Rentan Tularkan Wabah Corona, Mayoritas Kepala Desa Tolak Mudik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mayoritas kepala desa di Indonesia menolak warganya di perantauan untuk mudik pada Lebaran tahun ini. Para kepala desa beralasan jika pemudik dari kota-kota besar rentan menularkan wabah corona (Covid-19) kepada saudara mereka di perdesaan.
Pandangan para kepala desa tersebut tercermin dari jajak pendapat yang dilakukan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT). Dari 3.931 kepala desa yang menjadi objek survei, sebanyak 89,75% menyatakan tidak setuju warga di perantauan mudik dan 10,25% menyatakan setuju jika warga di perantauan mudik Lebaran. Sebanyak 3.931 kepala desa yang mengikuti jajak pendapat tersebar di 31 provinsi di seluruh Indonesia.
“Jadi 89,75% kepala desa tidak setuju warganya mudik pada tahun ini. Aspirasi kepala desa ini tentu saja perlu didengar, terutama oleh warga desa yang saat ini sedang ada di rantau bahwa yang dibutuhkan desa sebagaimana diwakili kepala desa adalah tidak mudik ke desa pada Lebaran 2020,” ujar Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Ivanovich pada konferensi pers melalui aplikasi daring di Jakarta kemarin.
Dia menjelaskan, alasan kesehatan sama-sama menjadi dasar utama para kepala desa yang menolak ataupun yang setuju mudik. Para kepala desa yang menolak mudik menilai para perantau punya potensi besar dalam menularkan Covid-19 dari zona merah kepada warga desa. Sementara para kepala desa yang setuju mudik beralasan warga mereka di perantauan lebih baik mudik daripada tertular wabah di kota besar.
“Jadi ini merupakan temuan menarik. Baik kepala desa yang menolak mudik maupun yang setuju mudik sama-sama menggunakan alasan kesehatan sebagai dasar utama sikap mereka,” katanya.
Selain alasan kesehatan, lanjut Ivan, penolakan para kepala desa terhadap mudik juga didasari alasan ekonomi dan sosial. Alasan ekonomi bagi yang tidak setuju mudik 21% dan setuju mudik 43,18%. Alasan sosial bagi yang tidak setuju mudik 25,57% dan setuju mudik 45,41%. “Dan alasan keamanan bagi yang tidak setuju mudik 17,40% dan setuju mudik 22,58%,” katanya.
Selain itu, polling juga mendalami tentang apakah para kepala desa setuju dengan imbauan tidak mudik atau diperlukan larangan mudik. Ternyata muncul pendapat yang berimbang antara pilihan kebijakan berupa imbauan agar tidak mudik (49,86%) atau larangan mudik (50,14%).
Kondisi ini menggambarkan bahwa masih ada keraguan kepala desa untuk menentukan kebijakan apakah dengan mengeluarkan imbauan tidak mudik atau larangan mudik. “Untuk mengatasi keraguan kepala desa ini, maka diperlukan keputusan tegas dari pimpinan yang lebih tinggi,” tukas Ivan.
Pemerintah pusat, kata Ivan, harus mengeluarkan kebijakan yang mengandung larangan dan imbauan. Misalnya mudik memang dilarang dan kehidupan migran di kota nanti harus didukung oleh pemerintah kota. Kedua, yang terpaksa mudik harus memiliki alasan kuat karena dari sisi kesehatan membahayakan desa, dan di desa harus melapor kepada Relawan Desa Lawan Covid-19. Relawan ini dibentuk sebagai konsekuensi Surat Edaran Menteri Desa PDTT No 11/2020 yang terbit 24 Maret 2020. “Pada saat ini ada lebih dari 550.000 relawan di 4.500-an desa di seluruh Indonesia,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Herry Jogaswara mengatakan, sebagian besar masyarakat di perantauan tahun ini memilih tidak akan mudik. Meskipun mereka yang memilih untuk mudik juga tergolong cukup tinggi. “Sebesar 56,22% responden menjawab tidak akan mudik, termasuk di dalamnya 20,98% masih dalam tahap berencana untuk membatalkan mudik. Sementara yang menyatakan mudik mencapai 43,78%,” ujarnya.
Kesimpulan itu, kata Herry, merupakan gambaran dari Survei Persepsi Masyarakat terhadap Mobilitas dan Transportasi. Survei dilakukan oleh sejumlah lembaga, yakni Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), LIPI, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Politeknik Statistika Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, serta Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia. “Memang mudik tahun ini merupakan situasi yang dilematis, di satu sisi hal itu merupakan tradisi, di sisi lain ada pandemi Covid-19 yang mengancam sisi kesehatan, sosial, dan ekonomi masyarakat,” katanya.
Herry menjelaskan, pilihan mudik dengan risiko akan memperluas pandemi Covid-19 ke wilayah kampung halaman bukan suatu hal yang tidak disadari oleh calon pemudik. Namun, sebagian pemudik tetap nekat pulang kampung karena terdesak faktor ekonomi, di mana mata pencaharian mereka hilang karena wabah corona. “Saat ini sebagian penduduk telah memilih kembali ke kampung dibandingkan menetap di kota karena kehilangan mata pencaharian dan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari selama masa pandemi ini,” ujarnya.
Peneliti Pusat Kependudukan LIPI Rusli Cahyadi menambahkan, pergerakan warga yang mudik terbesar dari daerah Jawa Barat sebanyak 22,94%, dari DKI Jakarta 18,14%, dari Jawa Timur 10,55%, dari Jawa Tengah 10,02%, dan dari Banten 4,08%. “Sementara dari tujuan pemudik dari Jakarta terbesar menuju Jawa Tengah 24,18%, Jawa Timur 16,01%, Jawa Barat 14,71%, DIY 7,52%, dan Sumatera 4,58%,” ujarnya.
Survei tersebut melibatkan masyarakat umum dengan total responden sebanyak 3.853 orang dengan rentang usia 15–60 tahun ke atas dan persentasi jenis kelaim perempuan dan laki-laki yang berimbang. (Neneng Zubaidah)
Pandangan para kepala desa tersebut tercermin dari jajak pendapat yang dilakukan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT). Dari 3.931 kepala desa yang menjadi objek survei, sebanyak 89,75% menyatakan tidak setuju warga di perantauan mudik dan 10,25% menyatakan setuju jika warga di perantauan mudik Lebaran. Sebanyak 3.931 kepala desa yang mengikuti jajak pendapat tersebar di 31 provinsi di seluruh Indonesia.
“Jadi 89,75% kepala desa tidak setuju warganya mudik pada tahun ini. Aspirasi kepala desa ini tentu saja perlu didengar, terutama oleh warga desa yang saat ini sedang ada di rantau bahwa yang dibutuhkan desa sebagaimana diwakili kepala desa adalah tidak mudik ke desa pada Lebaran 2020,” ujar Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Ivanovich pada konferensi pers melalui aplikasi daring di Jakarta kemarin.
Dia menjelaskan, alasan kesehatan sama-sama menjadi dasar utama para kepala desa yang menolak ataupun yang setuju mudik. Para kepala desa yang menolak mudik menilai para perantau punya potensi besar dalam menularkan Covid-19 dari zona merah kepada warga desa. Sementara para kepala desa yang setuju mudik beralasan warga mereka di perantauan lebih baik mudik daripada tertular wabah di kota besar.
“Jadi ini merupakan temuan menarik. Baik kepala desa yang menolak mudik maupun yang setuju mudik sama-sama menggunakan alasan kesehatan sebagai dasar utama sikap mereka,” katanya.
Selain alasan kesehatan, lanjut Ivan, penolakan para kepala desa terhadap mudik juga didasari alasan ekonomi dan sosial. Alasan ekonomi bagi yang tidak setuju mudik 21% dan setuju mudik 43,18%. Alasan sosial bagi yang tidak setuju mudik 25,57% dan setuju mudik 45,41%. “Dan alasan keamanan bagi yang tidak setuju mudik 17,40% dan setuju mudik 22,58%,” katanya.
Selain itu, polling juga mendalami tentang apakah para kepala desa setuju dengan imbauan tidak mudik atau diperlukan larangan mudik. Ternyata muncul pendapat yang berimbang antara pilihan kebijakan berupa imbauan agar tidak mudik (49,86%) atau larangan mudik (50,14%).
Kondisi ini menggambarkan bahwa masih ada keraguan kepala desa untuk menentukan kebijakan apakah dengan mengeluarkan imbauan tidak mudik atau larangan mudik. “Untuk mengatasi keraguan kepala desa ini, maka diperlukan keputusan tegas dari pimpinan yang lebih tinggi,” tukas Ivan.
Pemerintah pusat, kata Ivan, harus mengeluarkan kebijakan yang mengandung larangan dan imbauan. Misalnya mudik memang dilarang dan kehidupan migran di kota nanti harus didukung oleh pemerintah kota. Kedua, yang terpaksa mudik harus memiliki alasan kuat karena dari sisi kesehatan membahayakan desa, dan di desa harus melapor kepada Relawan Desa Lawan Covid-19. Relawan ini dibentuk sebagai konsekuensi Surat Edaran Menteri Desa PDTT No 11/2020 yang terbit 24 Maret 2020. “Pada saat ini ada lebih dari 550.000 relawan di 4.500-an desa di seluruh Indonesia,” jelasnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Herry Jogaswara mengatakan, sebagian besar masyarakat di perantauan tahun ini memilih tidak akan mudik. Meskipun mereka yang memilih untuk mudik juga tergolong cukup tinggi. “Sebesar 56,22% responden menjawab tidak akan mudik, termasuk di dalamnya 20,98% masih dalam tahap berencana untuk membatalkan mudik. Sementara yang menyatakan mudik mencapai 43,78%,” ujarnya.
Kesimpulan itu, kata Herry, merupakan gambaran dari Survei Persepsi Masyarakat terhadap Mobilitas dan Transportasi. Survei dilakukan oleh sejumlah lembaga, yakni Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), LIPI, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Politeknik Statistika Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, serta Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia. “Memang mudik tahun ini merupakan situasi yang dilematis, di satu sisi hal itu merupakan tradisi, di sisi lain ada pandemi Covid-19 yang mengancam sisi kesehatan, sosial, dan ekonomi masyarakat,” katanya.
Herry menjelaskan, pilihan mudik dengan risiko akan memperluas pandemi Covid-19 ke wilayah kampung halaman bukan suatu hal yang tidak disadari oleh calon pemudik. Namun, sebagian pemudik tetap nekat pulang kampung karena terdesak faktor ekonomi, di mana mata pencaharian mereka hilang karena wabah corona. “Saat ini sebagian penduduk telah memilih kembali ke kampung dibandingkan menetap di kota karena kehilangan mata pencaharian dan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari selama masa pandemi ini,” ujarnya.
Peneliti Pusat Kependudukan LIPI Rusli Cahyadi menambahkan, pergerakan warga yang mudik terbesar dari daerah Jawa Barat sebanyak 22,94%, dari DKI Jakarta 18,14%, dari Jawa Timur 10,55%, dari Jawa Tengah 10,02%, dan dari Banten 4,08%. “Sementara dari tujuan pemudik dari Jakarta terbesar menuju Jawa Tengah 24,18%, Jawa Timur 16,01%, Jawa Barat 14,71%, DIY 7,52%, dan Sumatera 4,58%,” ujarnya.
Survei tersebut melibatkan masyarakat umum dengan total responden sebanyak 3.853 orang dengan rentang usia 15–60 tahun ke atas dan persentasi jenis kelaim perempuan dan laki-laki yang berimbang. (Neneng Zubaidah)
(yuds)