DPR Bersikukuh Revisi UU Pilkada
A
A
A
JAKARTA - DPR bersikukuh melakukan revisi terbatas terhadap Undang-Undang Nomor 8/2015 tentang Pilkada. Meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta usulan itu ditinjau ulang, DPR tetap jalan terus dengan melanjutkan sejumlah tahapan revisi.
Kemarin, Komisi II DPR memutuskan untuk membawa draf usulan revisi tersebut ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk diharmonisasi dan selanjutnya akan dibahas kembali dengan pemerintah. Pada rapat internal Komisi II, kemarin sebanyak 17 anggota komisi yang berasal dari lima fraksi telah menandatangani persetujuan usulan revisi tersebut.
”Tinggal kita kirim ke Baleg dengan harapan tidak terlalu lama ini direvisi. Nanti Baleg tentu akan membicarakan lagi dengan pemerintah,” kata Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman seusai rapat internal di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Rambe menjelaskan, revisi atau pembuatan UU di DPR bisa melalui dua mekanisme, yakni melalui usulan fraksi dan melalui hak usulan anggota Dewan.
Dalam konteks revisi UU Pilkada ini, Komisi II menggunakan mekanisme hak usulan anggota Dewan. ”Tadi cukup banyak yang bertanda tangan dan menyetujui, termasuk dari PDIP. Meskipun fraksinya tidak setuju, tapi ada anggotanya yang setuju,” ujar politikus Partai Golkar itu.
Diketahui, DPR mengusulkan revisi UU Pilkada demi mengakomodasi Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk bisa mengikuti pilkada serentak yang pendaftarannya dibuka pada 26-28 Juli 2015. Dua partai ini terancam gagal ikut pilkada karena kepengurusannya masih bersengketa.
Berdasarkan aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), kepengurusan parpol yang berhak ikut pilkada adalah mereka yang ditetapkan pengadilan berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Adapun bagi DPR, syarat keikutsertaan di pilkada cukup dengan putusan akhir pengadilan agar ada jaminan parpol tetap bisa berpartisipasi.
DPR menilai, jika harus mengacu putusan inkracht, Golkar dan PPP terancam gagal ikut pilkada karena proses untuk mendapatkan putusan inkracht di pengadilan perlu waktu lama. Namun KPU tidak bisa mengikuti rekomendasi DPR tersebut karena terhambat pada aturan di UU Pilkada. Sebagai jalan keluar, DPR kemudian berinisiatif melakukan revisi terbatas UU Pilkada, khususnya pada pasal yang mengatur penyelesaian konflik parpol.
Wakil Ketua Komisi II DPR Riza Patria mengatakan, dalam rapat Komisi II kemarin, memang ada sebagian anggota yang tidak menyepakati revisi. Namun itu bukan masalah lantaran usulan revisi UU itu bisa melalui komisi dan bisa melalui anggota. ”Ada yang sepakat ada yang belum, ada juga yang minta mempelajari dulu revisinya. Ya, seimbanglah,” kata Riza.
Adapun17 anggota DPR yang telah menandatangani usulan revisi itu berasal dari FraksiPartai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi PKS, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi PAN. Sementara Fraksi Partai Demokrat masih mempelajari drafnya terlebih dulu. Fraksi yang sejak awal menyatakan menolak adalah PDIP.
Komisi II, kata Riza, mendorong fraksi untuk segera mendiskusikan draf usulan revisi tersebut supaya tidak ada salah persepsi mengenai pasal apa yang akan direvisi. ”Kalau mereka menilai revisi penting, maka akan mendukung. Ada sekitar tujuh pasal yang akan direvisi,” ujar Ketua DPP Partai Gerindra itu.
Riza juga meminta pihak yang tidak setuju usulan revisi UU Pilkada agar tidak melihat ini sebagai alat politik untuk mengakomodasi kepentingan PPP dan Partai Golkar agar ikut pilkada.
Menurut dia, semua pihak perlu melihat kepentingan yang lebih jauh ke depan karena kasus sengketa kepengurusan yang dialami dua parpol tersebut juga bisa terjadi pada parpol lain. ”Revisi ini untuk melindungi semua golongan, tapi sekarang kebetulan saja momentumnya untuk dua parpol itu,” ujarnya.
Riza menambahkan, dalam waktu maksimal tiga minggu ke depan revisi UU Pilkada tersebut ini akan selesai. Dia menilai tidak ada hambatan berarti karena berapa pun anggota DPR yang mengusulkan akan sah menurut hukum.
Sementara itu, anggota Komisi II dari Fraksi PDIP Arif Wibowo menegaskan sampai saat ini belum ada satu pun anggotanya yang menandatangani persetujuan usulan revisi tersebut. ”Kita masih dalam pendirian, tidak ada urgensi revisi,” kata Wakil Ketua Fraksi PDIP itu.
Menurut Arif, Fraksi PDIP masih dalam posisi tidak setuju karena beberapa faktor, antara lain soal waktu. Jika revisi dilakukan ada konsekuensi yang akan berakibat pada terhambatnya pelaksanaan pilkada. Selain itu, pandangan pemerintah yang menolak revisi juga menjadi dasar sikap Fraksi PDIP.
Sebelumnya, pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubeidillah Badrun mengatakan, transaksi politik bisa saja terjadi antara eksekutif dengan legislatif atas usulan perubahan UU Pilkada ini. Hal itu didasarkan pada fakta DPR yang sangat berambisi untuk melakukan revisi sebelum proses pendaftaran calon di pilkada.
”Akan ada transaksi politik tertentu yang memungkinkan dilakukannya revisi UU. Apalagi sebelumnya Mendagri tidak merespons ajakan DPR hingga membuatnya mendekatiIstana,” ujar Ubeidillah.
Kiswondari / Dian ramdhani
Kemarin, Komisi II DPR memutuskan untuk membawa draf usulan revisi tersebut ke Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk diharmonisasi dan selanjutnya akan dibahas kembali dengan pemerintah. Pada rapat internal Komisi II, kemarin sebanyak 17 anggota komisi yang berasal dari lima fraksi telah menandatangani persetujuan usulan revisi tersebut.
”Tinggal kita kirim ke Baleg dengan harapan tidak terlalu lama ini direvisi. Nanti Baleg tentu akan membicarakan lagi dengan pemerintah,” kata Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman seusai rapat internal di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, kemarin. Rambe menjelaskan, revisi atau pembuatan UU di DPR bisa melalui dua mekanisme, yakni melalui usulan fraksi dan melalui hak usulan anggota Dewan.
Dalam konteks revisi UU Pilkada ini, Komisi II menggunakan mekanisme hak usulan anggota Dewan. ”Tadi cukup banyak yang bertanda tangan dan menyetujui, termasuk dari PDIP. Meskipun fraksinya tidak setuju, tapi ada anggotanya yang setuju,” ujar politikus Partai Golkar itu.
Diketahui, DPR mengusulkan revisi UU Pilkada demi mengakomodasi Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk bisa mengikuti pilkada serentak yang pendaftarannya dibuka pada 26-28 Juli 2015. Dua partai ini terancam gagal ikut pilkada karena kepengurusannya masih bersengketa.
Berdasarkan aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), kepengurusan parpol yang berhak ikut pilkada adalah mereka yang ditetapkan pengadilan berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap atau inkracht. Adapun bagi DPR, syarat keikutsertaan di pilkada cukup dengan putusan akhir pengadilan agar ada jaminan parpol tetap bisa berpartisipasi.
DPR menilai, jika harus mengacu putusan inkracht, Golkar dan PPP terancam gagal ikut pilkada karena proses untuk mendapatkan putusan inkracht di pengadilan perlu waktu lama. Namun KPU tidak bisa mengikuti rekomendasi DPR tersebut karena terhambat pada aturan di UU Pilkada. Sebagai jalan keluar, DPR kemudian berinisiatif melakukan revisi terbatas UU Pilkada, khususnya pada pasal yang mengatur penyelesaian konflik parpol.
Wakil Ketua Komisi II DPR Riza Patria mengatakan, dalam rapat Komisi II kemarin, memang ada sebagian anggota yang tidak menyepakati revisi. Namun itu bukan masalah lantaran usulan revisi UU itu bisa melalui komisi dan bisa melalui anggota. ”Ada yang sepakat ada yang belum, ada juga yang minta mempelajari dulu revisinya. Ya, seimbanglah,” kata Riza.
Adapun17 anggota DPR yang telah menandatangani usulan revisi itu berasal dari FraksiPartai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi PKS, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi PAN. Sementara Fraksi Partai Demokrat masih mempelajari drafnya terlebih dulu. Fraksi yang sejak awal menyatakan menolak adalah PDIP.
Komisi II, kata Riza, mendorong fraksi untuk segera mendiskusikan draf usulan revisi tersebut supaya tidak ada salah persepsi mengenai pasal apa yang akan direvisi. ”Kalau mereka menilai revisi penting, maka akan mendukung. Ada sekitar tujuh pasal yang akan direvisi,” ujar Ketua DPP Partai Gerindra itu.
Riza juga meminta pihak yang tidak setuju usulan revisi UU Pilkada agar tidak melihat ini sebagai alat politik untuk mengakomodasi kepentingan PPP dan Partai Golkar agar ikut pilkada.
Menurut dia, semua pihak perlu melihat kepentingan yang lebih jauh ke depan karena kasus sengketa kepengurusan yang dialami dua parpol tersebut juga bisa terjadi pada parpol lain. ”Revisi ini untuk melindungi semua golongan, tapi sekarang kebetulan saja momentumnya untuk dua parpol itu,” ujarnya.
Riza menambahkan, dalam waktu maksimal tiga minggu ke depan revisi UU Pilkada tersebut ini akan selesai. Dia menilai tidak ada hambatan berarti karena berapa pun anggota DPR yang mengusulkan akan sah menurut hukum.
Sementara itu, anggota Komisi II dari Fraksi PDIP Arif Wibowo menegaskan sampai saat ini belum ada satu pun anggotanya yang menandatangani persetujuan usulan revisi tersebut. ”Kita masih dalam pendirian, tidak ada urgensi revisi,” kata Wakil Ketua Fraksi PDIP itu.
Menurut Arif, Fraksi PDIP masih dalam posisi tidak setuju karena beberapa faktor, antara lain soal waktu. Jika revisi dilakukan ada konsekuensi yang akan berakibat pada terhambatnya pelaksanaan pilkada. Selain itu, pandangan pemerintah yang menolak revisi juga menjadi dasar sikap Fraksi PDIP.
Sebelumnya, pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubeidillah Badrun mengatakan, transaksi politik bisa saja terjadi antara eksekutif dengan legislatif atas usulan perubahan UU Pilkada ini. Hal itu didasarkan pada fakta DPR yang sangat berambisi untuk melakukan revisi sebelum proses pendaftaran calon di pilkada.
”Akan ada transaksi politik tertentu yang memungkinkan dilakukannya revisi UU. Apalagi sebelumnya Mendagri tidak merespons ajakan DPR hingga membuatnya mendekatiIstana,” ujar Ubeidillah.
Kiswondari / Dian ramdhani
(ftr)