Suap PLTU Riau I, Sofyan Basir Dituntut 5 Tahun Penjara
A
A
A
JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Sofyan Basir selaku Direktur Utama (Dirut) PT PLN (Persero) dengan pidana penjara selama 5 tahun.
Surat tuntutan Nomor: 114/TUT.01.06/24/10/2019 atas nama Sofyan Basir dibacakan secara bergantian oleh JPU pada KPK yang dipimpin Ronald Ferdinand Worotikan dan Lie Putra Setiawan dengan anggota Nanang Suryadi, Nurul Widiasih, dan Budhi Sarumpaet di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (7/10/2019).
JPU Ronald Ferdinand Worotikan menyatakan, berdasarkan fakta-fakta persidangan baik dari keterangan saksi-saksi, alat bukti berupa dokumen dan surat, alat bukti petunjuk, maupun keterangan ahli dan terdakwa telah dapat disimpulkan, Sofyan Basir selaku Direktur Utama PT PLN (Persero) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi (tipikor).
Sofyan telah dengan sengaja membantu berupa memberi kesempatan, sarana, dan keterangan saat berlangsungnya tindak pidana suap yang dilakukan oleh tiga orang.
Mereka yakni terpidana penerima suap Rp4,75 miliar Eni Maulani Saragih (divonis 6 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 3 tahun) selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar sekaligus mantan plt Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Menteri Sosial era Kabinet Kerja kurun 17 Januari-24 Agustus 2018 Idrus Marham (divonis 3 tahun, saat ini sedang tahap banding).
Pemberi suap Rp4,75 miliar pemilik dan pemegang saham BlackGold Natural Resources (BNR) Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (divonis 4 tahun 6 bulan penjara). Perbuatan Sofyan membantu Eni, Idrus, dan Kotjo dalam upaya mempercepat atau setidak-tidaknya tercapai kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1) yang tenar dengan nama proyek IPP PLTU Riau-1 milik PT PLN (Persero).
JPU Ronald menggariskan, dengan peran terdakwa Sofyan akhirnya dapat terjadinya tindak pidana suap a quo sangat penting. Pasalnya tanpa bantuan dari Sofyan maka keinginan Kotjo untuk mempercepat proses kesepakatan proyek IPP PLTU Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dengan BlackGold Natural Resources (BNR) Limited dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC, Ltd) tidak akan terlaksana. Apalagi dengan bantuan Sofyan kemudian Eni dan Idrus menerima suap Rp4,75 miliar.
"Menuntut, supaya Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara a quo menjatuhkan putusan dengan amar, menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Sofyan Basir dengan pidana penjara selama 5 tahun dan pidana denda sejumlah Rp200 juta subsidair pidana kurungan pengganti selama 3 bulan," tegas JPU Ronald saat membacakan amar tuntutan atas nama Sofyan.
Dia melanjutkan, Sofyan terbukti melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 56 ke-(2) KUHPidana, sebagaimana dalam dakwaan pertama. JPU tutur Ronald, juga meminta agar pidana yang dijatuhkan terhadap Sofyan dikurangkan dengan masa penahanan yang telah dijalani Sofyan dan memerintahkan Sofyan tetap berada di dalam tahanan.
JPU Ronald memaparkan, dalam menjatuhkan tuntutan maka pihaknya mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Yang memberatkan bagi Sofyan yakni perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Pertimbangan bagi Sofyan ada tiga. Masing-masing Sofyan bersikap sopan selama pemeriksaan di persidangan, belum pernah dihukum, dan tidak ikut menikmati hasil tindak pidana suap yang telah dibantunya.
Anggota JPU Nanang Suryandi menggariskan, dalam perbuatan pidana pembantuan terjadi tindak pidana maka seorang terdakwa termasuk dalam hal ini Sofyan Basir tidak harus memperoleh manfaat yang didapatkan dari yang dibantu. Karenanya manfaat atau benefit yang didapat Sofyan bukanlah menjadi syarat mutlak pembantuan yang dilakukan Sofyan.
JPU Nanang membeberkan, ada tiga bagian umum pembantuan tindak pidana yang dilakukan Sofyan. Pertama, Sofyan telah mempertemukan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo dengan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero) saat itu Supangkat Iwan Santoso dan melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas pembangunan proyek PLTU Riau-1.
Dalam proses ini juga, Sofyan bersama Kotjo dan Eni bertemu dengan Setya Novanto selaku ketua DPR sekaligus ketua umum DPP Partai Golkar di rumah Setya Novanto guna membahas tentang proyek IPP PLTU Riau-1.
Kedua, Sofyan mengarahkan Nicke Widyawati yang saat itu menjabat selaku Direktur Perencanaan PT PLN (Persero) untuk tetap memasukkan Proyek IPP PLTU Riau-1 ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) tahun 2017-2026. Ketiga, Sofyan menandatangani power purchase agreement (PPA) Proyek IPP PLTU Riau-1 sebelum seluruh prosedurnya dilalui dan dilakukan tanpa membahas sebelumnya dengan Direksi PT PLN (Persero) lainnya.
"Terdakwa selaku Direktur Utama PT PLN (Pesero) telah menandatangani PPA IPP PLTU Mulut Tambang 2 x 300 MW di Peranap tertanggal 6 Oktober 2017 pada tanggal 29 September 2017
sebelum dipenuhinya empat syarat," tegas JPU Nanang.
Anggota JPU Nurul Widiasih memaparkan, dengan investasi USD900 juta dari investor CHEC, Ltd yang dibawa Kotjo memang akan ada keuntungan negara khususnya PT PLN (Persero) melalui skema pembangunan IPP PLTU MT Riau-1 dengan kepemilikan saham anak perusahaan PT PLN (Persero) minimal 51 persen.
Tapi paling tidak menurut JPU, ada sedikitnya dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, Skema ini memang wajib diterapkan PT PLN (Persero) karena telah diatur pada Perpres Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Kedua, PT PLN (Persero) tidak mendapatkan proyek tersebut secara cuma-cuma.
"Karena nyata akan timbul utang yang menjadi beban PT PLN (Persero) atas pinjaman uangnya terkait pembangunan IPP PLTU RIAU-1, baik itu senior debt maupun junior debt," tegasnya.
Atas tuntutan JPU, Sofyan Basir bersama tim penasihat hukumnya memastikan akan mengajukan nota pembelaan (pleidoi).
Selepas persidangan, Sofyan Basir mengaku kaget dengan tuntunan JPU terhadap Sofyan. Menurut dia, ada yang janggal dengan kasus yang disangkakan KPK kemudian dituntut di dalam persidangan. Utamanya tutur dia, tim KPK melakukan penggeledahan di ruang kerjanya sesaat setelah terjadi operasi tangkap tangan (OTT).
"Kaget memang kaget, tetapi dari awal kasus ini kami sudah berasa bahwa ada sesuatu yang sudah dibangun. Pada saat kami digeledah awal, itu seluruh adik-adik wartawan itu sudah datang, sedangkan tersangkanya belum digeledah, saksi sudah didatangi, saya, sebelum terima surat saksi," ujar Sofyan selepas persidangan di lobi Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dia menilai, akan pertemuannya dengan Johannes Budisutrisno Kotjo guna menggandeng investor terkait proyek IPP PLTU Riau-1 yang dikategorikan JPU sebagai perbantuan tindak pidana akan berimbas bagi direksi BUMN yang lain. Sofyan menuding, kalau pertemuan bisa diputarbalikkan menjadi perbantuan juga akan berbahaya bagi direksi BUMN yang lain.
"Bisa dibayangkan begitu ada direksi melakukan pertemuan dengan para investor dan lain sebagainya, begitu ada kejadian di luar sana seperti penyuapan, karena kita sering bertemu, dalam rangka marketing, dalam rangka berupaya supaya proyek ini jalan, kita bisa terkena tanpa tahu dari mana asal usulnya," klaimnya.
Surat tuntutan Nomor: 114/TUT.01.06/24/10/2019 atas nama Sofyan Basir dibacakan secara bergantian oleh JPU pada KPK yang dipimpin Ronald Ferdinand Worotikan dan Lie Putra Setiawan dengan anggota Nanang Suryadi, Nurul Widiasih, dan Budhi Sarumpaet di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (7/10/2019).
JPU Ronald Ferdinand Worotikan menyatakan, berdasarkan fakta-fakta persidangan baik dari keterangan saksi-saksi, alat bukti berupa dokumen dan surat, alat bukti petunjuk, maupun keterangan ahli dan terdakwa telah dapat disimpulkan, Sofyan Basir selaku Direktur Utama PT PLN (Persero) telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi (tipikor).
Sofyan telah dengan sengaja membantu berupa memberi kesempatan, sarana, dan keterangan saat berlangsungnya tindak pidana suap yang dilakukan oleh tiga orang.
Mereka yakni terpidana penerima suap Rp4,75 miliar Eni Maulani Saragih (divonis 6 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 3 tahun) selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Golkar, mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar sekaligus mantan plt Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Menteri Sosial era Kabinet Kerja kurun 17 Januari-24 Agustus 2018 Idrus Marham (divonis 3 tahun, saat ini sedang tahap banding).
Pemberi suap Rp4,75 miliar pemilik dan pemegang saham BlackGold Natural Resources (BNR) Limited Johannes Budisutrisno Kotjo (divonis 4 tahun 6 bulan penjara). Perbuatan Sofyan membantu Eni, Idrus, dan Kotjo dalam upaya mempercepat atau setidak-tidaknya tercapai kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1) yang tenar dengan nama proyek IPP PLTU Riau-1 milik PT PLN (Persero).
JPU Ronald menggariskan, dengan peran terdakwa Sofyan akhirnya dapat terjadinya tindak pidana suap a quo sangat penting. Pasalnya tanpa bantuan dari Sofyan maka keinginan Kotjo untuk mempercepat proses kesepakatan proyek IPP PLTU Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dengan BlackGold Natural Resources (BNR) Limited dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC, Ltd) tidak akan terlaksana. Apalagi dengan bantuan Sofyan kemudian Eni dan Idrus menerima suap Rp4,75 miliar.
"Menuntut, supaya Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara a quo menjatuhkan putusan dengan amar, menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Sofyan Basir dengan pidana penjara selama 5 tahun dan pidana denda sejumlah Rp200 juta subsidair pidana kurungan pengganti selama 3 bulan," tegas JPU Ronald saat membacakan amar tuntutan atas nama Sofyan.
Dia melanjutkan, Sofyan terbukti melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 56 ke-(2) KUHPidana, sebagaimana dalam dakwaan pertama. JPU tutur Ronald, juga meminta agar pidana yang dijatuhkan terhadap Sofyan dikurangkan dengan masa penahanan yang telah dijalani Sofyan dan memerintahkan Sofyan tetap berada di dalam tahanan.
JPU Ronald memaparkan, dalam menjatuhkan tuntutan maka pihaknya mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan. Yang memberatkan bagi Sofyan yakni perbuatannya tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Pertimbangan bagi Sofyan ada tiga. Masing-masing Sofyan bersikap sopan selama pemeriksaan di persidangan, belum pernah dihukum, dan tidak ikut menikmati hasil tindak pidana suap yang telah dibantunya.
Anggota JPU Nanang Suryandi menggariskan, dalam perbuatan pidana pembantuan terjadi tindak pidana maka seorang terdakwa termasuk dalam hal ini Sofyan Basir tidak harus memperoleh manfaat yang didapatkan dari yang dibantu. Karenanya manfaat atau benefit yang didapat Sofyan bukanlah menjadi syarat mutlak pembantuan yang dilakukan Sofyan.
JPU Nanang membeberkan, ada tiga bagian umum pembantuan tindak pidana yang dilakukan Sofyan. Pertama, Sofyan telah mempertemukan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo dengan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero) saat itu Supangkat Iwan Santoso dan melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas pembangunan proyek PLTU Riau-1.
Dalam proses ini juga, Sofyan bersama Kotjo dan Eni bertemu dengan Setya Novanto selaku ketua DPR sekaligus ketua umum DPP Partai Golkar di rumah Setya Novanto guna membahas tentang proyek IPP PLTU Riau-1.
Kedua, Sofyan mengarahkan Nicke Widyawati yang saat itu menjabat selaku Direktur Perencanaan PT PLN (Persero) untuk tetap memasukkan Proyek IPP PLTU Riau-1 ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) tahun 2017-2026. Ketiga, Sofyan menandatangani power purchase agreement (PPA) Proyek IPP PLTU Riau-1 sebelum seluruh prosedurnya dilalui dan dilakukan tanpa membahas sebelumnya dengan Direksi PT PLN (Persero) lainnya.
"Terdakwa selaku Direktur Utama PT PLN (Pesero) telah menandatangani PPA IPP PLTU Mulut Tambang 2 x 300 MW di Peranap tertanggal 6 Oktober 2017 pada tanggal 29 September 2017
sebelum dipenuhinya empat syarat," tegas JPU Nanang.
Anggota JPU Nurul Widiasih memaparkan, dengan investasi USD900 juta dari investor CHEC, Ltd yang dibawa Kotjo memang akan ada keuntungan negara khususnya PT PLN (Persero) melalui skema pembangunan IPP PLTU MT Riau-1 dengan kepemilikan saham anak perusahaan PT PLN (Persero) minimal 51 persen.
Tapi paling tidak menurut JPU, ada sedikitnya dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, Skema ini memang wajib diterapkan PT PLN (Persero) karena telah diatur pada Perpres Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Kedua, PT PLN (Persero) tidak mendapatkan proyek tersebut secara cuma-cuma.
"Karena nyata akan timbul utang yang menjadi beban PT PLN (Persero) atas pinjaman uangnya terkait pembangunan IPP PLTU RIAU-1, baik itu senior debt maupun junior debt," tegasnya.
Atas tuntutan JPU, Sofyan Basir bersama tim penasihat hukumnya memastikan akan mengajukan nota pembelaan (pleidoi).
Selepas persidangan, Sofyan Basir mengaku kaget dengan tuntunan JPU terhadap Sofyan. Menurut dia, ada yang janggal dengan kasus yang disangkakan KPK kemudian dituntut di dalam persidangan. Utamanya tutur dia, tim KPK melakukan penggeledahan di ruang kerjanya sesaat setelah terjadi operasi tangkap tangan (OTT).
"Kaget memang kaget, tetapi dari awal kasus ini kami sudah berasa bahwa ada sesuatu yang sudah dibangun. Pada saat kami digeledah awal, itu seluruh adik-adik wartawan itu sudah datang, sedangkan tersangkanya belum digeledah, saksi sudah didatangi, saya, sebelum terima surat saksi," ujar Sofyan selepas persidangan di lobi Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dia menilai, akan pertemuannya dengan Johannes Budisutrisno Kotjo guna menggandeng investor terkait proyek IPP PLTU Riau-1 yang dikategorikan JPU sebagai perbantuan tindak pidana akan berimbas bagi direksi BUMN yang lain. Sofyan menuding, kalau pertemuan bisa diputarbalikkan menjadi perbantuan juga akan berbahaya bagi direksi BUMN yang lain.
"Bisa dibayangkan begitu ada direksi melakukan pertemuan dengan para investor dan lain sebagainya, begitu ada kejadian di luar sana seperti penyuapan, karena kita sering bertemu, dalam rangka marketing, dalam rangka berupaya supaya proyek ini jalan, kita bisa terkena tanpa tahu dari mana asal usulnya," klaimnya.
(maf)