Sosok Tjilik Riwut, Pahlawan Nasional yang Cetuskan Perpindahan Ibu Kota
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tjilik Riwut, nama tenar ini disematkan pada bandara, jalan, dan sekolah kepolisian di Palangkaraya, Kalimantan Tengah . Dari situ, bisa diketahui Tjilik Riwut adalah figur penting dan panutan bagi masyarakat Kalimantan, khususnya Suku Dayak.
Ya, Tjilik Riwut adalah Pahlawan Nasional asal Kasongan, Kalimantan Tengah yang ditetapkan melalui SK Presiden RI No. 108/TK/Tahun 1998 pada 6 November 1998. Gelar merupakan penghargaan atas perjuangannya pada masa kemerdekaan dan pengabdiannya dalam membangun Kalimantan Tengah.
Lahir pada 2 Februari 1918, Tjilik Riwut dikenal sebagai putra dayak yang berperan besar pada upaya mencapai kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. Sering dijuluki sebagai ‘orang hutan’ karena beliau lahir dan besar di belantara Kalimantan.
Meski begitu, Tjilik sangat menjunjung tinggi tanah leluhurnya dan bangga mengakui dirinya adalah orang Kalimantan. Tak heran ia pernah tiga kali mengelilingi Pulau Kalimantan hanya dengan berjalan kaki dan naik rakit.
Setelah lulus dari sekolah dasar, Tjilik melanjutkan pendidikan ke bidang kesehatan, yakni Sekolah Perawat di Purwakarta dan Bandung, Jawa Barat. Lalu, beliau diterjunkan kembali ke tanah asal, Kalimantan untuk melaksanakan misi Pemerintah Republik Indonesia oleh Pangeran Muhammad Noor selaku Gubernur Borneo. Namun, karena satu dan lain hal beliau tidak menerima suruhan tersebut.
Perjuangannya dimulai saat mengikuti rombongan ekspedisi dari pulau Jawa ke Kalimantan untuk membentuk barisan perjuangan di daerah yang sangat luas, rombongan tersebut mencari cara agar dapat berkomunikasi dengan berbagai suku di pelosok Kalimantan, salah satunya suku Dayak, guna menyatukan persepsi rakyat agar dapat menggalang persatuan dan kesatuan.
Tjilik Riwut bersama Presiden Soekarno. Foto/ist
Saat itu, Tjilik memimpin pasukan MN 1001 dan berhasil melaksanakan operasi terjun payung pertama kali dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 17 Oktober 1947. Peristiwa itulah yang di kemudian hari ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI-AU.
Tjilik yang berpangkat Mayor TNI dan Marsekal Pertama Kehormatan TNI-AU, berhasil berjuang untuk mewakili 185 ribu rakyat, 142 Suku Dayak, 145 kepala kampung, 12 kepala adat, 3 panglima, 10 patih, serta 2 tumenggung dari berbagai pedalaman Kalimantan.
Dia juga menjadi perwakilan masyarakat Dayak untuk melakukan sumpah setia kepada Pemerintahan RI, di hadapan Presiden Soekarno secara adat pada 17 Desember 1947 di Gedung Agung Yogyakarta.
Sebagai seorang tentara, Tjilik turut terlibat dalam perang yang meliputi sebagian besar pulau Kalimantan dan Jawa. Beliau pun aktif di bidang politik dan ikut serta dalam jajaran pemerintahan Indonesia.
Tjilik dipercaya untuk menjadi Bupati Kotawaringin Timur (1950), Bupati Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Kotawaringin Timur (1951-1956), Gubernur Pertama Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah (1958), hingga anggota DPR RI.
Selama menduduki jabatan politik di jajaran pemerintah, beliau mengusulkan pengubahan nama daerah Pahandut menjadi Palangkaraya yang kemudian dijadikan sebagai ibu kota Kalimantan Tengah. Tak hanya itu, Tjilik pun pernah mengusulkan pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Palangkaraya.
Namun, perpindahan ibu kota bukanlah perkara mudah, sehingga usul tersebut pun tidak diterima. Alasan utamanya karena akses mobilitas di Kalimantan yang belum memadai. Maka dari itu, usulan Presiden Jokowi terkait perpindahan ibu kota ke Palangka Raya disebut-sebut mengikuti buah pikiran dari Tjilik Riwut.
Beliau pun menuangkannya buah pikiran yang melimpah ruah pada berbagai buku, seperti Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952), Maneser Panatau Tatu Hiang (1965), dan Kalimantan Membangun (1979).
Perjuangannya usai pada 17 Agustus 1987, Tjilik Riwut tutup usia di umur 69 tahun setelah dirawat di RS Suaka Insan karena penyakit liver dan hepatitisnya. Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.
Berkat jasa dan perjuangannya, sosok Tjilik Riwut pun abadi, namanya digunakan pada bandara, jalan, dan sekolah kepolisian di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Tak dapat dipungkiri, figur beliau sangat berarti bagi masyarakat Kalimantan, khususnya suku dayak. (Afridha Khalila)
Ya, Tjilik Riwut adalah Pahlawan Nasional asal Kasongan, Kalimantan Tengah yang ditetapkan melalui SK Presiden RI No. 108/TK/Tahun 1998 pada 6 November 1998. Gelar merupakan penghargaan atas perjuangannya pada masa kemerdekaan dan pengabdiannya dalam membangun Kalimantan Tengah.
Lahir pada 2 Februari 1918, Tjilik Riwut dikenal sebagai putra dayak yang berperan besar pada upaya mencapai kemerdekaan dan pembangunan Indonesia. Sering dijuluki sebagai ‘orang hutan’ karena beliau lahir dan besar di belantara Kalimantan.
Meski begitu, Tjilik sangat menjunjung tinggi tanah leluhurnya dan bangga mengakui dirinya adalah orang Kalimantan. Tak heran ia pernah tiga kali mengelilingi Pulau Kalimantan hanya dengan berjalan kaki dan naik rakit.
Setelah lulus dari sekolah dasar, Tjilik melanjutkan pendidikan ke bidang kesehatan, yakni Sekolah Perawat di Purwakarta dan Bandung, Jawa Barat. Lalu, beliau diterjunkan kembali ke tanah asal, Kalimantan untuk melaksanakan misi Pemerintah Republik Indonesia oleh Pangeran Muhammad Noor selaku Gubernur Borneo. Namun, karena satu dan lain hal beliau tidak menerima suruhan tersebut.
Perjuangannya dimulai saat mengikuti rombongan ekspedisi dari pulau Jawa ke Kalimantan untuk membentuk barisan perjuangan di daerah yang sangat luas, rombongan tersebut mencari cara agar dapat berkomunikasi dengan berbagai suku di pelosok Kalimantan, salah satunya suku Dayak, guna menyatukan persepsi rakyat agar dapat menggalang persatuan dan kesatuan.
Tjilik Riwut bersama Presiden Soekarno. Foto/ist
Saat itu, Tjilik memimpin pasukan MN 1001 dan berhasil melaksanakan operasi terjun payung pertama kali dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 17 Oktober 1947. Peristiwa itulah yang di kemudian hari ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI-AU.
Tjilik yang berpangkat Mayor TNI dan Marsekal Pertama Kehormatan TNI-AU, berhasil berjuang untuk mewakili 185 ribu rakyat, 142 Suku Dayak, 145 kepala kampung, 12 kepala adat, 3 panglima, 10 patih, serta 2 tumenggung dari berbagai pedalaman Kalimantan.
Dia juga menjadi perwakilan masyarakat Dayak untuk melakukan sumpah setia kepada Pemerintahan RI, di hadapan Presiden Soekarno secara adat pada 17 Desember 1947 di Gedung Agung Yogyakarta.
Sebagai seorang tentara, Tjilik turut terlibat dalam perang yang meliputi sebagian besar pulau Kalimantan dan Jawa. Beliau pun aktif di bidang politik dan ikut serta dalam jajaran pemerintahan Indonesia.
Tjilik dipercaya untuk menjadi Bupati Kotawaringin Timur (1950), Bupati Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Kotawaringin Timur (1951-1956), Gubernur Pertama Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah (1958), hingga anggota DPR RI.
Selama menduduki jabatan politik di jajaran pemerintah, beliau mengusulkan pengubahan nama daerah Pahandut menjadi Palangkaraya yang kemudian dijadikan sebagai ibu kota Kalimantan Tengah. Tak hanya itu, Tjilik pun pernah mengusulkan pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Palangkaraya.
Namun, perpindahan ibu kota bukanlah perkara mudah, sehingga usul tersebut pun tidak diterima. Alasan utamanya karena akses mobilitas di Kalimantan yang belum memadai. Maka dari itu, usulan Presiden Jokowi terkait perpindahan ibu kota ke Palangka Raya disebut-sebut mengikuti buah pikiran dari Tjilik Riwut.
Beliau pun menuangkannya buah pikiran yang melimpah ruah pada berbagai buku, seperti Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952), Maneser Panatau Tatu Hiang (1965), dan Kalimantan Membangun (1979).
Perjuangannya usai pada 17 Agustus 1987, Tjilik Riwut tutup usia di umur 69 tahun setelah dirawat di RS Suaka Insan karena penyakit liver dan hepatitisnya. Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya menjadi tempat peristirahatan terakhirnya.
Berkat jasa dan perjuangannya, sosok Tjilik Riwut pun abadi, namanya digunakan pada bandara, jalan, dan sekolah kepolisian di Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Tak dapat dipungkiri, figur beliau sangat berarti bagi masyarakat Kalimantan, khususnya suku dayak. (Afridha Khalila)
(muh)