Ribuan Warga Keturunan RI Terancam Menjadi Stateless
A
A
A
Ketika situasi nasional dihangatkan dengan berita tentang pengungsi Rohingya yang mencari suaka ke Indonesia karena negara asal mereka tidak mengakui hingga mereka menjadi stateless (tidak memiliki status kewarganegaraan), ternyata ada ribuan warga keturunan Indonesia yang menetap di wilayah Filipina Selatan juga memiliki potensi menjadi stateless.
Mereka hidup dalam kondisi prasejahtera dengan tingkat pendidikan rendah. Selain itu, status mereka juga belum jelas. Hal ini menyebabkan mereka kerap diperlakukan sewenangwenang dalam pemenuhan hak pelayanan masyarakat. Tak jarang mengalami pengusiran atau penggusuran tempat tinggal.
Mereka juga rentan terhadap eksploitasi pihak lain dan menjadi sasaran kejahatan lintas negara seperti perdagangan manusia, penyelundupan senjata dan obat-obatan terlarang, terorisme, serta pencurian ikan di Perairan Bitung dan sekitarnya. Saat ini Pemerintah Filipina sedang menggalakan pendataan besar-besaran terhadap warga keturunan Indonesia (persons on Indonesian descent /PID) yang sudah bertahuntahun menetap di wilayah Filipina bagian selatan.
Jika tidak segera ada kebijakan yang jelas dan tegas dari dua negara bertetangga, Indonesia dan Filipina, mereka yang tinggal secara ilegal dengan status tidak jelas berpotensi menjadi stateless. Indonesia memiliki perbatasan laut dengan Filipina yang secara geografis jaraknya cukup berdekatan.
Salah satu pulau di wilayah perbatasan ini yakni Pulau Las Palmas yang pernah menjadi objek sengketa antara dua negara adidaya yaitu Amerika Serikat (AS) yang saat itu mengooptasi Filipina dan Belanda yang menjadikan Nusantara sebagai koloni mereka saat itu. Sengketa pulau tersebut bahkan dibawa ke tingkat sidang arbitrase internasional.
Pada 1928 arbitrator tunggal Max Huber memutuskan kedaulatan Pulau Las Palmas jatuh ke tangan Belanda. Kasus tersebut hingga saat ini dikenal sebagai salah satu kasus arbitrase internasional yang fenomenal. Pulau tersebut kini dikenal dengan sebutan Pulau Miangas. Pascakemerdekaan, pengelolaan perbatasan tersebut menjadi kewenangan kedua negara berdaulat yakni Indonesia dan Filipina.
Di wilayah ini banyak perlintasan manusia maupun barang yang dilakukan secara tradisional tanpa dokumen maupun melalui pelabuhan resmi. Hal ini menjadi dilema bagi kedua negara hingga akhirnya disepakati beberapa perjanjian lintas batas. Seiring berjalannya waktu, implementasi kesepakatan dalam berbagai perjanjian mengalami beberapa dinamika di lapangan mengingat tingginya jumlah pelintas tanpa dokumen sehingga sulit dimonitor keberadaannya.
Hal tersebut kemudian memunculkan permasalahan baru ketika banyak penduduk asal Indonesia yang memilih untuk tinggal di Filipina Selatan. Meski tanpa dokumen resmi, otoritas Filipina mengizinkan mereka menetap di Filipina dengan status orang asing. Ketika warga asal Indonesia tersebut berkeluarga serta memiliki keturunan, anakanak mereka pun dianggap sebagai orang asing yang pada akhirnya menjadi komunitas orang asing yang dikenal sebagai PID.
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Davao City, selaku perwakilan resmi pemerintah RI untuk Mindanao, Sulu, dan Tawi-tawi merupakan kantor perwakilan yang secara langsung menghadapi berbagai permasalahan terkait PID di Filipina Selatan. Menurut data kekonsuleran KJRI Davao City, tercatat sekitar 5.036 orang warga keturunan Indonesia yang bermukim di wilayah Mindanao Selatan.
Kebanyakan mereka merupakan keturunan generasi kedua atau ketiga yang lahir di Filipina dari orang tua asal Indonesia yang masuk ke wilayah Filipina secara ilegal. Meskipun lahir di wilayah Filipina, mereka tidak sertamerta diakui sebagai warga negara Filipina karena Filipina menganut asas Ius Sanguinis (penentuan kewarganegaraan berdasarkan keturunan).
Karena mereka masih dianggap sebagai orang asing, mereka diwajibkan memiliki alien certificate of registration (ACR) dari pihak imigrasi setempat. Sayangnya, dengan kondisi hidup mereka yang serbakekurangan, sebagian besar mereka tidak memiliki biaya untuk mengurus ACR. Begitu juga dokumen keimigrasian lain seperti paspor sehingga kebanyakan mereka menjadi ilegal (undocumented ) dan berpotensi menjadi stateless.(bersambung)
AGUS A MAJID
Staf KJRI Davao City
Mereka hidup dalam kondisi prasejahtera dengan tingkat pendidikan rendah. Selain itu, status mereka juga belum jelas. Hal ini menyebabkan mereka kerap diperlakukan sewenangwenang dalam pemenuhan hak pelayanan masyarakat. Tak jarang mengalami pengusiran atau penggusuran tempat tinggal.
Mereka juga rentan terhadap eksploitasi pihak lain dan menjadi sasaran kejahatan lintas negara seperti perdagangan manusia, penyelundupan senjata dan obat-obatan terlarang, terorisme, serta pencurian ikan di Perairan Bitung dan sekitarnya. Saat ini Pemerintah Filipina sedang menggalakan pendataan besar-besaran terhadap warga keturunan Indonesia (persons on Indonesian descent /PID) yang sudah bertahuntahun menetap di wilayah Filipina bagian selatan.
Jika tidak segera ada kebijakan yang jelas dan tegas dari dua negara bertetangga, Indonesia dan Filipina, mereka yang tinggal secara ilegal dengan status tidak jelas berpotensi menjadi stateless. Indonesia memiliki perbatasan laut dengan Filipina yang secara geografis jaraknya cukup berdekatan.
Salah satu pulau di wilayah perbatasan ini yakni Pulau Las Palmas yang pernah menjadi objek sengketa antara dua negara adidaya yaitu Amerika Serikat (AS) yang saat itu mengooptasi Filipina dan Belanda yang menjadikan Nusantara sebagai koloni mereka saat itu. Sengketa pulau tersebut bahkan dibawa ke tingkat sidang arbitrase internasional.
Pada 1928 arbitrator tunggal Max Huber memutuskan kedaulatan Pulau Las Palmas jatuh ke tangan Belanda. Kasus tersebut hingga saat ini dikenal sebagai salah satu kasus arbitrase internasional yang fenomenal. Pulau tersebut kini dikenal dengan sebutan Pulau Miangas. Pascakemerdekaan, pengelolaan perbatasan tersebut menjadi kewenangan kedua negara berdaulat yakni Indonesia dan Filipina.
Di wilayah ini banyak perlintasan manusia maupun barang yang dilakukan secara tradisional tanpa dokumen maupun melalui pelabuhan resmi. Hal ini menjadi dilema bagi kedua negara hingga akhirnya disepakati beberapa perjanjian lintas batas. Seiring berjalannya waktu, implementasi kesepakatan dalam berbagai perjanjian mengalami beberapa dinamika di lapangan mengingat tingginya jumlah pelintas tanpa dokumen sehingga sulit dimonitor keberadaannya.
Hal tersebut kemudian memunculkan permasalahan baru ketika banyak penduduk asal Indonesia yang memilih untuk tinggal di Filipina Selatan. Meski tanpa dokumen resmi, otoritas Filipina mengizinkan mereka menetap di Filipina dengan status orang asing. Ketika warga asal Indonesia tersebut berkeluarga serta memiliki keturunan, anakanak mereka pun dianggap sebagai orang asing yang pada akhirnya menjadi komunitas orang asing yang dikenal sebagai PID.
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Davao City, selaku perwakilan resmi pemerintah RI untuk Mindanao, Sulu, dan Tawi-tawi merupakan kantor perwakilan yang secara langsung menghadapi berbagai permasalahan terkait PID di Filipina Selatan. Menurut data kekonsuleran KJRI Davao City, tercatat sekitar 5.036 orang warga keturunan Indonesia yang bermukim di wilayah Mindanao Selatan.
Kebanyakan mereka merupakan keturunan generasi kedua atau ketiga yang lahir di Filipina dari orang tua asal Indonesia yang masuk ke wilayah Filipina secara ilegal. Meskipun lahir di wilayah Filipina, mereka tidak sertamerta diakui sebagai warga negara Filipina karena Filipina menganut asas Ius Sanguinis (penentuan kewarganegaraan berdasarkan keturunan).
Karena mereka masih dianggap sebagai orang asing, mereka diwajibkan memiliki alien certificate of registration (ACR) dari pihak imigrasi setempat. Sayangnya, dengan kondisi hidup mereka yang serbakekurangan, sebagian besar mereka tidak memiliki biaya untuk mengurus ACR. Begitu juga dokumen keimigrasian lain seperti paspor sehingga kebanyakan mereka menjadi ilegal (undocumented ) dan berpotensi menjadi stateless.(bersambung)
AGUS A MAJID
Staf KJRI Davao City
(bbg)