Technology Transfer Office, Mengapresiasi Riset Peneliti

Minggu, 25 Agustus 2019 - 12:07 WIB
Technology Transfer Office, Mengapresiasi Riset Peneliti
Technology Transfer Office, Mengapresiasi Riset Peneliti
A A A
JAKARTA - Technology Transfer Office (TTO) menjadi angin segar bagi peneliti. Mereka sangat menunggu kehadiran TTO yang dapat mengapresiasi riset mereka. Bukan cuma keuntungan pribadi, namun tujuan riset sendiri yang dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Seorang peneliti Yuliati Herbani mengatakan, kemampuan bergerak dari hulu sampai hilir sampai produknya dikomersialisasikan itu merupakan skill langka yang bisa ditemui pada peneliti atau akademisi. “Jika diminta skor 1-5, saya akan beri nilai 5 untuk TTO. Jadi, peneliti akan lebih fokus ke masalah detail konten penelitian, sedangkan yang mengimplementasikannya ada pihak lain, pihak yang menginkubasi,” ujar peraih L’Oreal For Women in Science 2018 dengan proposal penelitian Pengembangan Nanopartel Kurkumin-Emas (Cur-GNPs) untuk Aplikasi Terapi Kanker.

Yuliati menyadari, keterbatasan komunikasi publik dari peneliti yang selama ini menjadi penghalang.

Peneliti tidak mampu down to earth membahasakan konten penelitiannya. Kini yang dibutuhkan adalah orang-orang yang mampu menjembatani publik dan peneliti. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menurut dia, ada pusat penelitian inovasi yang pengajuan inkubasi umumnya dari peneliti. “Peneliti sendiri yang harus aktif, pihak inkubasi tidak jemput bola. Kalau aktif butuh komunikasi sains untuk publik, ini yang kurang di kita para peneliti,” ungkap Yuliati.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga konon memiliki Badan Riset Nasional. Dia berharap pusat inkubasi teknologi ini dapat terpusat dalam satu payung.

“Semoga saja TTO bukan jadi institusi yang mandul. Dibuat, lalu tak punya peran,” ucapnya. Pemerhati Manajemen IPTEK Ragil Yoga Edi mengatakan, TTO sebagai jembatan dari dunia litbang menuju masyarakat atau industri.

Transfernya beragam, bergantung masyarakat juga provider teknologinya. Inkubasi yang selama ini ada di LIPI memang menguji apakah riset mampu sampai pasar. Ragil mencontohkan yang pernah dialami oleh riset teknologi pupuk berbasis hayati.

Peneliti LIPI tahu pupuk berbasis mikroba dan tidak membuat material baru untuk kesuburan tanaman, mengikat nitrogen lebih banyak. “Peneliti uji coba ke skala kecil, dan skala besar. Ternyata tidak ada kemampuan jika besar. Jadi, gunanya inkubator untuk meyakini hasil riset dapat dilakukan untuk skala besar atau industri,” jelasnya.

Konsep TTO sudah ada lama, tapi tidak berkembang karena SDM yang kurang menguasai. Fasilitas juga dirasa kurang, maka diperlukan inkubator untuk improve kekurangan pada riset.Seiring dengan perkembangan komunikasi dengan industri yang semakin terbuka, proses inkubasi sudah tidak bisa dipisahkan dengan nanti hadirnya TTO, sentra HKI kini sudah tidak perlu lagi memiliki inkubator.

Kini dapat langsung melakukan uji di industri. Ragil yakin, skema inkubasi langsung di industri ini kemungkinan besar berhasil. Mereka bisa juga disebut sebagai mitra industri. Sementara dari sisi pemerintah melihat tugas TTO yang penting dilakukan ialah menyosialisasikan hak kekayaan intelektual (HKI) kepada para peneliti.

Sabartua Tampubolon, Direktur Harmonisasi Regulasi dan Standardisasi, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengatakan, selain TTO ada juga Technology Licensing Office (TLO). Keduanya hampir sama, tapi berpengaruh pada praktik apa yang sedang dikerjakan.

TLO berupa sentra HKI tapi fungsinya sudah mengerjakan lisensi, sedangkan TTO masih berupa pengembangan riset dan baru akan mendapatkan HKI. Di Indonesia mayoritas masih TTO, Sabartua mengungkapkan, fakta yang terjadi di perguruan tinggi riset yang dilakukan belum daftar HKI. Perguruan Tinggi atau lembaga litbang belum menjadikan HKI sebagai fokus mereka.

“Belum semua peneliti tahu, riset mereka akan digunakan untuk apa. Belum dipikirkan untuk memecahkan masalah di masyarakat. Tema riset yang ada memang hanya karena kemauan dari peneliti,” ungkapnya.

Maka, Bekraf mengambil langkah untuk sosialisasi dan pendaftaran HKI, termasuk hak cipta, desain, merek, guna melindungi karya intelektual para peneliti. Memang hasil riset yang dibantu Bekraf berbeda dari yang dikelola Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Bekraf lebih sering mengkaji inovasi individu ketimbang tim. Bekraf pun sering menjemput bola ke komunitas mencari inovasi di luar lembaga pendidikan. HKI sangat penting, tapi masih belum banyak yang sadar.

Sabartua memaparkan, hanya 11% riset di Indonesia yang sudah memperoleh HKI. Banyak TTO yang belum memberikan kesadaran, sosialisasi yang kurang masif. “Kalau di Jepang, riset itu dari awal sudah dianalisis kekayaan intelektualnya akan seperti apa. Hak paten, hak cipta, atau apa. Kalau di Indonesia tidak, melakukan riset dulu, baru menentukan.

Tidak ada analisis terlebih dahulu kebutuhan apa yang mendasari peneliti membuat proyek tersebut,” ungkapnya. Baginya, sebuah riset harus berorientasi pada kekayaan intelektual. Jangan dibiarkan lagi riset sekarang hanya keinginan peneliti. Kendala peneliti dalam mengurus HKI karena cenderung melindungi karya secara individual. Misalnya, hak paten seseorang, tapi sebenarnya kelebihan HKI walaupun melindungi individual, tetap ada masa waktunya.

Ketika sudah lewat batas waktu, akan menjadi milik umum. “Ada perlindungan untuk memberi insentif kepada penemunya. Memang harus diberi apresiasi agar peneliti terus bersemangat. Kalau tidak dilindungi kepentingan pribadi, dia tidak termotivasi untuk membuat sesuatu inovasi yang lebih bermanfaat ke depannya,” ujar penulis buku Politik Hukum Iptek di Indonesia.

Sabartua berharap, TTO melakukan salah satu fungsinya untuk mengajak peneliti di lingkupnya memiliki HKI. Setelah itu, ada apresiasi tambahan sehingga dapat menjadi motivasi bagi yang lain. (Ananda Nararya)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 3.1045 seconds (0.1#10.140)