Politik Masih Intervensi Penegakan Hukum
A
A
A
JAKARTA - Kinerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) selama tujuh bulan dinilai masih belum maksimal, terutama dalam bidang penegakan hukum yang masih diwarnai intervensi politik.
Hal itu diungkapkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Mahfud MD saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertema ”Efektifkah Pemerintahan Jokowi-JK dalam Mengantarkan Bangsa Indonesia Menuju Masyarakat yang Sejahtera dan Berkeadilan?” di Jakarta kemarin Menurut dia, belum ada kemajuan dan perkembangan signifikan meskipun pemberitaan soal hukum cukup gaduh selama enam bulan pemerintahan Jokowi.
Mahfud mengatakan, hukum di Indonesia masih terasa diwarnai intervensi politik sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat, apakah Indonesia sebagai negara hukum atau politik. ”Kalau ditanya kuat mana, idealnya hukum harus lebih kuat dari politik. Konstitusi juga mengatakan itu. Politik harus tunduk pada hukum. Kalau politik tidak tunduk maka negara akan kacau,” ungkap Mahfud.
Faktanya, menurut dia, saat ini justru sebaliknya. Hukum yang tunduk pada politik, sebab saat dibuat hukum itu merupakan kesepakatan politik. Menurut Mahfud, tidak ada hukum berlaku sendiri tanpa diberlakukan oleh politik. ”Kalau politik baik maka hukum baik. Dan kalau politiknya tidak baik maka hukumnya juga tidak bakal pernah baik, karena hukum merupakan produk politik,” katanya.
Menurut Mahfud, bila politik lebih tinggi dari hukum maka sangat berbahaya. Karena itu, ada pandangan agar politik dan hukum saling bergantung, interpendensi, atau sama. Namun, harapan agar hukum menjadi lebih kuat dari politik, kata Mahfud, hanya angan-angan. Ketika dibuat, kata Mahfud, aturan hukum itu memang merupakan keputusan politik. Meski begitu, lanjutnya, jika hukum sudah dibuat dan disahkan maka yang membuat hukum harus tunduk pada hukum.
Jadi, kekuatan politik yang membuat hukum juga harus tunduk pada hukum ketika hukum sudah disepakati sebagai produk politik. ”Sekarang keseimbangan itu tidak ada. Jadi, hukum bisa diakali dari proses legislasi sesudah dibuat tidak ditaati kalau tidak menguntungkan. Ya sudah ubah saja, mengubahnya juga kadang melanggar Prolegnas. Itu yang sekarang terjadi,” kata Mahfud.
Mahfud mencontohkan, pada era Presiden Soekarno sebelum demokrasi terpimpin, hukum pernah menyentuh siapa saja tanpa ada intervensi politik dari kekuasaan. Saat itu ada tiga menteri yang dijebloskan ke penjara, yakni Ruslan Abdul Ghani, Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo, dan Menag Wahid Wahab.
”Hukum ditegakkan karena pemimpin yang punya kekuasaan menyatakan hukum harus jalan. Bahwa setelah divonis kemudian diberikan grasi itu soal lain, tapi pengadilan harus jalan. Polisi harus tegas, jaksa harus tegas, hakim harus tegas berjalan di atas hukum,” paparnya. Saat ini, ungkap Mahfud, politik mengatasi hukum sehingga hukum menjadi tidak jalan. Kunci semua ini terletak pada orangnya.
Jika supremasi betul- betul dijunjung, lebih dari separuh persoalan bangsa ini selesai. ”Yang rusak ada pada penegak hukumnya, orangnya, aparatnya. Politisasi terhadap hukum dalam banyak kasus di pengadilan bukan hanya pada Partai Golkar dan PPP (intervensi politik di hukum) itu terlalu kecil. Penegakan hukum di kita itu banyak ditunggangi oleh politik. Misalnya hukum sudah benar kalau politiknya tidak suka maka hukumnya diubah atau dilanggar.
Kalau tidak bisa dilanggar secara terang- terangan lalu diubah saja, kita kan punya kekuasaan mengubah,” katanya. Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengamini apa yang disampaikan Mahfud MD. Menurut Siti, upaya pemerintahan Jokowi-JK meredam kegaduhan politik hukum belum terlihat. ”Awalnya 100 hari pemerintahan, Jokowi tidak bisa lakukan itu.
Kemudian tiga bulan tidak juga terlihat. Setelah enam bulan, baru bisa agak mereda. Tidak pernah dalam sejarah Indonesia penegak hukum berkonflik selama enam bulan,” katanya. Pasca-Pemilu 2014, sambung Siti, politik di Indonesia terjadi friksi yang sangat luar biasa termasuk di partai politik, sehingga kerap menimbulkan kegaduhan politik. ”Tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk membangun institusi-institusi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi yang berkualitas.
Kita harus menggugat ini karena berbagai argumen mengatakan, ini ada intervensi dari pemerintah terhadap partai- partai,” paparnya. Menurut Siti, tujuh bulan pemerintahan Jokowi-JK keberpihakan terhadap hukum masih sangat meragukan. Begitu juga dengan upaya untuk membangun demokrasi.
Sucipto
Hal itu diungkapkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Mahfud MD saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertema ”Efektifkah Pemerintahan Jokowi-JK dalam Mengantarkan Bangsa Indonesia Menuju Masyarakat yang Sejahtera dan Berkeadilan?” di Jakarta kemarin Menurut dia, belum ada kemajuan dan perkembangan signifikan meskipun pemberitaan soal hukum cukup gaduh selama enam bulan pemerintahan Jokowi.
Mahfud mengatakan, hukum di Indonesia masih terasa diwarnai intervensi politik sehingga menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat, apakah Indonesia sebagai negara hukum atau politik. ”Kalau ditanya kuat mana, idealnya hukum harus lebih kuat dari politik. Konstitusi juga mengatakan itu. Politik harus tunduk pada hukum. Kalau politik tidak tunduk maka negara akan kacau,” ungkap Mahfud.
Faktanya, menurut dia, saat ini justru sebaliknya. Hukum yang tunduk pada politik, sebab saat dibuat hukum itu merupakan kesepakatan politik. Menurut Mahfud, tidak ada hukum berlaku sendiri tanpa diberlakukan oleh politik. ”Kalau politik baik maka hukum baik. Dan kalau politiknya tidak baik maka hukumnya juga tidak bakal pernah baik, karena hukum merupakan produk politik,” katanya.
Menurut Mahfud, bila politik lebih tinggi dari hukum maka sangat berbahaya. Karena itu, ada pandangan agar politik dan hukum saling bergantung, interpendensi, atau sama. Namun, harapan agar hukum menjadi lebih kuat dari politik, kata Mahfud, hanya angan-angan. Ketika dibuat, kata Mahfud, aturan hukum itu memang merupakan keputusan politik. Meski begitu, lanjutnya, jika hukum sudah dibuat dan disahkan maka yang membuat hukum harus tunduk pada hukum.
Jadi, kekuatan politik yang membuat hukum juga harus tunduk pada hukum ketika hukum sudah disepakati sebagai produk politik. ”Sekarang keseimbangan itu tidak ada. Jadi, hukum bisa diakali dari proses legislasi sesudah dibuat tidak ditaati kalau tidak menguntungkan. Ya sudah ubah saja, mengubahnya juga kadang melanggar Prolegnas. Itu yang sekarang terjadi,” kata Mahfud.
Mahfud mencontohkan, pada era Presiden Soekarno sebelum demokrasi terpimpin, hukum pernah menyentuh siapa saja tanpa ada intervensi politik dari kekuasaan. Saat itu ada tiga menteri yang dijebloskan ke penjara, yakni Ruslan Abdul Ghani, Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo, dan Menag Wahid Wahab.
”Hukum ditegakkan karena pemimpin yang punya kekuasaan menyatakan hukum harus jalan. Bahwa setelah divonis kemudian diberikan grasi itu soal lain, tapi pengadilan harus jalan. Polisi harus tegas, jaksa harus tegas, hakim harus tegas berjalan di atas hukum,” paparnya. Saat ini, ungkap Mahfud, politik mengatasi hukum sehingga hukum menjadi tidak jalan. Kunci semua ini terletak pada orangnya.
Jika supremasi betul- betul dijunjung, lebih dari separuh persoalan bangsa ini selesai. ”Yang rusak ada pada penegak hukumnya, orangnya, aparatnya. Politisasi terhadap hukum dalam banyak kasus di pengadilan bukan hanya pada Partai Golkar dan PPP (intervensi politik di hukum) itu terlalu kecil. Penegakan hukum di kita itu banyak ditunggangi oleh politik. Misalnya hukum sudah benar kalau politiknya tidak suka maka hukumnya diubah atau dilanggar.
Kalau tidak bisa dilanggar secara terang- terangan lalu diubah saja, kita kan punya kekuasaan mengubah,” katanya. Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengamini apa yang disampaikan Mahfud MD. Menurut Siti, upaya pemerintahan Jokowi-JK meredam kegaduhan politik hukum belum terlihat. ”Awalnya 100 hari pemerintahan, Jokowi tidak bisa lakukan itu.
Kemudian tiga bulan tidak juga terlihat. Setelah enam bulan, baru bisa agak mereda. Tidak pernah dalam sejarah Indonesia penegak hukum berkonflik selama enam bulan,” katanya. Pasca-Pemilu 2014, sambung Siti, politik di Indonesia terjadi friksi yang sangat luar biasa termasuk di partai politik, sehingga kerap menimbulkan kegaduhan politik. ”Tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk membangun institusi-institusi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi yang berkualitas.
Kita harus menggugat ini karena berbagai argumen mengatakan, ini ada intervensi dari pemerintah terhadap partai- partai,” paparnya. Menurut Siti, tujuh bulan pemerintahan Jokowi-JK keberpihakan terhadap hukum masih sangat meragukan. Begitu juga dengan upaya untuk membangun demokrasi.
Sucipto
(bbg)