Kisah Heroik Hendropriyono Lolos dari Maut Meski Dikepung Musuh di Belantara Kalimantan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sepak terjang prajurit Kopassandha yang kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di setiap palagan selalu menorehkan kisah-kisah heroik. Kisah keberanian pasukan elite TNI AD kali ini datang dari Jenderal TNI (Purn) Hendropriyono saat menjalankan operasi di belantara Kalimantan Barat.
Dikutip dari buku “Sintong Panjaitan Perjalanan Prajurit Para Komando.” Sekitar 1972, Hendropriyono yang kala itu berpangkat Kapten mendapat tugas memburu gerombolan bersenjata komunis yakni Pasukan Gerilya Rakyat Serawak/Paraku yang bersembunyi di Kalimantan. Sayap bersenjata di bawah naungan North Kalimantan Communist Party (NKCP) di bawah pimpinan Wen Min Chyuan dari sebuah organisasi bernama Organisasi Komunis Sarawakdi Malaysia ini awalnya dibina oleh TNI saat konfrontasi dengan Malaysia. Namun seiring perubahan peta politik nasional, pascaperistiwa G30/S/PKI, kelompok ini menjadi lawan bagi TNI.
Di bawah pimpinan Komandan Satgas 42 Kopassandha Mayor Sintong Panjaitan, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu dengan gagah berani menerobos masuk ke jantung pertahanan musuh untuk memburu gerombolan komunis bersenjata pimpinan Then Bu Ket yang telah menyerang bivak dan menewaskan Pratu Rukiat.
Sebagai Kasi 1/Intelijen Satgas 42 Hendropriyono langsung memimpin Tim Parako berkekuatan 16 orang memburu kelompok tersebut. Tim kemudian diterbangkan dengan Helikopter Sikorsky S 34 Twin Pac AURI menuju Kampung Aruk di daerah penyangga. Setibanya di kampung tersebut semua penduduk ternyata berpihak kepada gerombolan bersenjata. Penduduk tampak tidak suka dengan kedatangan orang asing. Tampaknya mereka merencanakan untuk menyerang Posko Tim Parako yang dipimpinnya. Menyadari hal itu, Hendropriyono kemudian menghubungi Komandan Satgas 42 Mayor Sintong Panjaitan minta angkutan helicopter untuk pengunduran.
Bahkan kalau perlu, dia akan masuk ke Malaysia kemudian kembali ke Kampung Aruk dengan membawa pasukan Malaysia. Namun permintaan itu ditolak Sintong.
“Kamu kan bisa keluar dari situ,” kata Sintong.
“Tidak bisa Pak. Pengunduran harus dengan helikopter. Saya terkepung,” jawab Hendropriyono.
“Pelurumu ada berapa?” Tanya Sintong.
“Masih penuh Pak,” jawabnya
“Makanan buat berapa hari?” sambung Sintong.
“Masih ada Pak untuk dua hari,” jawab Hendropriyono.
“Cukup itu,” kata Sintong dengan tegas.
Mendapat jawaban itu, Komandan Tim Parako Hendropriyono kemudian mengirimkan partroli ke utara, tetapi terjadi kontak senjata. Patroli ke barat juga terjadi kontak senjata. Patroli ke timur menemukan jejak-jejak kaki. Kemudian Hendropriyono memanggil perwira bawahan dan menyampaikan “Kesimpulan saya kita terkepung, kita harus bisa keluar dari sini,”
Hendropriyono kemudian memanggil para perwira yang menjadi komandan patroli untuk memperoleh perkiraan-perkiraan jumlah kekuatan musuh. Ternyata kepungan gerombolan yang paling tipis untuk ditembus adalah ke selatan menuju bivak karena hanya terlihat empat orang musuh. Hendropriyono kemudian memutuskan untuk menerobos ke selatan. Tetapi sampai ke lereng bukti, mereka tidak menemukan gerombolan. Hendropriyono tidak mau turun ke lembah karena sudah sore. Diperkirakan kalau tim yang dipimpin bermalam di lembah, pagi-pagi akan ditembaki habis dari ketinggian.
Hendropriyono melaporkan posisinya, kemudian mendapat perintah dari Sintong agar pasukan terus mendaki menuju puncak bukit. Pada waktu pasukan sedang mendaki terjadi pertempuran. Hasilnya cukup menggembirakan. Dua orang gerombolan tewas, tiga orang menyerah dan lainnya melarikan diri.
Di Kemudian hari Hendropriyono menayakan kepada Sintong mengapa sebagai komandan tidak mau mengirim helikopter. Sebagai anak buah, Hendropriyono tidak mungkin marah kepada Sintong sebagai atasannya. Tetapi ia merasa sakit hati. Sebaliknya, Sintong yakin Hendropriyono dapat mengatasi keadaan dan keluar dari kepungan.
Kesimpulan itu setelah Sintong mengolah situasi berdasarkan pada laporan Hendropriyono dan membaca peta. Sintong menyadari situasi sangat kritis, tetapi kalau Sintong minta helikopter, berapa lama waktunya? Tidak dapat dihitung. “Keberadaan helikopter itu di Pontianak, kapan akan sampai? Pada waktu helikopter datang, mungkin kalian sudah mati,” kata Sintong.
Mendengar jawaban itu Hendropriyono senang. “Ini orang saya benci bener dulu itu. Tetapi sekarang saya salut!” Kata Jenderal TNI (Purn) Hendropriyono 35 tahun kemudian.
Lihat Juga: Daftar 15 Pangdam se-Indonesia Akhir Tahun 2024, 4 di Antaranya Baru Menjabat Awal Desember
Dikutip dari buku “Sintong Panjaitan Perjalanan Prajurit Para Komando.” Sekitar 1972, Hendropriyono yang kala itu berpangkat Kapten mendapat tugas memburu gerombolan bersenjata komunis yakni Pasukan Gerilya Rakyat Serawak/Paraku yang bersembunyi di Kalimantan. Sayap bersenjata di bawah naungan North Kalimantan Communist Party (NKCP) di bawah pimpinan Wen Min Chyuan dari sebuah organisasi bernama Organisasi Komunis Sarawakdi Malaysia ini awalnya dibina oleh TNI saat konfrontasi dengan Malaysia. Namun seiring perubahan peta politik nasional, pascaperistiwa G30/S/PKI, kelompok ini menjadi lawan bagi TNI.
Di bawah pimpinan Komandan Satgas 42 Kopassandha Mayor Sintong Panjaitan, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu dengan gagah berani menerobos masuk ke jantung pertahanan musuh untuk memburu gerombolan komunis bersenjata pimpinan Then Bu Ket yang telah menyerang bivak dan menewaskan Pratu Rukiat.
Sebagai Kasi 1/Intelijen Satgas 42 Hendropriyono langsung memimpin Tim Parako berkekuatan 16 orang memburu kelompok tersebut. Tim kemudian diterbangkan dengan Helikopter Sikorsky S 34 Twin Pac AURI menuju Kampung Aruk di daerah penyangga. Setibanya di kampung tersebut semua penduduk ternyata berpihak kepada gerombolan bersenjata. Penduduk tampak tidak suka dengan kedatangan orang asing. Tampaknya mereka merencanakan untuk menyerang Posko Tim Parako yang dipimpinnya. Menyadari hal itu, Hendropriyono kemudian menghubungi Komandan Satgas 42 Mayor Sintong Panjaitan minta angkutan helicopter untuk pengunduran.
Bahkan kalau perlu, dia akan masuk ke Malaysia kemudian kembali ke Kampung Aruk dengan membawa pasukan Malaysia. Namun permintaan itu ditolak Sintong.
“Kamu kan bisa keluar dari situ,” kata Sintong.
“Tidak bisa Pak. Pengunduran harus dengan helikopter. Saya terkepung,” jawab Hendropriyono.
“Pelurumu ada berapa?” Tanya Sintong.
“Masih penuh Pak,” jawabnya
“Makanan buat berapa hari?” sambung Sintong.
“Masih ada Pak untuk dua hari,” jawab Hendropriyono.
“Cukup itu,” kata Sintong dengan tegas.
Mendapat jawaban itu, Komandan Tim Parako Hendropriyono kemudian mengirimkan partroli ke utara, tetapi terjadi kontak senjata. Patroli ke barat juga terjadi kontak senjata. Patroli ke timur menemukan jejak-jejak kaki. Kemudian Hendropriyono memanggil perwira bawahan dan menyampaikan “Kesimpulan saya kita terkepung, kita harus bisa keluar dari sini,”
Hendropriyono kemudian memanggil para perwira yang menjadi komandan patroli untuk memperoleh perkiraan-perkiraan jumlah kekuatan musuh. Ternyata kepungan gerombolan yang paling tipis untuk ditembus adalah ke selatan menuju bivak karena hanya terlihat empat orang musuh. Hendropriyono kemudian memutuskan untuk menerobos ke selatan. Tetapi sampai ke lereng bukti, mereka tidak menemukan gerombolan. Hendropriyono tidak mau turun ke lembah karena sudah sore. Diperkirakan kalau tim yang dipimpin bermalam di lembah, pagi-pagi akan ditembaki habis dari ketinggian.
Hendropriyono melaporkan posisinya, kemudian mendapat perintah dari Sintong agar pasukan terus mendaki menuju puncak bukit. Pada waktu pasukan sedang mendaki terjadi pertempuran. Hasilnya cukup menggembirakan. Dua orang gerombolan tewas, tiga orang menyerah dan lainnya melarikan diri.
Di Kemudian hari Hendropriyono menayakan kepada Sintong mengapa sebagai komandan tidak mau mengirim helikopter. Sebagai anak buah, Hendropriyono tidak mungkin marah kepada Sintong sebagai atasannya. Tetapi ia merasa sakit hati. Sebaliknya, Sintong yakin Hendropriyono dapat mengatasi keadaan dan keluar dari kepungan.
Kesimpulan itu setelah Sintong mengolah situasi berdasarkan pada laporan Hendropriyono dan membaca peta. Sintong menyadari situasi sangat kritis, tetapi kalau Sintong minta helikopter, berapa lama waktunya? Tidak dapat dihitung. “Keberadaan helikopter itu di Pontianak, kapan akan sampai? Pada waktu helikopter datang, mungkin kalian sudah mati,” kata Sintong.
Mendengar jawaban itu Hendropriyono senang. “Ini orang saya benci bener dulu itu. Tetapi sekarang saya salut!” Kata Jenderal TNI (Purn) Hendropriyono 35 tahun kemudian.
Lihat Juga: Daftar 15 Pangdam se-Indonesia Akhir Tahun 2024, 4 di Antaranya Baru Menjabat Awal Desember
(cip)