Miliarder Bukan untuk Dimusuhi, tetapi Diteladani
A
A
A
Politisi dan miliarder umumnya saling dukung dan berkoalisi. Keduanya saling membutuhkan. Miliarder menginginkan kelancaran bisnisnya, sedangkan politisi membutuhkan donasi benar untuk kampanye.
Tapi hubungan miliarder dan politisi tak selamanya mesra. Leon Cooperman, miliarder Amerika Serikat (AS), mengkritik politisi yang kerap menyalahkan orang kaya. Banyak politikus yang memandang miliarder hanya menjadi penyebab jurang kesenjangan dan ketimpangan ekonomi. Menurut Cooperman, politisi seharusnya meminta rakyat AS untuk mencontoh para miliarder, bukan menyalahkan orang superkaya.
”Saya pikir hidup saya harusnya dijadikan teladan bagi anak muda. Apa yang saya dapatkan saat ini adalah pencapaian hidup,” kata Cooperman seperti dikutip USA Today. Menurut dia, anak muda dapat meneladani kerja keras yang dilakukan miliarder. Pendiri lembaga investasi Omega Advisors itu kerap mengkritik politisi yang terlalu diskriminatif terhadap miliarder.
Orang kaya di AS hanya dijadikan objek pajak semata, bukan sebagai mitra pemerintah. Pajak yang tinggi menjadi belenggu bagi para miliarder. Padahal mereka justru menyumbangkan dana besar bagi pembangunan AS. Pada pekan lalu, Cooperman yang memiliki kekayaan USD9,2 miliar (Rp122,66 triliun) itu mengecam kandidat presiden dari Partai Demokrat Hillary Clinton.
Saat itu Hillary mengkritik pajak manajer investasi lebih rendah daripada pajak sopir truk dan perawat. Sebagai miliarder yang memiliki firma investasi, Cooperman pun sangat tersinggung. ”Saya tidak ingin orang mengotori apa yang telah saya lalukan selama hidup ini,” sindir Cooperman kepada Hillary.
”Saya mendapatkan uang sendiri. Saya akan memberikan semuanya kepada masyarakat,” tuturnya seperti dikutip CNN. Cooperman bercerita bahwa ayah dan ibunya merupakan imigran. ”Saya hidup dalam Mimpi Amerika,” tuturnya. Dia merupakan generasi pertama yang bisa menempuh pendidikan tinggi. Kesenjangan miliarder dan rakyat miskin di AS memang menjadi isu seksi dalam pemilu presiden AS.
Baik kandidat presiden dari Partai Republik maupun Partai Demokrat mengangkat isu tersebut untuk menarik suara rakyat AS. Menurut penulis buku The Buy Side, Turney Duff, miliarder harus menyiapkan ronde pertarungan berikutnya. ”Mereka harus memakai helm dan alat pelindung mulut. Mereka sudah memperkirakan itu semua,” kata Duff.
Duff tetap berpandangan bahwa krisis dan permasalahan mendasar di AS juga disebabkan para eksekutif di Wall Street dan para miliarder. ”Tidak ada seorang pun yang akan menghapus air mata seseorang yang hanya berpendapatan 600.000 dolar (Rp8 miliar) setahun,” sindir Duff. Itu menunjukkan para miliarder tidak akan mendapatkan simpati dari rakyat AS karena kekayaan mereka.
Arvin
Tapi hubungan miliarder dan politisi tak selamanya mesra. Leon Cooperman, miliarder Amerika Serikat (AS), mengkritik politisi yang kerap menyalahkan orang kaya. Banyak politikus yang memandang miliarder hanya menjadi penyebab jurang kesenjangan dan ketimpangan ekonomi. Menurut Cooperman, politisi seharusnya meminta rakyat AS untuk mencontoh para miliarder, bukan menyalahkan orang superkaya.
”Saya pikir hidup saya harusnya dijadikan teladan bagi anak muda. Apa yang saya dapatkan saat ini adalah pencapaian hidup,” kata Cooperman seperti dikutip USA Today. Menurut dia, anak muda dapat meneladani kerja keras yang dilakukan miliarder. Pendiri lembaga investasi Omega Advisors itu kerap mengkritik politisi yang terlalu diskriminatif terhadap miliarder.
Orang kaya di AS hanya dijadikan objek pajak semata, bukan sebagai mitra pemerintah. Pajak yang tinggi menjadi belenggu bagi para miliarder. Padahal mereka justru menyumbangkan dana besar bagi pembangunan AS. Pada pekan lalu, Cooperman yang memiliki kekayaan USD9,2 miliar (Rp122,66 triliun) itu mengecam kandidat presiden dari Partai Demokrat Hillary Clinton.
Saat itu Hillary mengkritik pajak manajer investasi lebih rendah daripada pajak sopir truk dan perawat. Sebagai miliarder yang memiliki firma investasi, Cooperman pun sangat tersinggung. ”Saya tidak ingin orang mengotori apa yang telah saya lalukan selama hidup ini,” sindir Cooperman kepada Hillary.
”Saya mendapatkan uang sendiri. Saya akan memberikan semuanya kepada masyarakat,” tuturnya seperti dikutip CNN. Cooperman bercerita bahwa ayah dan ibunya merupakan imigran. ”Saya hidup dalam Mimpi Amerika,” tuturnya. Dia merupakan generasi pertama yang bisa menempuh pendidikan tinggi. Kesenjangan miliarder dan rakyat miskin di AS memang menjadi isu seksi dalam pemilu presiden AS.
Baik kandidat presiden dari Partai Republik maupun Partai Demokrat mengangkat isu tersebut untuk menarik suara rakyat AS. Menurut penulis buku The Buy Side, Turney Duff, miliarder harus menyiapkan ronde pertarungan berikutnya. ”Mereka harus memakai helm dan alat pelindung mulut. Mereka sudah memperkirakan itu semua,” kata Duff.
Duff tetap berpandangan bahwa krisis dan permasalahan mendasar di AS juga disebabkan para eksekutif di Wall Street dan para miliarder. ”Tidak ada seorang pun yang akan menghapus air mata seseorang yang hanya berpendapatan 600.000 dolar (Rp8 miliar) setahun,” sindir Duff. Itu menunjukkan para miliarder tidak akan mendapatkan simpati dari rakyat AS karena kekayaan mereka.
Arvin
(bbg)