Penanganan Korupsi, Butuh Keseriusan Pembenahan Sistem Kepartaian

Jum'at, 16 Agustus 2019 - 10:40 WIB
Penanganan Korupsi, Butuh Keseriusan Pembenahan Sistem Kepartaian
Penanganan Korupsi, Butuh Keseriusan Pembenahan Sistem Kepartaian
A A A
Korupsi masih menjadi bahaya laten di Indonesia. Berbagai operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyasar jajaran kepala daerah, pejabat kementerian/lembaga, hingga para wakil rakyat di berbagai tingkatan seolah tak menyurutkan para koruptor beraksi.

Mahalnya ongkos politik menjadi salah satu faktor dominan pemicu aksi nekat penyelenggara negara dalam menggarong uang rakyat. Kabar operasi tangkap tangan (OTT) KPK kini seakan bukan hal yang mengejutkan publik.

Terbaru, anggota Fraksi PDIP I Nyoman Damantra dicokok lembaga antirasuah itu karena diduga terlibat dalam dugaan korupsi impor bawang putih. OTT kali ini tak berselang lama dari ditangkapnya Bupati Kudus (nonaktif) M Tamzil karena diduga menerima suap dalam proses pergantian jabatan di lingkungan Pemkab Kudus.

Fakta ini tentu memunculkan keprihatinan tersendiri. Betapa tidak? Genderang perang terhadap korupsi rasanya sudah lama ditabuh di negeri ini. KPK pun tak segan menyasar penyelenggara negara di berbagai tingkatan yang terindikasi korup.

Bahkan lembaga antirasuah ini pada 2008 pernah menyasar lingkaran keluarga maupun orang dekat presiden yang sedang berkuasa. Namun, prilaku dan pelaku korupsi seakan tak pernah usai. Patah tumbuh hilang berganti.

Berbagai kalangan menilai sangat dibutuhkan keseriusan dan konsistensi pemerintah pusat, legislatif, dan partai politik untuk membenahi sistem kepartaian di Indonesia. Mereka sepakat jika perilaku koruptif para penyelenggara negara salah satunya lahir dari karut-marutnya sistem kepartaian di Indonesia.

Diharapkan dengan pembenahan sistem kepartaian tersebut, maka proses rekrutmen, kaderisasi, sistem keuangan, hingga kode etik aktivis partai politik menjadi lebih transparan dan bertanggung jawab. Pembenahan sistem juga diharapkan secara konsisten membangun integritas partai politik.

Dengan demikian, tidak ada lagi kader partai politik yang menjabat sebagai penyelenggara negara maupun bukan penyelenggara negara menjadi “pasien” penegak hukum, khususnya di KPK. Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, sejak beberapa tahun lalu KPK sangat berkonsentrasi dan fokus pada perbaikan sistem kepartaian di Indonesia.

Langkah perbaikan tersebut dilakukan dengan sejumlah program dan kegiatan pada bidang pencegahan. Dalam perbaikan tersebut ada dua objek yang dituju, yakni partai politik dan kadernya.

KPK juga melakukan berbagai survei terkait dampak penyelenggaraan pileg, pilpres, hingga pilkada terhadap perilaku koruptif. Selain itu, Agus menggariskan, KPK menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk melakukan kajian guna perbaikan sistem kepartaian.

Dalam kajian tersebut ada lima komponen utama, yakni kode etik, demokrasi internal partai, kaderisasi, rekrutmen, dan keuangan partai yang transparan dan akuntabel.

“Dari sisi partai politik, kami sampai ‘menyewa’ (menggandeng) LIPI untuk mengkaji sistem pemilu kita, sistem kepartaian kita, kemudian bagaimana membina partai kita, juga pendanaan partai politik sehingga kami sampai pada suatu kesimpulan bahwa sebaiknya partai dibiayai negara,“ ungkap Agus kepada KORAN SINDO.

Mantan kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) ini menggariskan, dari hasil kajian tersebut KPK bersama LIPI kemudian menerbitkan beberapa buku panduan, di antaranya Politik Berintegritas, Kode Etik Politisi dan Partai Politik, Rekrutmen dan Kaderisasi Parpol Ideal di Indonesia, Sistem Integritas Partai Politik, dan Sistem Informasi Partai Politik.

Selain itu, ujar Agus, KPK telah memberikan sejumlah rekomendasi perbaikan ke sejumlah partai politik, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan pemerintah. “Perbaikan pendanaan partai politik jangan sampai mereka, partai politik, meminta iuran dari kadernya, kemudian kadernya melakukan korupsi untuk menyetor, kemudian bagaimana kaderisasi, manajemen partainya, mengelola kantor (partai politik),” tuturnya.

Agus menggariskan, khusus untuk biaya dari negara untuk partai politik itu mencakup beberapa hal. Ada biaya pengelolaan kantor partai, dari biaya listrik, administrasi kantor, hingga gaji pegawai yang bekerja di kantor partai, biaya logistik pencalonan seseorang yang diusung partai, hingga biaya untuk pelaksanaan musyawarah nasional, rapat pimpinan nasional, maupun kongres.

Dari perhitungan KPK bersama LIPI ke mu dian ditemukan angka, yakni satu suara diberi kan hampir Rp16.000 oleh negara untuk partai politik.

“Usulan kami itu Rp15.000 sekian hampir Rp16.000. Kalau kami pakai angka itu, maka itu partai sebenar nya akan terima setiap tahun sekitar Rp2 triliun. Tujuannya apa? Sekali lagi, kan kita mau tidak selamanya orang partai cari uang sendiri seperti hari ini di antaranya dengan lakukan korupsi,” ucapnya.Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif menegaskan, kaderisasi dan rekrutmen oleh partai politik merupakan satu di antara elan vital bagi keberlangsungan partai politik dan peningkatan kualitas demokrasi Indonesia.

Hal itu karena ada banyak kader partai politik maupun orang yang diusung partai politik menduduki jabatan publik atau penyelenggara negara, termasuk anggota DPR, DPRD tingkat I, dan DPRD tingkat II hingga kepala daerah baik gubernur, wali kota, maupun bupati.

Dalam proses rekrutmen atau pencalonan seseorang menjadi anggota legislatif maupun kepala daerah acap terjadi transaksi. Sebagai contoh, ada calon kepala daerah atau calon legislatif yang bukan berasal dari internal partai, tapi calon adalah pengusaha dan datang dengan modal cukup.

Selain itu, dari data yang dimiliki KPK bahkan beberapa calon yang merupakan mantan (residivis) korupsi maupun sedang berstatus tersangka atau terdakwa yang maju, mencalonkan diri, dan diusung partai politik dalam pemilihan umum.

“Pengawasan partai politik terhadap kadernya yang menjadi penyelenggara negara sangat lemah. Ujung-ujungnya terjadi korupsi oleh kader partai. Sebelum menjadi penyelenggara negara juga begitu, yang dicalonkan justru yang enggak berasal dari parpol, tapi dia datang dengan modal cukup, kebanyakan pengusaha. Saat menjabat kemudian melakukan korupsi untuk mengembalikan modal yang keluar sebelumnya,” tutur Syarif.

Mantan Senior Advisor on Justice and Environmental Governance di Partnership for Governance Reform (Kemitraan) ini menggariskan, bila melihat jumlah perkara korupsi yang ditangani KPK hingga 2019, unsur DPR dan DPRD ada lebih dari 275 orang.

Dari unsur kepala daerah mencapai sekitar 109 orang. Dari para pelaku tersebut, seperti disebutkan tadi, ada yang mantan terpidana korupsi, tersangka, atau terdakwa saat maju sebagai calon dalam pemilu.

“Seharusnya Partai Politik tidak mendukung pencalonan mantan koruptor. Sebenarnya masyarakat harus paham juga agar tidak memilih pemimpin yang memiliki rekam jejak jelek, apalagi mantan koruptor,” desaknya. (Sabir Laluhu)
(nfl)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8358 seconds (0.1#10.140)