Panglima TNI Harus Bisa Jadi Pengayom
A
A
A
YOGYAKARTA - DPR menyarankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memilih panglima TNI yang dapat mengayomi tiga matra TNI, yakni Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU), serta aparat keamanan lain.
Pasalnya, sering terjadi kecemburuan antarmatra yang dapat membahayakan pertahanan negara. ”Saya kira yang dibutuhkan ini adalah sosok panglima TNI yang bisa mengayomi semua matra dan juga komunikasi dengan aparat lain, termasuk aparat keamanan, kepolisian,” kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon seusai acara press gathering koordinatoriat wartawan parlemen di Hotel Melia Purosari, Yogyakarta, kemarin.
Fadli menjelaskan, sudah menjadi rahasia umum bahwa pecahnya dwifungsi ABRI dan pemisahan fungsi antara pertahanan dan keamanan masih menimbulkan ekses. Karena itu peran panglima TNI yang memiliki sifat pengayom bagi semua matra dan lembaga keamanan untuk menjaga stabilitas keamanan sangat penting. ”Saya kira itu tidak bisa dipisahkan meskipun ini sudah semakin kecil eksesnya,” ujar Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu.
Namun, lanjut Fadli, siapa pun yang akan dipilih menjadi Panglima TNI merupakan kewenangan Presiden. Kalau Presiden hendak memilih secara acak dari matra mana, itu juga merupakan hak Presiden dan tidak melanggar undang-undang karena ini kembali lagi kepada selera Presiden. ”Ini kan dulu Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) memang membuat satu tradisi baru dengan membuat pergiliran, tapi itu tidak diatur. Itu hanyalah tradisi, artinya selera,” ujarnya.
Menurut Fadli, kalaupun nanti terjadi masalah lantaran Presiden dianggap tidak adil dalam memilih panglima TNI, itu merupakan risiko dan konsekuensi yang harus ditanggung Presiden. Karena itu hak Presiden yang nantinya perlu persetujuan DPR. ”Saya kira itu terserah Presiden, kalau Presiden merasa perlu AD lagi enggak masalah atau AU maupun AL terserah Presiden,” tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, mantan Kepala Staf TNI AU Chappy Hakim marah. Dia merasa selama ini negara tak pernah menghargai peran TNI AU. Masalah yang disorot Chappy adalah tentang penggantian penjagaan di Bandara Soekarno- Hatta dari Paskhas TNI AU menjadi Marinir TNI AL. ”Padahal secara fungsi Paskhas TNI AU adalah satuan berkualifikasi lebih tepat untuk menjaga bandara,” kata Cheppy.
Kedua, dia mempermasalahkan alih fungsi Bandara Halim Perdanakusuma menjadi bandara komersial. Padahal Bandara Halim adalah pangkalan udara strategis TNI AU. Di sana ada skuadron angkut VIP dan kerap dijadikan markas jet tempur bagi pesawat yang melaksanakan pengawalan Ibu Kota. ”Saat ini dengan perubahan menjadi bandara komersial, tentu tugas TNI AU terganggu,” jelasnya.
Masalah ketiga, lanjutnya, adalah soal jatah panglima TNI. Sepanjang sejarah, baru sekali Marsekal TNI AU menjadi panglima TNI. Dia adalah Marsekal Djoko Suyanto. Selebihnya selalu TNI AD. TNI AL pun baru dua kali kebagian menjadi panglima TNI.
Pengamat militer Susaningtyas Nefo Kertopati Handayani mengatakan semua kepala staf angkatan di TNI dinilai punya kesempatan dan peluang sama untuk menduduki jabatan panglima TNI menggantikan Jenderal TNI Moeldoko yang akan masuk masa pensiun pada 1 Agustus 2015 mendatang.
Menurut dia, Presiden punya hak prerogatif dalam menentukan siapa yang akan diusulkan ke DPR sebagai pengganti Moeldoko. Tapi jika tetap dengan tradisi menempatkan kepala staf secara bergantian sebagai panglima, maka mengusulkan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) saat ini juga hal baik dan itu tidak mengurangi hak prerogatif Presiden. Yang terpenting, menurut dia, panglima TNI ke depan harus orang yang mumpuni.
Bukan hanya pada kemampuannya dalam berperang saja, tetapi juga memiliki pengetahuan politik yang baik meski tak ikut berpolitik. ”Dan hal penting lain, panglima TNI ke depan harus pandai merangkul semua unsur masyarakat dengan mengedepankan humanisme secara tepat,” ujarnya.
Panglima TNI, lanjut dia, juga harus memiliki sistem early warning atau deteksi dini yang tajam. Dengan demikian TNI akan selalu siap menghadapi ancaman faktual kedaulatan NKRI. ”Lebih baik lagi memiliki visi misi pertahanan yang bisa menjadikan TNI sebagai tentara berkemampuan world class army,” ucapnya.
Sementara itu pandangan mengenai tradisi pengajuan panglima TNI yang dilakukan secara bergantian disampaikan anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin. Menurut dia, pemilihan panglima TNI dapat mengacu pada UU Nomor 34/2004 tentang TNI, khususnya Pasal 13 ayat (4), bahwa jabatan panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiaptiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai kepala staf angkatan.
”Kami sepakat, semuanya akhirnya sangat tergantung kepada presiden sebagai pemegang hak prerogatif. Tapi kami yakin hak prerogatif itu akan dijalankan berdasarkan undang- undang yang berlaku,” katanya.
Kiswondari/ Rahmat sahid
Pasalnya, sering terjadi kecemburuan antarmatra yang dapat membahayakan pertahanan negara. ”Saya kira yang dibutuhkan ini adalah sosok panglima TNI yang bisa mengayomi semua matra dan juga komunikasi dengan aparat lain, termasuk aparat keamanan, kepolisian,” kata Wakil Ketua DPR Fadli Zon seusai acara press gathering koordinatoriat wartawan parlemen di Hotel Melia Purosari, Yogyakarta, kemarin.
Fadli menjelaskan, sudah menjadi rahasia umum bahwa pecahnya dwifungsi ABRI dan pemisahan fungsi antara pertahanan dan keamanan masih menimbulkan ekses. Karena itu peran panglima TNI yang memiliki sifat pengayom bagi semua matra dan lembaga keamanan untuk menjaga stabilitas keamanan sangat penting. ”Saya kira itu tidak bisa dipisahkan meskipun ini sudah semakin kecil eksesnya,” ujar Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra itu.
Namun, lanjut Fadli, siapa pun yang akan dipilih menjadi Panglima TNI merupakan kewenangan Presiden. Kalau Presiden hendak memilih secara acak dari matra mana, itu juga merupakan hak Presiden dan tidak melanggar undang-undang karena ini kembali lagi kepada selera Presiden. ”Ini kan dulu Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) memang membuat satu tradisi baru dengan membuat pergiliran, tapi itu tidak diatur. Itu hanyalah tradisi, artinya selera,” ujarnya.
Menurut Fadli, kalaupun nanti terjadi masalah lantaran Presiden dianggap tidak adil dalam memilih panglima TNI, itu merupakan risiko dan konsekuensi yang harus ditanggung Presiden. Karena itu hak Presiden yang nantinya perlu persetujuan DPR. ”Saya kira itu terserah Presiden, kalau Presiden merasa perlu AD lagi enggak masalah atau AU maupun AL terserah Presiden,” tandasnya.
Sebelumnya diberitakan, mantan Kepala Staf TNI AU Chappy Hakim marah. Dia merasa selama ini negara tak pernah menghargai peran TNI AU. Masalah yang disorot Chappy adalah tentang penggantian penjagaan di Bandara Soekarno- Hatta dari Paskhas TNI AU menjadi Marinir TNI AL. ”Padahal secara fungsi Paskhas TNI AU adalah satuan berkualifikasi lebih tepat untuk menjaga bandara,” kata Cheppy.
Kedua, dia mempermasalahkan alih fungsi Bandara Halim Perdanakusuma menjadi bandara komersial. Padahal Bandara Halim adalah pangkalan udara strategis TNI AU. Di sana ada skuadron angkut VIP dan kerap dijadikan markas jet tempur bagi pesawat yang melaksanakan pengawalan Ibu Kota. ”Saat ini dengan perubahan menjadi bandara komersial, tentu tugas TNI AU terganggu,” jelasnya.
Masalah ketiga, lanjutnya, adalah soal jatah panglima TNI. Sepanjang sejarah, baru sekali Marsekal TNI AU menjadi panglima TNI. Dia adalah Marsekal Djoko Suyanto. Selebihnya selalu TNI AD. TNI AL pun baru dua kali kebagian menjadi panglima TNI.
Pengamat militer Susaningtyas Nefo Kertopati Handayani mengatakan semua kepala staf angkatan di TNI dinilai punya kesempatan dan peluang sama untuk menduduki jabatan panglima TNI menggantikan Jenderal TNI Moeldoko yang akan masuk masa pensiun pada 1 Agustus 2015 mendatang.
Menurut dia, Presiden punya hak prerogatif dalam menentukan siapa yang akan diusulkan ke DPR sebagai pengganti Moeldoko. Tapi jika tetap dengan tradisi menempatkan kepala staf secara bergantian sebagai panglima, maka mengusulkan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) saat ini juga hal baik dan itu tidak mengurangi hak prerogatif Presiden. Yang terpenting, menurut dia, panglima TNI ke depan harus orang yang mumpuni.
Bukan hanya pada kemampuannya dalam berperang saja, tetapi juga memiliki pengetahuan politik yang baik meski tak ikut berpolitik. ”Dan hal penting lain, panglima TNI ke depan harus pandai merangkul semua unsur masyarakat dengan mengedepankan humanisme secara tepat,” ujarnya.
Panglima TNI, lanjut dia, juga harus memiliki sistem early warning atau deteksi dini yang tajam. Dengan demikian TNI akan selalu siap menghadapi ancaman faktual kedaulatan NKRI. ”Lebih baik lagi memiliki visi misi pertahanan yang bisa menjadikan TNI sebagai tentara berkemampuan world class army,” ucapnya.
Sementara itu pandangan mengenai tradisi pengajuan panglima TNI yang dilakukan secara bergantian disampaikan anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin. Menurut dia, pemilihan panglima TNI dapat mengacu pada UU Nomor 34/2004 tentang TNI, khususnya Pasal 13 ayat (4), bahwa jabatan panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiaptiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai kepala staf angkatan.
”Kami sepakat, semuanya akhirnya sangat tergantung kepada presiden sebagai pemegang hak prerogatif. Tapi kami yakin hak prerogatif itu akan dijalankan berdasarkan undang- undang yang berlaku,” katanya.
Kiswondari/ Rahmat sahid
(ftr)