Hadapi Bonus Demografi, Pemerintah Diminta Bangun Kemandirian Pangan

Selasa, 23 Juli 2024 - 11:38 WIB
loading...
Hadapi Bonus Demografi,...
Anggota DPR terpilih periode 2024-2029, Bambang Haryo Soekartono (BHS). Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Membangun kemandirian pangan tidak bisa hanya di slogan saja. Tapi harus melalui kebijakan dan anggaran. Sehingga, Indonesia bisa berubah menjadi negara penghasil pangan dunia.

Selain itu kemandirian pangan ini juga harus diperhatikan pemerintah, dalam menghadapi bonus demografi di tahun 2035. Hal ini ditegaskan oleh Anggota DPR terpilih periode 2024-2029, Bambang Haryo Soekartono (BHS).

"Ingat di 2035 nanti, kita menghadapi bonus demografi. Banyak anak anak yang saat ini tumbuh akan menjadi andalan Indonesia di 10 tahun yang akan datang yang tentunya membutuhkan pangan yang bergizi. Sehingga sehat dan pintar," kata BHS, Selasa (22/7/2024).

Bapak Petani Sidoarjo ini prihatin dan miris saat melihat anggaran Kementerian Pertanian yang 'hanya' berkisar Rp8 triliun yang disetujui oleh Kementrian Keuangan untuk tahun anggaran 2025.

Turun drastis dari anggaran Pertanian di tahun 2018 yang sudah berkisar Rp24 trilliun. Walaupun Mentan mengajukan penambahan sebesar Rp51,7 trilliun di hadapan Komisi IV DPR-RI.

"Sepertinya Kementerian Keuangan itu tidak paham ya, kalau pangan itu adalah penggerak ekonomi yang paling utama di Indonesia," jelasnya.

"Bahkan dari 67 juta UMKM sebagai penggerak ekonomi sekitar 60 persen dari total perputaran ekonomi di Indonesia itu 50 persennya adalah UMKM yang sangat bergantung kepada beras atau nasi," tambahnya.

Ketua Dewan Penasihat Pasar se Jawa Timur ini menegaskan, sektor pangan adalah sektor vital suatu negara dan juga sektor paling dasar dalam menjaga kehidupan manusia.

"Dari aspek ekonomi, bila beras sudah berubah menjadi nasi, nilai ekonominya akan meningkat. Dan tentu dari nasi akan berdampak munculnya lauk pauk. Sehingga peningkatan nilai ekonomi karena beras menjadi berpuluh kali lipat setelah jadi nasi yang berlauk pauk. Dan memberikan kehidupan untuk sektor lainnya, termasuk minuman. Kan begitu ya," ungkapnya.

Menurut dia, yang perlu dipahami juga adalah pangan merupakan basis dari bisnis UMKM yang selama ini menunjang perekonomian nasional. Jadi bisa dibayangkan jika pangan itu menjadi barang langka dan mahal.

"UMKM kita itu mengambil porsi sekitar 70 persen dari perekonomian nasional kita dan menyerap 97 persen dari total tenaga kerja nasional. Sudah seharusnya jika pemerintah lebih fokus dan memahami pentingnya kestabilan dan ketahanan pangan kita untuk stabilitas perekonomian yang ada di negara kita," tuturnya.

Kembali ditegaskan anggota Dewan Pakar DPP Partai Gerindra ini, Indonesia yang sebagai food country atau kitohnya sebagai negara penghasil pangan karena letak geografis di garis khatulistiwa dengan curah hujan yang terbesar nomor lima di dunia dan sumber air nomor delapan terbesar di dunia, serta jumlah gunung berapi nomor tiga terbanyak di dunia.

"Yang menghasilkan berbagai kandungan mineral untuk kesuburan tanah serta getaran untuk melapukkan tanah sehingga menghasilkan tanah yang maha subur untuk berbagai tanaman di wilayah negara kita," tuturnya.

"Dan kita harus tahu juga bahwa saat lalu Belanda melalui perserikatan dagangnya yaitu VOC, pernah memanfaatkan perdagangan rempah rempah dan hasil pokok pangan seperti beras, jagung,tebu dan perkebunannya seperti kopi, coklat, teh, tembakau dan lain lain, bisa menjadi organisasi yang memiliki kekayaan terbesar di dunia," sambungnya.

BHS mengatakan, menurut pendapatnya betul usulan Kementan untuk menaikkan anggaran pertanian untuk pupuk subsidi, benih bibit unggul, obat obatan hama, kebutuhan irigasi pertanian, dan lain lain.

"Karena saat ini kita memiliki lahan tanam sebanyak 70 juta hektar, tetapi yang dimanfaatkan untuk tanam padi hanya 7 juta hektar. Yang seharusnya 7 juta hektar pun bisa mencukupi kebutuhan pangan nasional yang sekitar 31 juta ton beras," bebernya.

"Jangan sampai kita menjadi negara yang selalu ketergantungan pangan dari negara lain, sehingga kita menjadi lemah dan bisa dikendalikan oleh negara lain," tutupnya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1840 seconds (0.1#10.140)