Guru Besar Hukum Sebut Ferdy Sambo Bisa Jadi Justice Collaborator untuk Perbaiki Polri

Selasa, 30 Agustus 2022 - 20:01 WIB
loading...
Guru Besar Hukum Sebut...
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Prof Gayus Lumbuun alam seminar nasional Kajian Hukum-Legal Justice bertema Bisakah Ferdy Sambo Bebas?, Selasa (30/8/2022). FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (Unkris), Prof Gayus Lumbuun menilai kasus Ferdy Sambo menarik untuk dikaji oleh para akademisi ilmu hukum. Bukan hanya soal tindak pidana pembunuhan terhadap Brigadir J, tapi terkait perbaikan institusi Polri.

"Kasus Ferdy Sambo menjadi isu besar di masyarakat yang berimplikasi pada berbagai pihak, baik masyarakat maupun institusi Kepolisian. Eskalasi suara publik yang menuntut hak dan keadilan berhasil mengungkap kasus tersebut hingga pihak kepolisian menetapkan puluhan anggotanya sebagai pelanggar etik, dan beberapa ditetapkan sebagai tersangka," kata Gayus dalam seminar nasional Kajian Hukum-Legal Justice bertema 'Bisakah Ferdy Sambo Bebas?' yang digelar Program Doktoral Ilmu Hukum Angkatan 11 Unkris, Selasa (30/8/2022).

Menurut Gayus, meski telah mengakui sebagai pelaku utama pembunuhan Brigadir J, Ferdy Sambo masih memiliki peluang bebas dari hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Peluang ini bisa diperoleh dengan menjadi justice collaborator.



Dalam posisinya sebagai justice collaborator, Ferdy Sambo harus berani membongkar borok di institusi Polri dengan sejujur-jujurnya. Sebab, sejak kasus Ferdy Sambo bergulir, isu seputar ketidakberesan institusi Polri terus bergulir dan berhasil meyakinkan publik.

Justice collaborator, menurut Gayus telah diatur melalui Undang-undang No 31 Tahun 2014 tentang LPSK, Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2011, dan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung RI, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, Saksi Pelaku yang Berkerja Sama.

"Meski dengan pengakuan Sambo sebagai pelaku utama pembunuhan Brigadir J, sebenarnya yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan menjadi justice collaborator. Sambo bahkan bisa dijerat Pasal 340 subsider Pasal 338 jo Pasal 55-56 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal mati atau seumur hidup atau penjara 20 tahun," kata Prof Gayus.

Memang persoalan Sambo menjadi justice collaborator ini tidak akan mengurangi rasa sakit hati dan kepedihan keluarga almarhum Brigadir J. Namun jika itu bisa dilakukan, maka kebermanfaatan hukum akan sedemikian besar yang bisa dirasakan oleh masyarakat luas.

Baca juga: Potret Kebersamaan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi Usai Rekonstruksi Pembunuhan Brigadir J

Bagi Gayus, menggabungkan pemahaman social justice sebagai demokrasi, legal justice sebagai nomokrasi, dan keadilan prosedural serta keadilan substantif, sebenarnya terbuka ruang bagi hakim untuk mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan unsur kemanfaatan atas pengakuan yang selengkap-lengakpnya, sejujur-jujurnya, seterbuka-terbukanya dari pelaku.

Perkembangan proses hukum di tingkat penyelidikan dapat dikatakan menjadi keberhasilan kelompok masyarakat dari berbagai unsur, termasuk advokat yang mendapatkan kuasa untuk menangani kasus. Kelompok masyarakat umum dapat disebut sebagai social justice warrior atau pejuang keadilan sosial bersama para advokat yang bertindak sebagai kuasa hukum korban yang telah dengan tegas dan berani mengungkapkan berbagai informasi, termasuk fakta-fakta yuridis yang ditemukan.

Sementara itu, Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan mengakui banyak publik yang terjebak dalam kasus Ferdy Sambo. Mereka menilai bahwa kasus telah selesai dengan pengakuan Ferdy Sambo sebagai pelaku pembunuhan.

"Begitu hebatnya pemberitaan, sehingga kasus yang sebenarnya baru dimulai, seolah-olah telah sampai pada akhir cerita," katanya.

Ia mengingatkan, sejak kasus Ferdy Sambo mencuat telah ada skenario-skenario yang disusun untuk mempengaruhi hukum. Pada skenario pertama yang awalnya diyakini publik, ternyata gugur setelah ada pengakuan jujur dari Bharada E. "Namun meski sekarang skenario dua sudah makin menguat, bisa saja muncul skenario ketiga dan seterusnya. Semuanya serba mungkin," kata Otto.

Karena itu, sebagai kaum akademisi, Otto mengajak para dosen dan mahasiswa untuk mengkritisi persoalan ini dengan baik. "Kita harus tunggu akhir dari persidangan untuk menyimpulkan kasus ini," katanya.

Ia juga sepakat dengan Gayus bahwa substansi hukum mengenal adanya kebermanfaatan di samping keadilan dan kepastian hukum. Tujuannya agar hukum tak sekadar mengadili yang salah dan menjatuhkan hukuman sesuai aturan yang berlaku, tetapi hukum juga harus mampu memberi manfaat untuk mencegah agar kasus serupa tidak terjadi lagi.

"Harus ada kebermanfaatan dari penuntasan kasus hukum terhadap Sambo ini. Kita ingin agar di kemudian hari tidak muncul Sambo-Sambo yang lain," katanya.

Sementara itu, Rektor Unkris Ayub Muktiono mengatakan, seminar nasional dengan topik bahasan Ferdy Sambo menjadi bagian dari upaya Unkris memberikan pencerahan hukum kepada masyarakat luas sebagai bagian dari tugas para akademisi. "Kampus punya kebebasan akademis untuk memberikan kajian termasuk dalam kasus Sambo ini. Unkris merasa terpanggil memberikan pandangan dari sisi akademis," kata Ayub.

Ayub menegaskan, seminar nasional ini tidak bermaksud mempengaruhi proses hukum yang sedang berlangsung terhadap Sambo maupun pelaku lainnya tapi ingin melihat lebih luas aspek hukum dari kasus tersebut dengan maksud mencegah kasus serupa terjadi berulang. Seminar nasional dihadiri tidak hanya dosen dan mahasiswa Unkris tetapi juga akademisi dari berbagai kampus lain di Jabodetabek.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1652 seconds (0.1#10.140)