Menimba Kearifan pada Macapat
A
A
A
Dipadu dalam gerak tari dan alunan gamelan, macapat -nasehat yang dibacakan- menghadirkan kritik sosial. Amarah yang meledak-ledak diungkapkan lewat kehalusan bahasa tari dan musik, sebentuk kearifan lokal.
Permata Jawa: Macapat, Gamelan, dan Bedaya , sebuah karya yang apik dalam pementasannya, Kamis (3/ 5) di Gedung Komunitas Salihara, menghadirkan kritik sosial. Macapat atau sebuah nasihat yang dibacakan bersumber dari Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV (1811-1881). Sedangkan konser gamelan hadir sebagai bentuk jembatan antara tradisi dan modernitas.
Sebagai sebuah refleksi amarah jelata, lewat seni, Permata Jawa sukses menjadi penyambung lidah rakyat dalam menuangkan amarah terhadap penguasa. Meski tersaji dalam bahasa Jawa, macapat dan tari Permata Jawa dapatdimengertisecara keseluruhan. Bagaimana narasi yang dibacakan lewat macapat dan tari dapat menyentuh dan menggugah penonton yang hadir.
Menceritakan seorang gadis desa bernama Matah Ati yang berontak melawan penjajah Belanda. Kelembutan perangainya berubah liar demi berjuang melawan keangkaramurkaan. Kainjarit penutup kaki bukan penghalang, dia samparkan untuk berperang. Ditengahamarahdankegundahan hati, sang kekasih, ksatria pemberani, mendampinginya. Mereka berdua bergerak menuju kedamaian dan kesejahteraan, memperjuangkannya.
Dalam gerak tari dan alunan gamelan yang menjadi satu, pembacaan macapat juga terdengar padu. Sehingga, dapat ditangkap oleh mata penonton sebagai sebuah amarah yang meledak-ledak, namun secara tak sadar dibawakan dalam sebuah kehalusan berjubah seni. Di sinilah kiranya karya milik Sutradara Atilah Seryadjaya berbicara.
Atilah mengakui, Permata Jawa memang merupakan suatu karya yang didesain sebagai bentuk terhadap kritik sosial. Landasan tersebut ditemuinya dalam melihat kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia kini. Bagaimana kesulitan masyarakat mencari kesejahteraan dan keadilan sebagai wujud cita-cita kemerdekaan yang dijanjikan negara, diabaikan begitu saja oleh elite penguasa.
Maka bentuk amarah tersebut, secara nyata tercermin dari karya yang diciptakannya dalam Permata Jawa. ”Sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah, Permata Jawa mencoba menggambarkan bagaimana rakyat di Indonesia seolah berbicara tentang kesulitan hidup yang tengah dialami,” ujar Atilah yang merupakan cucu dari Mangku negara IV ini.
Mewakili orang kecil, itulah kiranya karya Atilah tergambar secara keseluruhan. Lewat seni yang menjadi konsentrasi bidang yang digelutinya, ia mencoba mengingatkan pemerintah tentang perihal janji-janji politik yang tak kunjung terealisasi. Bagaimana harusnya kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia dengan bermodalkan kekayaan alam dapat terpenuhi, bukan dijarahi oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.
Bagaimana kemudian mengingatkan kembali perihal jaminan hukum yang adil dan mengayomi. Bagaimana harusnya saling menasihati adalah ciri dari kebudayaan yang dijunjung tinggi. Karena sesungguhnya, dalam sebuah nasihat ada sebuah pengingat untuk penguat. Berterima kasih, bersyukur, merendah, dan menepati janji. Itulah esensi dalam mewujudkan sebuah peradaban sebesar Indonesia.
Seniman sekaligus penata artistik, Jay Subyakto, mencoba mengangkat konsep lama dalam penataan panggung dan artistiknya. Dalam konsepnya, Jay mencoba mengembalikan pertunjukkan tarian Jawa ke dalam bentuk aslinya. Dalam tarian Jawa atau pendoyo , umumnya penonton mengelilingi pendopo sehingga secara keseluruhan para penari dapat terlihat dari depan dan dari belakang.
Hal tersebut dikarenakan tarian pendoyo harus dapat terlihat bagus dari semua sisi. Dalam hal inilah kemudian Jay mencoba memadukan ruang pertunjukan di Salihara dengan susunan kursi yang melengkung ke atas, dapat melihat penonton secara keseluruhan dari atas. Persiapan yang digagas selama empat bulan tersebut akhirnya bukanlah isapan jempol semata.
Antusiasme penonton dan apresiasi berupa tepuk tangan yang meriah di akhir pertunjukkan merupakan bukti nyata kesuksesan tim baik dari segi artistik, tari, dan musik. Jay menyadari betul bahwa semangat dari pesan yang coba disampaikan Sutradara Atilah adalah perihal amarah rakyat terhadap pemerintah.
Untuk itulah ia mencoba menyinergikan antara tari dan musik dalam visualisasi panggung yang dapat mengakomodir karya secara keseluruhan. ”Suara rakyat telah banyak disuarakan lewat seni, misalnya saja dari wayang maupun tari. Untuk itu, karena dikritik melalui cara yang halus lewat seni inilah, pemerintah harusnya bersyukur dan mau mendengar,” ujarnya.
Imas damayanti
Permata Jawa: Macapat, Gamelan, dan Bedaya , sebuah karya yang apik dalam pementasannya, Kamis (3/ 5) di Gedung Komunitas Salihara, menghadirkan kritik sosial. Macapat atau sebuah nasihat yang dibacakan bersumber dari Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV (1811-1881). Sedangkan konser gamelan hadir sebagai bentuk jembatan antara tradisi dan modernitas.
Sebagai sebuah refleksi amarah jelata, lewat seni, Permata Jawa sukses menjadi penyambung lidah rakyat dalam menuangkan amarah terhadap penguasa. Meski tersaji dalam bahasa Jawa, macapat dan tari Permata Jawa dapatdimengertisecara keseluruhan. Bagaimana narasi yang dibacakan lewat macapat dan tari dapat menyentuh dan menggugah penonton yang hadir.
Menceritakan seorang gadis desa bernama Matah Ati yang berontak melawan penjajah Belanda. Kelembutan perangainya berubah liar demi berjuang melawan keangkaramurkaan. Kainjarit penutup kaki bukan penghalang, dia samparkan untuk berperang. Ditengahamarahdankegundahan hati, sang kekasih, ksatria pemberani, mendampinginya. Mereka berdua bergerak menuju kedamaian dan kesejahteraan, memperjuangkannya.
Dalam gerak tari dan alunan gamelan yang menjadi satu, pembacaan macapat juga terdengar padu. Sehingga, dapat ditangkap oleh mata penonton sebagai sebuah amarah yang meledak-ledak, namun secara tak sadar dibawakan dalam sebuah kehalusan berjubah seni. Di sinilah kiranya karya milik Sutradara Atilah Seryadjaya berbicara.
Atilah mengakui, Permata Jawa memang merupakan suatu karya yang didesain sebagai bentuk terhadap kritik sosial. Landasan tersebut ditemuinya dalam melihat kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia kini. Bagaimana kesulitan masyarakat mencari kesejahteraan dan keadilan sebagai wujud cita-cita kemerdekaan yang dijanjikan negara, diabaikan begitu saja oleh elite penguasa.
Maka bentuk amarah tersebut, secara nyata tercermin dari karya yang diciptakannya dalam Permata Jawa. ”Sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah, Permata Jawa mencoba menggambarkan bagaimana rakyat di Indonesia seolah berbicara tentang kesulitan hidup yang tengah dialami,” ujar Atilah yang merupakan cucu dari Mangku negara IV ini.
Mewakili orang kecil, itulah kiranya karya Atilah tergambar secara keseluruhan. Lewat seni yang menjadi konsentrasi bidang yang digelutinya, ia mencoba mengingatkan pemerintah tentang perihal janji-janji politik yang tak kunjung terealisasi. Bagaimana harusnya kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia dengan bermodalkan kekayaan alam dapat terpenuhi, bukan dijarahi oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.
Bagaimana kemudian mengingatkan kembali perihal jaminan hukum yang adil dan mengayomi. Bagaimana harusnya saling menasihati adalah ciri dari kebudayaan yang dijunjung tinggi. Karena sesungguhnya, dalam sebuah nasihat ada sebuah pengingat untuk penguat. Berterima kasih, bersyukur, merendah, dan menepati janji. Itulah esensi dalam mewujudkan sebuah peradaban sebesar Indonesia.
Seniman sekaligus penata artistik, Jay Subyakto, mencoba mengangkat konsep lama dalam penataan panggung dan artistiknya. Dalam konsepnya, Jay mencoba mengembalikan pertunjukkan tarian Jawa ke dalam bentuk aslinya. Dalam tarian Jawa atau pendoyo , umumnya penonton mengelilingi pendopo sehingga secara keseluruhan para penari dapat terlihat dari depan dan dari belakang.
Hal tersebut dikarenakan tarian pendoyo harus dapat terlihat bagus dari semua sisi. Dalam hal inilah kemudian Jay mencoba memadukan ruang pertunjukan di Salihara dengan susunan kursi yang melengkung ke atas, dapat melihat penonton secara keseluruhan dari atas. Persiapan yang digagas selama empat bulan tersebut akhirnya bukanlah isapan jempol semata.
Antusiasme penonton dan apresiasi berupa tepuk tangan yang meriah di akhir pertunjukkan merupakan bukti nyata kesuksesan tim baik dari segi artistik, tari, dan musik. Jay menyadari betul bahwa semangat dari pesan yang coba disampaikan Sutradara Atilah adalah perihal amarah rakyat terhadap pemerintah.
Untuk itulah ia mencoba menyinergikan antara tari dan musik dalam visualisasi panggung yang dapat mengakomodir karya secara keseluruhan. ”Suara rakyat telah banyak disuarakan lewat seni, misalnya saja dari wayang maupun tari. Untuk itu, karena dikritik melalui cara yang halus lewat seni inilah, pemerintah harusnya bersyukur dan mau mendengar,” ujarnya.
Imas damayanti
(bbg)