Dana Aspirasi Picu Polemik

Rabu, 10 Juni 2015 - 08:45 WIB
Dana Aspirasi Picu Polemik
Dana Aspirasi Picu Polemik
A A A
JAKARTA - DPR mengusulkan dana aspirasi daerah pemilihan (dapil) sebesar Rp11,2 triliun melalui RAPBN 2016. Usulan ini memicu polemik karena DPR dinilai tidak memiliki hak untuk mengelola anggaran.

Selain itu, anggaran tersebut rawan tumpang tindih dengan program lain di daerah. Mengomentari polemik yang muncul, Ketua DPR Setya Novanto mengklaim dana aspirasi sebesar Rp15-20 miliar per anggota ini tidak untuk digunakan langsung oleh para legislator, tetapi diserahkan ke pemerintah daerah untuk membiayai program pembangunan.

Dengan dana itu, anggota DPR hanya berhak mengusulkan program- program pembangunan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat di dapilnya. Novanto menjelaskan, dana aspirasi ini muncul setelah anggota DPR menampung usulanusulan saat mereka menyerap aspirasi di dapil.

Masyarakat diakui sering mengusulkan pembangunan kepada anggota DPR, namun itu sering tidak bisa direalisasikan. ”Jadi ini usulan-usulan dari anggota, merealisasikan apa yang menjadi kesulitan-kesulitan didaerahnya,” ujar Novanto di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Dana aspirasi untuk anggota DPR ini mengalami lonjakan tajam. Jika tahun sebelumnya setiap anggota hanya mendapat Rp1,6 miliar per anggota, kini naik menjadi Rp15-20 miliar per anggota.

Alasan kenaikan itu menurut Novanto karena menyesuaikan dengan situasi saat ini. Dia juga mengatakan bahwa dana dapil itu baru usulan dan nanti akan dikembalikan ke fraksi-fraksi dan komisi di DPR untuk dibahas. ”Kita dengar suara seluruh fraksi-fraksi dan komisi terkait. Nanti kita lihat hasilnya,” katanya.

Ketua Badan Anggaran DPR Ahmadi Noor Supit menyatakan, dana aspirasi ini merupakan amanat Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). ”Berdasarkan UU, anggota DPR disumpah untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat,” ujarnya. Supit menjelaskan, tadinya dana itu tidak dalam bentuk angka tertentu dan alokasinya tergantung pada komisi anggota.

Misalnya bagi yang berada di komisi pertanian, mereka mudah memperjuangkan hak dapilnya. Namun, itu dinilai tidak adil untuk anggota Komisi I, III, dan juga XI yang mitra kerja nya tidak langsung bersentuhan ke rakyat. ”Supaya ada keadilan, semua anggota bisa mengakomodasi aspirasidaerahnya. Jadidicobaditahun anggaran 2016 ini,” jelasnya.

Jika anggaran sudah disahkan, mulai Juni mendatang setiap anggota DPR sudah mulai menjaring aspirasi konstituennya. Nanti semua usulan yang masuk akan diverifikasi untuk ditentukan melalui pos mana itu bisa diakomodasi. Dia menegaskan tidak akan ada penyelewengan pada anggaran ini karena dana tidak dipegang oleh anggota DPR.

Dia juga menjelaskan bahwa dana aspirasi ini berbeda dengan rumah aspirasi yang juga diperuntukkan bagi rakyat di dapil anggota DPR. Dana rumah aspirasi yang jumlahnya sekitar Rp 1 miliar per anggota dikelola oleh Sekretariat Jenderal DPR.

Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi (Seknas Fitra) Yenny Sucipto menyatakan kebijakan menganggarkan dana aspirasi tersebut tidak tepat, karena DPR tidak berhak mengelola dan mengimplementasikan anggaran negara untuk daerah pemilihan (dapil). ”Lembaga legislatif itu tidak berhak mengelola anggaran,” ucapnya melalui keterangan tertulisnya kemarin.

Yenny juga mengatakan dana aspirasi tersebut rawan tumpang tindih dengan sistem hubungan keuangan pusat dan daerah. Hal ini kontra produktif dengan UU Keuangan Negara di mana alokasi APBN ke daerah sudah dalam jalur dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU) dan dana desa. Selain itu, pihaknya juga melihat pemborosan dana APBN.

Pada APBNP 2015, kata dia, anggaran untuk dapil sudah terlihat tumpah tindih karena setiap bulan sudah melekat dalam tunjangan DPR berupa anggaran untuk kepentingan masyarakat sebesar Rp40 juta per anggota, dengan total Rp2,24 miliar untuk seluruh anggota DPR per bulan. ”Untuk itu, kami dengan tegas menolak dana aspirasi ini masuk dalam RAPBN 2016. Kami akan melakukan upaya hukum dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Ini bertentangan dengan UU Nomor 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU MD3,” ujarnya.

Sementara itu, anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan bahwa dana aspirasi dapil yang diusulkan Rp15-20 miliar untuk masing-masing anggota memang rawan memicu penyelewengan. Karena itu, pengelolaannya tidak dilakukan oleh anggota DPR. Dana aspirasi ini dinilai berbeda dengan dana reses yang diperoleh setiap anggota DPR sekitar Rp150 juta ketika reses.

Menurutnya, hak penggunaan dana reses berada di masing-masing wakil rakyat. ”Dana aspirasi ini uangnya tidak ada di anggota DPR. Bagaimana mau memegang Rp20 miliar, Rp150 juta saja godaannya besar. Karena itu peluang penyalahgunaannya kecil,” ucapnya kemarin di DPR.

Arsul juga menyerukan perlunya pengaturan soal penyaluran dana tersebut agar tidak terjadi potensi tumpang tindih dengan dana desa, ”Makanya mekanisme ini tidak boleh dobel. Misalnya di konstituen saya, kalau sudah mengajukan lewat dana desa, tidak boleh mendapat dana aspirasi,” ujarnya.

Anggota DPR dari Komisi XI Mukhamad Misbakhun menyatakan, program ini bagian dari upaya memperkuat peran keterwakilan anggota DPR sebagai wakil rakyat yang mewakili masyarakat di dapil masing-masing di seluruh Indonesia. Anggaran ini juga akan menimbulkan pemerataan pembangunan di daerah.

Mula akmal
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6393 seconds (0.1#10.140)