RUU Omnibus Law, Pemerintah Siap Tindak Tegas Perusak Lingkungan
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menegaskan, revisi Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dalam RUU Cipta Kerja (RUU Omnibus Law), tetap menindak tegas perusak lingkungan.
Hal yang menjadi catatan di ruang publik di antaranya, berkenaan dengan subjek pertanggungjawaban mutlak.
(Baca juga: Diserahkan ke DPR, RUU Omnibus Law Cipta Kerja Akan Dibahas Tujuh Komisi)
Dipastikan, tidak akan mengaburkan pengertian pertanggungjawaban mutlak bagi perusak lingkungan dari frasa dalam Pasal berkenaan dengan pertanggungjawaban mutlak tersebut.
Pernyataan ini dikatakan Sekjen Kementerian LHK, Bambang Hendroyono. Menurutnya, justru penegakan hukum lingkungan akan semakin diperkuat.
"Pada RUU Omnibus Law, penegakan hukum lingkungan tetap dilakukan dan pelaku kejahatan lingkungan tetap dihukum," kata Bambang Hendroyono, Jumat (14/2/2020).
"Penegakan hukum pidana tetap dapat menjerat para pembakar hutan, pencemar dan perusak lingkungan, karena pasal pidana tetap dipertahankan," tambahnya.
Pada RUU ini menurut Bambang, setiap orang atau badan usaha yang terbukti telah mengakibatkan kerusakan lingkungan atau pencemaran lingkungan dapat dijerat sanksi pidana.
Dalam hal ini prinsip ultimum remedium yang diterapkan. Untuk pelanggaran-pelanggaran teknis yang membutuhkan langkah koreksi (corrective action) maka tetap dilakukan penegakan hukum dengan sanksi administratif paksaan pemerintah.
Berturut-turut pembekuan dan pencabutan izin serta selanjutnya denda. Sementara untuk perbuatan melawan hukum yang terkait dengan kegiatan menghasilkan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), menggunakan B3 atau kegiatan yang berdampak besar dan beresiko tinggi, tetap diterapkan pertanggungjawaban mutlak.
Adapun kalimat dalam RUU yang berbunyi "...tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan" tidak akan menghilangkan makna pertanggung jawaban mutlak, dimana unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan.
"Sehingga, perbuatan melawan hukum terkait dengan limbah B3, B3 atau yang beresiko tinggi yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan tetap dapat dimintai pertanggung jawabannya untuk membayar ganti kerugian lingkungan tanpa perlu membuktikan unsur kesalahan," tegas Bambang.
RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah diserahkan pemerintah kepada Ketua DPR, Rabu (12/2/2020) lalu, terdiri dari 79 UU dengan 15 bab dan 174 Pasal. Keseluruhan draf ini akan dibahas pemerintah dengan DPR melalui tujuh komisi yang terlibat melalui mekanisme DPR.
Sesuai prosedur, setelah RUU diserahkan, maka selanjutnya akan dibawa ke rapat paripurna untuk kemudian dibahas di Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Dalam prosesnya, Bamus akan membuka ruang kepada seluruh elemen publik untuk memberikan masukan terhadap draf tersebut.
"Pada proses pembahasan di DPR nantinya, semua elemen masyarakat dapat mengetahui dan melihat manfaatnya," tutup Bambang.
Hal yang menjadi catatan di ruang publik di antaranya, berkenaan dengan subjek pertanggungjawaban mutlak.
(Baca juga: Diserahkan ke DPR, RUU Omnibus Law Cipta Kerja Akan Dibahas Tujuh Komisi)
Dipastikan, tidak akan mengaburkan pengertian pertanggungjawaban mutlak bagi perusak lingkungan dari frasa dalam Pasal berkenaan dengan pertanggungjawaban mutlak tersebut.
Pernyataan ini dikatakan Sekjen Kementerian LHK, Bambang Hendroyono. Menurutnya, justru penegakan hukum lingkungan akan semakin diperkuat.
"Pada RUU Omnibus Law, penegakan hukum lingkungan tetap dilakukan dan pelaku kejahatan lingkungan tetap dihukum," kata Bambang Hendroyono, Jumat (14/2/2020).
"Penegakan hukum pidana tetap dapat menjerat para pembakar hutan, pencemar dan perusak lingkungan, karena pasal pidana tetap dipertahankan," tambahnya.
Pada RUU ini menurut Bambang, setiap orang atau badan usaha yang terbukti telah mengakibatkan kerusakan lingkungan atau pencemaran lingkungan dapat dijerat sanksi pidana.
Dalam hal ini prinsip ultimum remedium yang diterapkan. Untuk pelanggaran-pelanggaran teknis yang membutuhkan langkah koreksi (corrective action) maka tetap dilakukan penegakan hukum dengan sanksi administratif paksaan pemerintah.
Berturut-turut pembekuan dan pencabutan izin serta selanjutnya denda. Sementara untuk perbuatan melawan hukum yang terkait dengan kegiatan menghasilkan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), menggunakan B3 atau kegiatan yang berdampak besar dan beresiko tinggi, tetap diterapkan pertanggungjawaban mutlak.
Adapun kalimat dalam RUU yang berbunyi "...tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan" tidak akan menghilangkan makna pertanggung jawaban mutlak, dimana unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan.
"Sehingga, perbuatan melawan hukum terkait dengan limbah B3, B3 atau yang beresiko tinggi yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan tetap dapat dimintai pertanggung jawabannya untuk membayar ganti kerugian lingkungan tanpa perlu membuktikan unsur kesalahan," tegas Bambang.
RUU Omnibus Law Cipta Kerja telah diserahkan pemerintah kepada Ketua DPR, Rabu (12/2/2020) lalu, terdiri dari 79 UU dengan 15 bab dan 174 Pasal. Keseluruhan draf ini akan dibahas pemerintah dengan DPR melalui tujuh komisi yang terlibat melalui mekanisme DPR.
Sesuai prosedur, setelah RUU diserahkan, maka selanjutnya akan dibawa ke rapat paripurna untuk kemudian dibahas di Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Dalam prosesnya, Bamus akan membuka ruang kepada seluruh elemen publik untuk memberikan masukan terhadap draf tersebut.
"Pada proses pembahasan di DPR nantinya, semua elemen masyarakat dapat mengetahui dan melihat manfaatnya," tutup Bambang.
(maf)