Menelisik 'Panggung Belakang' Risma yang Dinilai Bikin Gerah Elit Politik

Sabtu, 23 Januari 2021 - 08:45 WIB
loading...
Menelisik Panggung Belakang Risma yang Dinilai Bikin Gerah Elit Politik
Mensos Tri Rismaharini mengunjungi korban longsor di Cimanggung, Sumedang, Jawa Barat. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Model kepemimpinan Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini terus menjadi sasaran kritik dan tak jarang bikin gerah elit politik kita. Setelah anggota DPR, Fadli Zon, baru-baru ini Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) melontarkan kritik terhadap langkah Risma . Di akun Twitter-nya, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan bukan tugas Mensos mewacanakan penyebab erupsi Gunung Semeru, atau ikut membungkus nasi untuk korban banjir.

Baca Juga: Gegara Cabai Rawit dan Daging Sapi, Harga Barang-Barang Jadi Ikutan Naik

Menurut HNW, karena bencana alam makin banyak dan luas, maka Mensos lebih baik segera membuat kebijakan-kebijakan yang solutif dan visioner, memperbaiki data-data bantuan sosial (bansos) agar rakyat benar-benar terbantu, dan Risma bisa husnul khatimah sebagai menteri.

Baca Juga: Pertama Kalinya Sejak Pandemi COVID-19, Hong Kong Berlakukan Lockdown

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI), Karyono Wibowo mengatakan, sebagai seorang politikus, cuitan HNW sejatinya biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Apalagi sebagai wakil rakyat, dia memiliki hak untuk melakukan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, meskipun fungsi pengawasan di DPR sudah ada pembagian dalam alat kelengkapan dewan.



"Dalam negara demokrasi, kritik bukan sesuatu yang haram. Tapi yang menarik bukan itu. Yang menarik perhatian adalah maksud terselubung di balik kritik terhadap Risma. Sebaliknya, barang kali yang menarik juga adalah mengungkap apa motif di balik sepak terjang Risma belakangan ini," katanya saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (23/1/2021).

Menurut Karyono, justru apa yang terjadi di panggung belakang yang menjadi faktor utama munculnya polemik di antara politisi dan netizen. Bukan sepak terjang Risma yang menempuh jalan turun ke bawah atau blusukan yang menjadi persoalan, tetapi lebih pada dimensi politis, yaitu adanya premis bahwa Risma diduga memiliki agenda terselubung bakal maju di Pilkada DKI Jakarta melawan petahana Anies Baswedan.

Baca Juga: Ketua Komisi X : Kewajiban Jilbab Bagi Siswi Non-Muslim Berlebihan

Karyono melihat, ada semacam kekhawatiran figur Risma akan mendelegitimasi kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan berpotensi menggerus pamor sang gubernur. Terlebih, nama Anies disebut-sebut sebagai salah satu calon presiden 2024.

"Oleh sebab itu, lumrah jika lawan politik Risma mencoba melakukan propaganda untuk menghadang laju Risma dengan cara melontarkan kritik, bahkan cibiran terhadap mantan Wali Kota Surabaya itu," ujar mantan peneliti LSI Denny JA ini.



Lebih lanjut Karyono meyakini HNW bukan politikus atau orang bodoh yang tidak paham tentang pentingnya kepemimpinan yang tidak hanya pandai secara konsepsi, tapi juga dibutuhkan model kepemimpinan yang menggunakan pendekatan turba untuk melihat, mengamati dan mengevaluasi kebijakan secara langsung atas pelbagai persoalan yang terjadi di lapangan secara riil.

Baca juga: Bela Risma yang Dihujani Kritik, Legislator PDIP: Oposan Sumbang Itu!

HNW dan elit lain yang kritis ke Risma disebutnya juga bukan orang yang tidak mengerti pentingnya seorang pemimpin melakukan dialog dengan rakyat secara langsung dan berbicara dari hati ke hati untuk melihat dan merasakan penderitaan rakyat. Menurutnya, para politisi tersebut tentu sudah paham bahwa untuk menyelesaikan masalah tidak cukup dengan bekerja di belakang meja dan mengandalkan visi misi dan konsep di atas kertas.

"Semestinya, mereka juga sudah memahami, bahwa di dalam struktur sosial masyarakat Indonesia membutuhkan patron, yaitu pemimpin yang melindungi dan mengayomi," katanya.

Oleh sebab itu, Alumni Universitas Budi Luhur dan mantan aktivis 98 ini juga menilai, seyogyanya cara yang ditempuh Risma bisa dilakukan pemimpin lain, meski dalam spektrum dan cara yang berbeda.

Karena persoalan sesungguhnya bukan karena kepemimpinan yang dekat dengan rakyat untuk mengetahui dan memahami persoalan di akar rumput (grassroots), melainkan karena adanya hasrat dan libido kekuasaan dalam kontestasi politik elektoral juga harus menjadi spektrum lain.

(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1261 seconds (0.1#10.140)