Atasi Terorisme, KMS: TNI Fait Accompli kepada Otoritas Sipil
loading...
A
A
A
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada 'Fait Accompli' kepada otoritas sipil jika TNI ikut atasi aksi terorisme. Hussein Ahmad dari Imparsial menilai langkah tersebut adalah bentuk fait accompli TNI terhadap otoritas sipil.
Dalam siaran persnya, Hussein menilai sebagai alat pertahanan negara, TNI merupakan pelaksana kebijakan negara dan bukan membuat kebijakan negara. ( )
"Sehingga TNI tidak seharusnya menunjukkan sikap politik kepada publik bahkan diduga melakukan lobi-lobi kepada DPR untuk mengesahkan rancangan Perpres tersebut. Langkah-langkah TNI itu terkesan memaksakan otoritas sipil untuk segera mengesahkan rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme," tuturnya dalam keterangan tertulisnya, Jumat 5 September 2020.
Padahal, lanjut Hussein, rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang telah diserahkan Pemerintah kepada DPR masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang berpotensi mengancam hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi.
"Rancangan Perpres tersebut banyak memuat substansi pasal yang bertentangan dengan undang-undang, yakni UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM," katanya.
Terlebih, kata dia, Komnas HAM menilai rancangan Perpres tersebut memberikan kewenangan yang terlalu luas dan berlebihan kepada TNI sehingga berpotensi terjadi pelanggaran HAM.
"Di tengah urungnya pemerintah merevisi UU Peradilan Militer, tugas TNI yang terlalu luas dan berlebihan berpotensi menimbulkan problem impunitas dan akuntabilitas, mengingat TNI memiliki sistem peradilan sendiri dan tidak tunduk pada sistem peradilan umum," tuturnya.
Dalam negara demokrasi yang menghormati prinsip supremasi sipil, lanjutnya, pembentukan perpres dan undang-undang sepenuhnya berada di tangan otoritas sipil.
"Karena itu, sepatutnya TNI tunduk pada kebijakan otoritas sipil dan melaksanakan kebijakan tersebut. TNI tidak seharusnya melakukan langkah-langkah politik yang berupaya mendorong proses pengesahan perpres. Jika TNI memiliki padangan terkait perpres, seharusnya padangan tersebut disampaikan ke dalam pemerintahan dalam hal ini Kementerian Pertahanan dan bukan disampaikan kepada publik, apalagi diduga sampai melobi ke DPR," jelasnya.
Fait accompli TNI terhadap pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, kata dia, merupakan bentuk lain dari upaya memengaruhi dan memaksa otoritas sipil utuk mengesahkan rancangan perpres tersebut.
Dalam siaran persnya, Hussein menilai sebagai alat pertahanan negara, TNI merupakan pelaksana kebijakan negara dan bukan membuat kebijakan negara. ( )
"Sehingga TNI tidak seharusnya menunjukkan sikap politik kepada publik bahkan diduga melakukan lobi-lobi kepada DPR untuk mengesahkan rancangan Perpres tersebut. Langkah-langkah TNI itu terkesan memaksakan otoritas sipil untuk segera mengesahkan rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme," tuturnya dalam keterangan tertulisnya, Jumat 5 September 2020.
Padahal, lanjut Hussein, rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme yang telah diserahkan Pemerintah kepada DPR masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang berpotensi mengancam hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi.
"Rancangan Perpres tersebut banyak memuat substansi pasal yang bertentangan dengan undang-undang, yakni UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM," katanya.
Terlebih, kata dia, Komnas HAM menilai rancangan Perpres tersebut memberikan kewenangan yang terlalu luas dan berlebihan kepada TNI sehingga berpotensi terjadi pelanggaran HAM.
"Di tengah urungnya pemerintah merevisi UU Peradilan Militer, tugas TNI yang terlalu luas dan berlebihan berpotensi menimbulkan problem impunitas dan akuntabilitas, mengingat TNI memiliki sistem peradilan sendiri dan tidak tunduk pada sistem peradilan umum," tuturnya.
Dalam negara demokrasi yang menghormati prinsip supremasi sipil, lanjutnya, pembentukan perpres dan undang-undang sepenuhnya berada di tangan otoritas sipil.
"Karena itu, sepatutnya TNI tunduk pada kebijakan otoritas sipil dan melaksanakan kebijakan tersebut. TNI tidak seharusnya melakukan langkah-langkah politik yang berupaya mendorong proses pengesahan perpres. Jika TNI memiliki padangan terkait perpres, seharusnya padangan tersebut disampaikan ke dalam pemerintahan dalam hal ini Kementerian Pertahanan dan bukan disampaikan kepada publik, apalagi diduga sampai melobi ke DPR," jelasnya.
Fait accompli TNI terhadap pembahasan Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme, kata dia, merupakan bentuk lain dari upaya memengaruhi dan memaksa otoritas sipil utuk mengesahkan rancangan perpres tersebut.