Jokowi Diminta Segera Terbitkan Inpres
A
A
A
JAKARTA - Tersisa dua bulan masa pendaftaran calon kepala daerah, persoalan anggaran pilkada belum juga selesai. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai perlu menerbitkan instruksi presiden (inpres) agar masalah ini menemukan jalan keluar.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 66 daerah dari 269 yang menggelar pilkada masih terkendala anggaran. Persoalan terletak pada belum selesainya proses hibah dari pemerintah daerah ke KPU.
Sejauh ini baru 203 daerah yang sudah menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). ”Kita berharap pemerintah tegas, perlu diterbitkan instruksi presiden. Sebab, suka tidak suka, mau tidak mau, pilkada ini harus dilaksanakan,” ujar anggota Komisi II DPR Arif Wibowo dalam diskusi publik di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, kemarin.
Arif mengatakan, inpres itu dapat mendorong pemerintah daerah memfasilitasi segala kebutuhan pilkada serentak yang digelar pada 9 Desember mendatang. Selain itu, inpres juga akan memberi kepastian pilkada dapat dilaksanakan dengan baik dan tepat waktu.
Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini mengatakan, masalah anggaran ini tidak cukup diatasi hanya dengan surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Dibutuhkan ketegasan lebih, apalagi tahapan pilkada sudah mulai berjalan. ”Ini demi kepentingan strategis nasional. Pemerintah dalam hal ini Kemendagri cukup lambat. Padahal sebenarnya ada instrumen-instrumen yang dapat digunakan untuk menekan daerah dalam hal penganggaran,” ujarnya.
Dia menambahkan, di inpres tersebut juga perlu dimuat sanksi untuk kepala daerah yang tidak patuh. Pada Undang- Undang (UU) Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, kata dia, sudah memuat instrumen sanksi bagi kepala daerah yang mengabaikan kepentingan strategis nasional.
Di situ diatur sanksi teguran lisan, tertulis, pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap atau pencopotan. Bahkan, dana alokasi umum (DAU) bisa dipotong. Pilkada, kata dia, masuk kategori kepentingan strategis nasional. ”Soal sanksi di inpres nanti bisa mengadopsi aturan di UU Pemda itu,” ujarnya.
Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan, permasalahan anggaran memang menjadi perhatian penyelenggara pilkada dalam satu bulan terakhir. Dikatakan, memang perlu perhatian serius. Pada 203 daerah yang sudah menandatangani NPHD saja itu belum tentu bisa langsung mencairkan anggarannya.
Kondisi lebih parah tentu dialami daerah yang belum melakukan NPHD. Jika anggaran tidak siap, kata dia, maka pilkada sangat berpotensi diundur. ”Jangan sampai temanteman KPU merasa mengemis. PPK dan PPS yang sudah dibentuk. Tapi kalau tidak ada anggarannya, mereka tidak bisa apa-apa karena tidak ada biaya operasionalnya,” kata dia.
Meski begitu, Ferry masih optimistis tahapan pilkada dapat dilanjutkan. Dia juga berharap ada sikap tegas pemerintah karena sering kali hambatan pada anggaran pilkada ini kental dengan persoalan politik lokal. ”Tapi kita masih optimistis bisa dilanjutkan. Dari pemilu ke pemilu, kita sudah berpengalaman,” ujar mantan ketua KPU Jawa Barat ini.
Masalah anggaran tidak hanya dialami KPU, tetapi juga lembaga pengawas pilkada. Anggota Bawaslu Nasrullah mengatakan, dari hasil pantauan di lapangan, ada kesan pemerintah daerah memiliki kesadaran yang rendah untuk memfasilitasi anggaran pilkada ini.
Menurutnya, kondisi lembaga pengawas ini malah lebih parah karena baru sebagian kecil yang menuntaskan NPHD. ”Dari 269 daerah, yang menandatangani NPHD dengan Panwas baru 44. Artinya, pada 225 daerah lain belum ada kepastian anggaran,” ujarnya.
Menurutnya, hambatan NPHD tersebut karena belum ada kesepakatan antara pemerintah setempat dengan Panwas. Dia mencontohkan Pemerintah Kabupaten Sibolga, Sumatera Utara, yang memberikan anggaran jauh dari kebutuhan Panwas. ”KPU Sibolga sudah diberikan Rp5 miliar lebih, tapi Panwas hanya Rp300 juta. Untuk kebutuhan penyelenggaraannya saja Panwas butuh Rp 900 juta, jadi apa yang mau direalisasikan?” ungkap dia.
Direktur Pelaksana dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin, mengatakan, berdasarkan data, sudah lebih dari 77% daerah melakukan NPHD dengan KPU atau sekitar 209 daerah. Sisanya, meskipun belum NPHD, pemerintah setempat sudah menyatakan kesanggupannya.
”Di beberapa kesempatan, pemerintah daerah tersebut menyatakan kesiapannya, dananya cukup. Kalaupun belum NPHD, itu lebih karena prinsip kehati-hatian. Tapi memang ini perlu ditindaklanjuti dengan NPHD,” ujarnya.
Dita angga
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 66 daerah dari 269 yang menggelar pilkada masih terkendala anggaran. Persoalan terletak pada belum selesainya proses hibah dari pemerintah daerah ke KPU.
Sejauh ini baru 203 daerah yang sudah menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). ”Kita berharap pemerintah tegas, perlu diterbitkan instruksi presiden. Sebab, suka tidak suka, mau tidak mau, pilkada ini harus dilaksanakan,” ujar anggota Komisi II DPR Arif Wibowo dalam diskusi publik di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Jakarta, kemarin.
Arif mengatakan, inpres itu dapat mendorong pemerintah daerah memfasilitasi segala kebutuhan pilkada serentak yang digelar pada 9 Desember mendatang. Selain itu, inpres juga akan memberi kepastian pilkada dapat dilaksanakan dengan baik dan tepat waktu.
Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini mengatakan, masalah anggaran ini tidak cukup diatasi hanya dengan surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Dibutuhkan ketegasan lebih, apalagi tahapan pilkada sudah mulai berjalan. ”Ini demi kepentingan strategis nasional. Pemerintah dalam hal ini Kemendagri cukup lambat. Padahal sebenarnya ada instrumen-instrumen yang dapat digunakan untuk menekan daerah dalam hal penganggaran,” ujarnya.
Dia menambahkan, di inpres tersebut juga perlu dimuat sanksi untuk kepala daerah yang tidak patuh. Pada Undang- Undang (UU) Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, kata dia, sudah memuat instrumen sanksi bagi kepala daerah yang mengabaikan kepentingan strategis nasional.
Di situ diatur sanksi teguran lisan, tertulis, pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap atau pencopotan. Bahkan, dana alokasi umum (DAU) bisa dipotong. Pilkada, kata dia, masuk kategori kepentingan strategis nasional. ”Soal sanksi di inpres nanti bisa mengadopsi aturan di UU Pemda itu,” ujarnya.
Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengatakan, permasalahan anggaran memang menjadi perhatian penyelenggara pilkada dalam satu bulan terakhir. Dikatakan, memang perlu perhatian serius. Pada 203 daerah yang sudah menandatangani NPHD saja itu belum tentu bisa langsung mencairkan anggarannya.
Kondisi lebih parah tentu dialami daerah yang belum melakukan NPHD. Jika anggaran tidak siap, kata dia, maka pilkada sangat berpotensi diundur. ”Jangan sampai temanteman KPU merasa mengemis. PPK dan PPS yang sudah dibentuk. Tapi kalau tidak ada anggarannya, mereka tidak bisa apa-apa karena tidak ada biaya operasionalnya,” kata dia.
Meski begitu, Ferry masih optimistis tahapan pilkada dapat dilanjutkan. Dia juga berharap ada sikap tegas pemerintah karena sering kali hambatan pada anggaran pilkada ini kental dengan persoalan politik lokal. ”Tapi kita masih optimistis bisa dilanjutkan. Dari pemilu ke pemilu, kita sudah berpengalaman,” ujar mantan ketua KPU Jawa Barat ini.
Masalah anggaran tidak hanya dialami KPU, tetapi juga lembaga pengawas pilkada. Anggota Bawaslu Nasrullah mengatakan, dari hasil pantauan di lapangan, ada kesan pemerintah daerah memiliki kesadaran yang rendah untuk memfasilitasi anggaran pilkada ini.
Menurutnya, kondisi lembaga pengawas ini malah lebih parah karena baru sebagian kecil yang menuntaskan NPHD. ”Dari 269 daerah, yang menandatangani NPHD dengan Panwas baru 44. Artinya, pada 225 daerah lain belum ada kepastian anggaran,” ujarnya.
Menurutnya, hambatan NPHD tersebut karena belum ada kesepakatan antara pemerintah setempat dengan Panwas. Dia mencontohkan Pemerintah Kabupaten Sibolga, Sumatera Utara, yang memberikan anggaran jauh dari kebutuhan Panwas. ”KPU Sibolga sudah diberikan Rp5 miliar lebih, tapi Panwas hanya Rp300 juta. Untuk kebutuhan penyelenggaraannya saja Panwas butuh Rp 900 juta, jadi apa yang mau direalisasikan?” ungkap dia.
Direktur Pelaksana dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, Direktorat Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin, mengatakan, berdasarkan data, sudah lebih dari 77% daerah melakukan NPHD dengan KPU atau sekitar 209 daerah. Sisanya, meskipun belum NPHD, pemerintah setempat sudah menyatakan kesanggupannya.
”Di beberapa kesempatan, pemerintah daerah tersebut menyatakan kesiapannya, dananya cukup. Kalaupun belum NPHD, itu lebih karena prinsip kehati-hatian. Tapi memang ini perlu ditindaklanjuti dengan NPHD,” ujarnya.
Dita angga
(ftr)