Profil Gus Yahya, Putra Pendiri PKB yang Tegas Melamar Jadi Ketum PBNU
loading...
A
A
A
JAKARTA - KH Yahya Cholil Staquf menjadi salah satu kandidat dalam pemilihan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ( PBNU ) periode 2021-2026 pada Muktamar ke-34 NU di Lampung. Katib Aam PBNU ini menantang sang petahana KH Said Aqil Siroj.
Yahya Cholil Staquf atau populer disapa Gus Yahya itu secara tegas menyatakan maju menjadi calon Ketum PBNU. Ia sengaja berniat melamar pekerjaan menjadi pemimpin NU, bukan karena diminta.
"Saya nyalon ketua umum, melamar pekerjaan. Pekerjaannya apa? menjadikan NU sebagai model peradaban di masa depan. Bukan karena, jika saya jadi ketua umum NU bisa nyalon presiden, nyalon wakil presiden. Itu saya tidak mau," kata Gus Yahya dalam acara Ngopi Bareng Gus Yahya, Selasa (21/12/2021).
Baca juga: Muktamar ke-34 NU, Akankah KH Said Aqil Siradj Menyamai Gus Dur?
Tampaknya Gus Yahya cukup percaya diri dengan niatnya tersebut. Lalu seperti apa sosoknya? Berikut profil singkatnya:
Gus Yahya lahir di Rembang, Jawa Tengah, 16 Februari 1966. Dia merupakan putra dari KH Muhammad Cholil Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin di Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Selain ulama, ayahnya juga dikenal sebagai sosiolog dan politikus pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kakeknya juga seorang tokoh besar NU, KH Bisri Mustofa, penyusun Kitab Tafsir Al Ibris.
Gus Yahya yang lahir dan besar di kalangan pesantren, sudah digembleng ilmu agama sejak dini. Meski orang tuanya memiliki pesantren, tapi dia dikirim untuk mondok di Madrasah Al Munawwir Krapyak, Kota Yogyakarta, yang diasuh oleh KH Ali Maksum.
Selepas dari pondok, Gus Yahya melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIP UGM). Selama masa kuliah, Gus Yahya aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta. Kakak kandung Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas itu sempat bermukim selama setahun di Mekkah, Arab Saudi untuk mengaji.
Baca juga: Muktamar NU, Ribuan Pengurus PCNU dan PWNU Beri Dukungan ke Gus Yahya
Gus Yahya dikenal dekat dengan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ia pernah ditunjuk menjadi Juru Bicara Presiden sewaktu Gus Dur berkuasa pada 1999-2001. Setelah itu, Gus Yahya sempat aktif di PKB, tapi kemudian memilih lebih menekuni di bidang pendidikan.
Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) 2014-2019 ini kerap menjadi pembicara internasional di luar negeri. Seperti pada Juni 2018, Gus Yahya menjadi pembicara dalam forum American Jewish Committee (AJC) di Israel menyuarakan menyerukan konsep rahmat, sebagai solusi bagi konflik dunia, termasuk konflik yang disebabkan agama.
Pada 2014, Gus Yahya juga tercatat menjadi salah satu inisiator pendiri institut keagamaan di California, Amerika Serikat yaitu Bayt Ar-Rahmah Li adDa'wa Al-Islamiyah rahmatan Li Al-alamin yang mengkaji agama Islam untuk perdamaian dan rahmat alam. Lalu ia juga pernah dipercaya menjadi tenaga ahli perumus kebijakan pada Dewan Eksekutif Agama Agama di Amerika Serikat–Indonesia yang didirikan berdasarkan perjanjian bilateral yang ditandatangani oleh Presiden Obama dan Presiden Jokowi pada Oktober 2015 untuk menjalin kemitraan strategis antara Amerika Serikat dan Indonesia.
Yahya Cholil Staquf atau populer disapa Gus Yahya itu secara tegas menyatakan maju menjadi calon Ketum PBNU. Ia sengaja berniat melamar pekerjaan menjadi pemimpin NU, bukan karena diminta.
"Saya nyalon ketua umum, melamar pekerjaan. Pekerjaannya apa? menjadikan NU sebagai model peradaban di masa depan. Bukan karena, jika saya jadi ketua umum NU bisa nyalon presiden, nyalon wakil presiden. Itu saya tidak mau," kata Gus Yahya dalam acara Ngopi Bareng Gus Yahya, Selasa (21/12/2021).
Baca juga: Muktamar ke-34 NU, Akankah KH Said Aqil Siradj Menyamai Gus Dur?
Tampaknya Gus Yahya cukup percaya diri dengan niatnya tersebut. Lalu seperti apa sosoknya? Berikut profil singkatnya:
Gus Yahya lahir di Rembang, Jawa Tengah, 16 Februari 1966. Dia merupakan putra dari KH Muhammad Cholil Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin di Leteh, Rembang, Jawa Tengah. Selain ulama, ayahnya juga dikenal sebagai sosiolog dan politikus pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kakeknya juga seorang tokoh besar NU, KH Bisri Mustofa, penyusun Kitab Tafsir Al Ibris.
Gus Yahya yang lahir dan besar di kalangan pesantren, sudah digembleng ilmu agama sejak dini. Meski orang tuanya memiliki pesantren, tapi dia dikirim untuk mondok di Madrasah Al Munawwir Krapyak, Kota Yogyakarta, yang diasuh oleh KH Ali Maksum.
Selepas dari pondok, Gus Yahya melanjutkan pendidikan tinggi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (FISIP UGM). Selama masa kuliah, Gus Yahya aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Yogyakarta. Kakak kandung Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas itu sempat bermukim selama setahun di Mekkah, Arab Saudi untuk mengaji.
Baca juga: Muktamar NU, Ribuan Pengurus PCNU dan PWNU Beri Dukungan ke Gus Yahya
Gus Yahya dikenal dekat dengan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ia pernah ditunjuk menjadi Juru Bicara Presiden sewaktu Gus Dur berkuasa pada 1999-2001. Setelah itu, Gus Yahya sempat aktif di PKB, tapi kemudian memilih lebih menekuni di bidang pendidikan.
Mantan Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) 2014-2019 ini kerap menjadi pembicara internasional di luar negeri. Seperti pada Juni 2018, Gus Yahya menjadi pembicara dalam forum American Jewish Committee (AJC) di Israel menyuarakan menyerukan konsep rahmat, sebagai solusi bagi konflik dunia, termasuk konflik yang disebabkan agama.
Pada 2014, Gus Yahya juga tercatat menjadi salah satu inisiator pendiri institut keagamaan di California, Amerika Serikat yaitu Bayt Ar-Rahmah Li adDa'wa Al-Islamiyah rahmatan Li Al-alamin yang mengkaji agama Islam untuk perdamaian dan rahmat alam. Lalu ia juga pernah dipercaya menjadi tenaga ahli perumus kebijakan pada Dewan Eksekutif Agama Agama di Amerika Serikat–Indonesia yang didirikan berdasarkan perjanjian bilateral yang ditandatangani oleh Presiden Obama dan Presiden Jokowi pada Oktober 2015 untuk menjalin kemitraan strategis antara Amerika Serikat dan Indonesia.