Identitas Seni Nusantara
A
A
A
Sebanyak 106 perupa asal Indonesia, Malaysia, dan Filipina menggelar pameran bersama. Para seniman melihat Nusantara bagaikan sebuah kepulauan seni, sebuah identitas yang melampaui batas, dan gugus teritorial negara mereka masing-masing.
Pameran yang digagas Galeri Nasional Indonesia (GNI) yang berlangsung dari 25 Mei hingga 7 Juni, di gedung GNI, Jakarta itu, dibingkai dalam satu tema menarik ARTCHIPELAGO.
Melalui ART-CHIPELAGO (art= seni, archipelago=kepulauan), Galeri Nasional mencoba menilik kembali persoalan politik identitas dari unsur seni pada Nusantara. Identitas bukanlah sesuatu yang bersifat final karena terus berubah, berkembang, dan berfluktuasi dengan segala pengaruh sosial, kultural, hingga efek dari berkembangnya budaya media dan teknologi. Melihat kenusantaraan melalui seni, bagaikan sebuah kepulauan seni yang melampaui batas dan gugus teritorial.
Dari kepulauanyangtercerai-beraiberdasarkan gugus teritorial itu, pada awalnya terhubungsebuahdaratan. Untukitu, pameran kali ini tidak hanya menampilkan karya mencakup wilayah Indonesia saja, melainkan juga mengundang perupa dari negara tetangga. Sebanyak 106 karya hasilolahcipta106perupaasalIndonesia, Malaysia, dan Filipina. Sudjud Dartanto, salah satu kurator pada pameran ini, menilai batas seni Nusantara sangatlah luas dan bukan hanya mencakup wilayah Indonesia semata. Kesenian Nusantara yang begitu kaya tidak bisa hanya direpresentasikan oleh satu negara tertentu secara politik.
Dari landasan tersebut, ARTCHIPELAGO mencoba membentangkan apa yang dibayangkan oleh para perupa mengenai konsep kenusantaraan. ”Yang coba kami angkat adalah bagaimana menghadirkan kesenian nusantara yang begitu luas yang tidak hanya bisa direpresentasikan oleh satu negara tertentu,” ujarnya dalam Diskusi Seni Rupa ART-CHIPELAGO, Selasa (26/5), di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
Karya yang disuguhkan perupaperupa nusantara cukup unik dan terbilang baru. Contohnya Seniman asal Yogyakarta, Nano Warsono yang menghadirkan konsep baru perihal apropiasi, sebuah bentuk sentilan dari karya baru terhadap karya lama. Nano menjelaskan, meski terdengar baru perihal apropiasi, pada dasarnya jauh sebelum konsep itu ia bawa ke dalam karya-karyanya, seniman klasik Indonesia Raden Saleh telah terlebih dahulu membuatnya lewat karya fenomenalnya yang berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro.
Karya tersebut merupakan sebuah apropiasi dari karya sebelumnya yang dipopulerkan oleh Belanda. Tentu saja, penggambaran Panegeran Diponegoro oleh Belanda terkesan lemah dan pasrah, hal ini merupakan kepentingan politik yang diambil ketika itu. Apropiasi menurut Nano adalah salah satu strategi yang digunakan untuk menyanggah suatu karya yang telah ada sebelumnya untuk mencari sebuah identitas.
Pada dasarnya, sifat dari identitas itu sendiri adalah upaya untuk mencari per-samaan dan juga mencari perbedaan. Hal inilah yang coba dituangkan dalam bentuk karya seni oleh para seniman baik itu di zaman klasik hingga zaman modern seperti sekarang ini. Identitas sangatlah penting bagi sebuah negara yang pernah dijajah karena secara langsung hal tersebut adalah upaya untuk melepaskan diri dari keterjajahan baik secara fisik maupun kultur.
”Identitas sangatlah penting bagi negara-negara yang pernah dijajah. Ini salah satu upaya untuk melepaskan diri dari warisan-warisan jajahan baik secara fisik maupun kultur,” ujarnya. Sementara itu, seniman asal Malaysia Azzad Diah Ahmad Zabidi coba memahami seni dalam konteks ruang dan waktu. Seni, menurutnya, sebuah ikhtiar membawa kembali masa lalu dan menghadirkan masa depan melalui karya-karya untuk dapat dipahami masyarakat secara garis besar.
Dalam memaknai identitas melalui seni, Azzad menilai bahwa identitas sejatinya bagaikan air yang mengalir, sangat kompleks dan sulit bersatu. Namun begitu, ia mencoba menyampaikan perihal identitas melalui karyanya yang lebih memberikan tempat pada ruang dan waktu. Baginya, ruang dan waktu adalah sebuah wujud yang bisa disaksikan oleh penikmat seni sebagai bagian dari pengalaman memahami budaya. Dalam konsep ruang dan waktu, Azzad melihat adanya sebuah ironi dalam seni.
Bagaimana konsumerisme masuk dalam seni sehingga menjadi sebuah ironi tersendiri. Ia bahkan mempertanyakan bagaimana suatu karya seni bisa bernilai tinggi secara nominal dengan hanya memboyong satu nama seniman yang populer.
Imas damayanti
Pameran yang digagas Galeri Nasional Indonesia (GNI) yang berlangsung dari 25 Mei hingga 7 Juni, di gedung GNI, Jakarta itu, dibingkai dalam satu tema menarik ARTCHIPELAGO.
Melalui ART-CHIPELAGO (art= seni, archipelago=kepulauan), Galeri Nasional mencoba menilik kembali persoalan politik identitas dari unsur seni pada Nusantara. Identitas bukanlah sesuatu yang bersifat final karena terus berubah, berkembang, dan berfluktuasi dengan segala pengaruh sosial, kultural, hingga efek dari berkembangnya budaya media dan teknologi. Melihat kenusantaraan melalui seni, bagaikan sebuah kepulauan seni yang melampaui batas dan gugus teritorial.
Dari kepulauanyangtercerai-beraiberdasarkan gugus teritorial itu, pada awalnya terhubungsebuahdaratan. Untukitu, pameran kali ini tidak hanya menampilkan karya mencakup wilayah Indonesia saja, melainkan juga mengundang perupa dari negara tetangga. Sebanyak 106 karya hasilolahcipta106perupaasalIndonesia, Malaysia, dan Filipina. Sudjud Dartanto, salah satu kurator pada pameran ini, menilai batas seni Nusantara sangatlah luas dan bukan hanya mencakup wilayah Indonesia semata. Kesenian Nusantara yang begitu kaya tidak bisa hanya direpresentasikan oleh satu negara tertentu secara politik.
Dari landasan tersebut, ARTCHIPELAGO mencoba membentangkan apa yang dibayangkan oleh para perupa mengenai konsep kenusantaraan. ”Yang coba kami angkat adalah bagaimana menghadirkan kesenian nusantara yang begitu luas yang tidak hanya bisa direpresentasikan oleh satu negara tertentu,” ujarnya dalam Diskusi Seni Rupa ART-CHIPELAGO, Selasa (26/5), di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
Karya yang disuguhkan perupaperupa nusantara cukup unik dan terbilang baru. Contohnya Seniman asal Yogyakarta, Nano Warsono yang menghadirkan konsep baru perihal apropiasi, sebuah bentuk sentilan dari karya baru terhadap karya lama. Nano menjelaskan, meski terdengar baru perihal apropiasi, pada dasarnya jauh sebelum konsep itu ia bawa ke dalam karya-karyanya, seniman klasik Indonesia Raden Saleh telah terlebih dahulu membuatnya lewat karya fenomenalnya yang berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro.
Karya tersebut merupakan sebuah apropiasi dari karya sebelumnya yang dipopulerkan oleh Belanda. Tentu saja, penggambaran Panegeran Diponegoro oleh Belanda terkesan lemah dan pasrah, hal ini merupakan kepentingan politik yang diambil ketika itu. Apropiasi menurut Nano adalah salah satu strategi yang digunakan untuk menyanggah suatu karya yang telah ada sebelumnya untuk mencari sebuah identitas.
Pada dasarnya, sifat dari identitas itu sendiri adalah upaya untuk mencari per-samaan dan juga mencari perbedaan. Hal inilah yang coba dituangkan dalam bentuk karya seni oleh para seniman baik itu di zaman klasik hingga zaman modern seperti sekarang ini. Identitas sangatlah penting bagi sebuah negara yang pernah dijajah karena secara langsung hal tersebut adalah upaya untuk melepaskan diri dari keterjajahan baik secara fisik maupun kultur.
”Identitas sangatlah penting bagi negara-negara yang pernah dijajah. Ini salah satu upaya untuk melepaskan diri dari warisan-warisan jajahan baik secara fisik maupun kultur,” ujarnya. Sementara itu, seniman asal Malaysia Azzad Diah Ahmad Zabidi coba memahami seni dalam konteks ruang dan waktu. Seni, menurutnya, sebuah ikhtiar membawa kembali masa lalu dan menghadirkan masa depan melalui karya-karya untuk dapat dipahami masyarakat secara garis besar.
Dalam memaknai identitas melalui seni, Azzad menilai bahwa identitas sejatinya bagaikan air yang mengalir, sangat kompleks dan sulit bersatu. Namun begitu, ia mencoba menyampaikan perihal identitas melalui karyanya yang lebih memberikan tempat pada ruang dan waktu. Baginya, ruang dan waktu adalah sebuah wujud yang bisa disaksikan oleh penikmat seni sebagai bagian dari pengalaman memahami budaya. Dalam konsep ruang dan waktu, Azzad melihat adanya sebuah ironi dalam seni.
Bagaimana konsumerisme masuk dalam seni sehingga menjadi sebuah ironi tersendiri. Ia bahkan mempertanyakan bagaimana suatu karya seni bisa bernilai tinggi secara nominal dengan hanya memboyong satu nama seniman yang populer.
Imas damayanti
(ars)