Gagasan Politik, Agama, dan Sastra Denny JA Direspons Positif para Intelektual
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ratusan intelektual dari dalam dan luar negeri mendukung pemikiran Denny JA di bidang politik, agama, dan sastra yang tertuang dalam sejumlah buku diterbitkan kembali. Pasalnya, pemikiran Denny JA dinilai membawa pencerahan.
Penerbitan buku-buku tersebut dalam rangka menyambut usia ke 60 tahun pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang jatuh pada 4 Januari 2023. Sejumlah komunitas memilih sembilan buku yang merekam polemik pemikiran Denny JA untuk kembali dipublikasi.
Denny JA mengaku sangat senang karena pada 60 tahun usianya dirayakan oleh komunitas-komunitas dengan publikasi dunia pemikirannya. Denny mengaku aktif menuangkan gagasan dalam tulisan sejak menjadi aktivis mahasiswa dan penulis pada 1980-an. "Saya memang selalu tersentuh dengan gagasan besar yang menentukan bulat lonjong hidup manusia di dunia politik, agama dan sastra," ujarnya.
Ketika ditanya mengenai apa yang menjadi pemikirannya di bidang politik, agama dan sastra, ia memberikan intisari. “Di bidang politik ekonomi, saya selalu merujuk kepada negara di Skandinavia. Begitu banyak cara mengukur pembangunan yang berhasil, melalui Human Development Index atau World Happiness Index," ujar Denny JA.
"Negara di Skandinavia, seperti Norwegia, Denmark dan Swedia selalu unggul membuat warga negaranya lebih bahagia dan hidup berkualitas," sambungnya.
Hal itu karena mereka mengembangkan sistem negara kesejahteraan yang mengombinasikan kemakmuran, kebebasan dan peran pemerintah yang besar untuk menyediakan program kesejahteraan bagi rakyat kecil. “Penting bagi Indonesia menentukan arah sistem ekonomi politiknya sendiri. Indonesia dengan Pancasila perlu diarahkan menuju negara kesejahteraan ala Indonesia, yang merupakan modifikasi dari negara kesejahteraan ala Skandinavia,” katanya.
Sementara itu di bidang agama, Denny dianggap membawa pendekatan baru studi agama di Indonesia melalui pendekatan kuantitatif. Sehingga ada ukuran untuk membandingkan kehidupan agama dan kemajuan masyarakat.
"Data menujukkan semakin miskin sebuah negara semakin agama dianggap penting. Semakin kaya sebuah negara semakin agama tak lagi menjadi rujukan kebijakan publik," jelasnya.
Denny mengkritik dua tendensi ekstrem dunia agama, yakni pendekatan tekstual yang menjadikan agama sejenis kontitusi ruang publik dan pendekatan yang sama sekali mengabaikan harta kartun agama. Menurut Denny, sudah saatnya agama didekati sebagai kekayaan kultural milik bersama.
"Tak semua agama kita yakini tentu saja. Tapi agama yang tak kita yakini dapat diperlakukan sebagaimana layaknya kita menghayati sastra. Kita bisa memperlakukan 4,200 agama yang kini hadir di dunia sebagai warisan kultural milik kita bersama," sambung Denny, yang juga merupakan Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena.
Sedangkan di bidang sastra, Denny juga merujuk hasil riset yang menyebut mereka yang banyak membaca sastra, atau film dengan nuansa sastrawi akan lebih kuat solidaritas dan sensitivitas sosialnya. Berdasarkan data bahwa buku sastra, terutama buku puisi semakin tidak dibaca. Penyebabnya bukan karena publik meninggalkan puisi, tapi puisi yang meninggalkan publik.
Karena itulah Denny bersama komunitasnya mengembangkan genre baru yakni puisi esai. Genre ini hadir dengan membawa semangat agar puisi kembali ke tengah gelanggang. "Puisi esai merekam peristiwa sosial yang difiksikan. Kini komunitas puisi esai sudah meluas ke wilayah ASEAN," ujar Denny.
Penerbitan buku-buku tersebut dalam rangka menyambut usia ke 60 tahun pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA yang jatuh pada 4 Januari 2023. Sejumlah komunitas memilih sembilan buku yang merekam polemik pemikiran Denny JA untuk kembali dipublikasi.
Denny JA mengaku sangat senang karena pada 60 tahun usianya dirayakan oleh komunitas-komunitas dengan publikasi dunia pemikirannya. Denny mengaku aktif menuangkan gagasan dalam tulisan sejak menjadi aktivis mahasiswa dan penulis pada 1980-an. "Saya memang selalu tersentuh dengan gagasan besar yang menentukan bulat lonjong hidup manusia di dunia politik, agama dan sastra," ujarnya.
Ketika ditanya mengenai apa yang menjadi pemikirannya di bidang politik, agama dan sastra, ia memberikan intisari. “Di bidang politik ekonomi, saya selalu merujuk kepada negara di Skandinavia. Begitu banyak cara mengukur pembangunan yang berhasil, melalui Human Development Index atau World Happiness Index," ujar Denny JA.
"Negara di Skandinavia, seperti Norwegia, Denmark dan Swedia selalu unggul membuat warga negaranya lebih bahagia dan hidup berkualitas," sambungnya.
Hal itu karena mereka mengembangkan sistem negara kesejahteraan yang mengombinasikan kemakmuran, kebebasan dan peran pemerintah yang besar untuk menyediakan program kesejahteraan bagi rakyat kecil. “Penting bagi Indonesia menentukan arah sistem ekonomi politiknya sendiri. Indonesia dengan Pancasila perlu diarahkan menuju negara kesejahteraan ala Indonesia, yang merupakan modifikasi dari negara kesejahteraan ala Skandinavia,” katanya.
Sementara itu di bidang agama, Denny dianggap membawa pendekatan baru studi agama di Indonesia melalui pendekatan kuantitatif. Sehingga ada ukuran untuk membandingkan kehidupan agama dan kemajuan masyarakat.
"Data menujukkan semakin miskin sebuah negara semakin agama dianggap penting. Semakin kaya sebuah negara semakin agama tak lagi menjadi rujukan kebijakan publik," jelasnya.
Denny mengkritik dua tendensi ekstrem dunia agama, yakni pendekatan tekstual yang menjadikan agama sejenis kontitusi ruang publik dan pendekatan yang sama sekali mengabaikan harta kartun agama. Menurut Denny, sudah saatnya agama didekati sebagai kekayaan kultural milik bersama.
"Tak semua agama kita yakini tentu saja. Tapi agama yang tak kita yakini dapat diperlakukan sebagaimana layaknya kita menghayati sastra. Kita bisa memperlakukan 4,200 agama yang kini hadir di dunia sebagai warisan kultural milik kita bersama," sambung Denny, yang juga merupakan Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena.
Sedangkan di bidang sastra, Denny juga merujuk hasil riset yang menyebut mereka yang banyak membaca sastra, atau film dengan nuansa sastrawi akan lebih kuat solidaritas dan sensitivitas sosialnya. Berdasarkan data bahwa buku sastra, terutama buku puisi semakin tidak dibaca. Penyebabnya bukan karena publik meninggalkan puisi, tapi puisi yang meninggalkan publik.
Karena itulah Denny bersama komunitasnya mengembangkan genre baru yakni puisi esai. Genre ini hadir dengan membawa semangat agar puisi kembali ke tengah gelanggang. "Puisi esai merekam peristiwa sosial yang difiksikan. Kini komunitas puisi esai sudah meluas ke wilayah ASEAN," ujar Denny.
(cip)