tak cukup untuk membuktikan kesarjanaan seseorang, lalu bagaimana dengan sarjana yang tak pernah melalui proses pembuatan skripsi?

Menyusun skripsi memang tak mudah dan memakan waktu yang relatif lama. Itu pun baru boleh dilakukan setelah melalui beberapa semester perkuliahan. Mahasiswa harus terlebih dulu memiliki perangkat teori, konsep, pengetahuan, dan metode yang dianggap memadai agar mampu menghasilkan sebuah karya ilmiah yang teruji kebenaran, kesahihan, orisinalitas, dan objektivitasnya melalui suatu sidang terbatas dewan penguji.

Karena itu, skripsi bisa dianggap sebagai ajang bagi setiap calon sarjana untuk menikmati kebebasan akademik dalam menggali kebenaran, mencari data-data, dan mengemukakan pendapat yang tidak berpretensi apa pun selain demi kepentingan mengembangkan ilmu itu sendiri. Melalui skripsi, dia belajar bagaimana kebenaran ilmiah itu diperoleh melalui tahapantahapan penelitian yang berlaku standar menurut metode ilmiah.

Berdasarkan itu, bukankah sebenarnya banyak nilai plus yang bisa diperoleh seorang calon sarjana kalau dia diwajibkan membuat skripsi? Kalau lamanya waktu yang menjadi kendala, mengapa bukan peraturan, prosedur, dan proses bimbingan skripsi itu sendiri yang dibenahi?

Dari pengalaman saya semasa mahasiswa dulu dan kini sebagai dosen, harus diakui bahwa masalah utama yang sering dihadapi mahasiswa dalam menyusun skripsi adalah proses bimbingan seperti si pembimbing sulit ditemui, si pembimbing sangat terbatas waktunya, si pembimbing kurang ahli dalam topik atau objek penelitian yang sedang ditekuni mahasiswanya, dan lain-lain.

Tentang hubungan antara sarjana dan peluang kerja, ini sebenarnya patut dipertanyakan: mengapa kesarjanaan dipandang sebagai prasyarat untuk masuk ke bursa kerja? Apakah memang itu tujuannya menjadi sarjana? Bukankah kesarjanaan sejatinya mengindikasikan bobot keilmuan yang dimiliki seseorang? Lalu, apa hubungannya dengan pekerjaan?

Apakah manfaat ilmu memang untuk bekerja, dalam arti mencari uang? Kalau itu yang dimaksud, sesungguhnya kita sudah salah memahami hakikat ilmu. Jelas harus dibedakan antara ilmu (science ) dan keterampilan (skill ).

Ilmu, sebagai salah satu unsur kebudayaan, adanya di pikiran, sebagai perangkat pengetahuan, teori, konsep, metode, yang sistemik-selektif-logis, yang berfungsi sebagai pedoman dalam memandang dan menginterpretasi segala yang ada dan terjadi dalam kehidupan di dalam dan di luar alam semesta ini, dan yang digunakan secara operasional untuk memecahkan masalah- masalah dan memenuhi kebutuhan- kebutuhan kognitif dan informatif (Suparlan, 1992).

Dengan demikian, ilmu sebenarnya tidak berkait langsung dengan pekerjaan. Khususnya ilmuilmu noneksakta (social sciences), akan terlihat jelas bagaimana seorang yang ahli dalam ilmu ini ternyata tak otomatis akan berhasil dalam bidang pekerjaan yang bercocokan. Berdasarkan itu, dapat dikatakan bahwa frasa ”sarjana siap pakai” sebenarnya salah kaprah.

Orang belajar susahpayah sampai menjadi sarjana bukan untuk siap bekerja. Jika itu tujuannya, akan banyaklah sarjana yang frustrasi karena tidak mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan latar belakang ilmunya, bahkan yang imbalannya ”tak sebanding” denganbiaya-biayayangsudahdikeluarkan demi meraih gelar kesarjanaan itu. Namun, bukan berarti bahwa ilmu itu sendiri tak ada gunanya ketika seorang sarjana masuk ke dunia kerja.

Berdasarkan uraian di atas, saya mengusulkan agar kebijakan opsional menjadi sarjana dengan atau tanpa skripsi ini dikaji lebih mendalam agar lebih spesifik dan rinci sebagai peraturan menteri nanti. Pertama, apakah opsi ini berlaku untuk semua program studi?

Kedua, apakah hal lain yang menjadi pengganti skripsi itu cukup memadai untuk membentuk kemampuan sarjana dalam meneliti dan membuat laporan penelitian yang sesuai standar ilmiah? Ketiga, apakah sarjana tanpa skripsi boleh melanjutkan studi ke jenjang S-2?

Victor Silaen
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan, Jakarta
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3930 seconds (0.1#10.140)