KPK Temukan 14 Potensi Masalah Pengelolaan Dana Desa
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan 14 potensi persoalan dalam pengelolaan dana desa yang berjumlah Rp20,7 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015. Rencananya, dana itu akan tersalur pada 74.093 desa di seluruh Indonesia.
Atas penemuan ini, KPK mengundang Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDT) guna memaparkan hasil kajian itu.
Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi mengatakan, 14 potensi persoalan yang dimulai sejak Januari 2015 itu terdiri dari aspek regulasi kelembagaan, aspek tata laksana, aspek pengawasan dan aspek sumber daya manusia.
Aspek regulasi kelembagaan terdiri dari belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan keuangan desa, potensi tumpang tindih kewenangan Kemendes PDT dengan Ditjen Bina Pemerintah Desa Kemendagri, tidak transparannya formula pembagian dana desa dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 tahun 2015 dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan.
Selain itu, pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari anggaran dana desa (ADD) yang diatur dalam PP Nomor 43 tahun 2014 dinilai kurang berkeadilan serta kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa yang tidak efisien akibat ketentuan regulasi dan tumpang tindih.
"Persoalan yang cukup mencolok, adalah formula pembagian dana desa yang berubah. Sebagai ilustrasi, sesuai formula PP No. 60/2014, Desa A dengan luas 7,5 km persegi dan memiliki 21 dusun akan mendapat dana desa Rp437 juta, sedangkan Desa B dengan luas Rp1,5 km dan memiliki 3 dusun maka mendapat dana Rp41 juta. Namun dengan peraturan baru PP No. 22/2015 Desa A dapat Rp312 juta dan B Rp263 juta," kata Johan dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (12/6/2015).
Johan menambahkan, ada lima persoalan yang ditemukan dari segi pelaksanaan yaitu kerangka waktu situs pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa, belum tersedianya atuan harga baku barang atau jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa, masih rendanhnya transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa.
"Selain itu laporan pertanggung jawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi. Serta APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa," ucap Johan.
"Mengenai poin terakhir, misalnya Desa X yang minim infrastruktur dan proporsi jumlah penduduk mayoritaa miskin, justru memprioritaskan penggunana APBDesa untuk renovasi kantor desa yang kondisinya masih relatif baik," terang Johan.
Sedangkan pada aspek pengawasan terdapat tiga potensi persoalan yang dihadapi, yakni masih rendahnya efektivitas inspektorat daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa, tidak terkelolanya dengan baik saluran pengaduan masyarakat oleh semua daerah dan belum jelasnya ruang lingkup evaluasi dari pengawasan yang dilakukan oleh camat.
"Sementara dilihat dari aspek sumber daya manusia terdapat potensi persoalan yakni tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi dengan memanfaatkan lemahnya aparat desa," sambungnya.
Atas sejumlah persoalan itu, KPK berharap kajian ini mampu menjadi mekanisme pemicu dalam upaya perbaikan dalam pengelolaan keuangan desa bersama semua pemangku kepentingan. "KPK berpandangan dana desa haruslah mampu memajukan desa," kata dia.
Atas penemuan ini, KPK mengundang Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDT) guna memaparkan hasil kajian itu.
Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Johan Budi mengatakan, 14 potensi persoalan yang dimulai sejak Januari 2015 itu terdiri dari aspek regulasi kelembagaan, aspek tata laksana, aspek pengawasan dan aspek sumber daya manusia.
Aspek regulasi kelembagaan terdiri dari belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan keuangan desa, potensi tumpang tindih kewenangan Kemendes PDT dengan Ditjen Bina Pemerintah Desa Kemendagri, tidak transparannya formula pembagian dana desa dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 tahun 2015 dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan.
Selain itu, pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari anggaran dana desa (ADD) yang diatur dalam PP Nomor 43 tahun 2014 dinilai kurang berkeadilan serta kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa yang tidak efisien akibat ketentuan regulasi dan tumpang tindih.
"Persoalan yang cukup mencolok, adalah formula pembagian dana desa yang berubah. Sebagai ilustrasi, sesuai formula PP No. 60/2014, Desa A dengan luas 7,5 km persegi dan memiliki 21 dusun akan mendapat dana desa Rp437 juta, sedangkan Desa B dengan luas Rp1,5 km dan memiliki 3 dusun maka mendapat dana Rp41 juta. Namun dengan peraturan baru PP No. 22/2015 Desa A dapat Rp312 juta dan B Rp263 juta," kata Johan dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Jumat (12/6/2015).
Johan menambahkan, ada lima persoalan yang ditemukan dari segi pelaksanaan yaitu kerangka waktu situs pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa, belum tersedianya atuan harga baku barang atau jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa, masih rendanhnya transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa.
"Selain itu laporan pertanggung jawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi. Serta APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa," ucap Johan.
"Mengenai poin terakhir, misalnya Desa X yang minim infrastruktur dan proporsi jumlah penduduk mayoritaa miskin, justru memprioritaskan penggunana APBDesa untuk renovasi kantor desa yang kondisinya masih relatif baik," terang Johan.
Sedangkan pada aspek pengawasan terdapat tiga potensi persoalan yang dihadapi, yakni masih rendahnya efektivitas inspektorat daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa, tidak terkelolanya dengan baik saluran pengaduan masyarakat oleh semua daerah dan belum jelasnya ruang lingkup evaluasi dari pengawasan yang dilakukan oleh camat.
"Sementara dilihat dari aspek sumber daya manusia terdapat potensi persoalan yakni tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi dengan memanfaatkan lemahnya aparat desa," sambungnya.
Atas sejumlah persoalan itu, KPK berharap kajian ini mampu menjadi mekanisme pemicu dalam upaya perbaikan dalam pengelolaan keuangan desa bersama semua pemangku kepentingan. "KPK berpandangan dana desa haruslah mampu memajukan desa," kata dia.
(maf)