PHRI Desak Pemerintah Tindak Tegas Travel Asing yang Tak Bayar Pajak

Kamis, 18 Juli 2024 - 13:18 WIB
loading...
PHRI Desak Pemerintah...
Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran mendesak pemerintah menindak tegas travel asing yang tak bayar pajak. Foto/istimewa
A A A
JAKARTA - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) meminta pemerintah untuk menegakkan aturan soal perpajakan bagi Online Travel Agent (OTA) asing yang beroperasi di Indonesia. Sebab keberadaan mereka berpotensi merugikan konsumen, hotel bahkan negara.

Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran mengatakan, meski mereka terdaftar Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), namun jika tidak mendirikan Badan Usaha Tetap (BUT) akan menyebabkan kerugian bagi pelaku pariwisata domestik.

"Mereka membebankan pajak ke kita, pihak hotel, padahal kalau OTA lokal mereka yang bayar, bukan pihak kita. Ini tentu membebani kami," katanya, Kamis (18/7/2024).



Ditegaskannya, ketidakpatuhan OTA asing dalam mendirikan Badan Usaha Tetap selain mengakibatkan kerugian terhadap pelaku usaha hotel, konsumen, juga negara dirugikan yakni, kehilangan potensi pendapatan dari pajak komisi dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

"Jika mereka tidak memiliki BUT, negara akan dirugikan dari potensi pendapatan pajak. Ini termasuk pajak komisi dan PPN," ujar Alan, panggilan akrabnya.



Diketahui, untuk PPN nilai potensi pajak dari transaksi OTA asing dapat mencapai sekitar Rp3,18 triliun. Sementara potensi kerugian dari pembebanan pajak komisi sebesar 1,1% mencapai Rp318,67 miliar.

Selain itu, konsumen juga dirugikan ketika terjadi masalah dalam reservasi. Jika konsumen mengalami masalah, mereka tidak bisa mengajukan komplain karena OTA asing ini tidak memiliki kantor fisik di Indonesia.

"Mereka hanya diberikan nomor telepon yang tidak jelas di mana lokasinya. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dan kurangnya perlindungan konsumen ketika terjadi masalah," ujar dia.

Alan juga menyoroti dampak negatif bagi industri hotel. Pasalnya OTA asing tidak membayar pajak yang seharusnya dibayarkan, menurutnya, ketidakadilan ini merugikan industri pariwisata dalam negeri yang sudah berusaha mematuhi peraturan perizinan yang berlaku.

"Kita sebagai pelaku usaha yang selalu dipungut untuk pajak komisi, harusnya itu OTA asing yang bayar. Ini jadi masalah besar," katanya.

PHRI telah melaporkan masalah ini kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sejak 2017 untuk menuntut keadilan dan penegakan peraturan. Namun sampai sekarang itu penegakan UU 36/2008 tentang Pajak Penghasilan dan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan masih belum digubris.

"Kami sudah melaporkan kepada pemerintah untuk menuntut keadilan, namun hingga kini respons dari Ditjen Pajak belum ada," terang Alan.

Dirinya pun menegaskan, OTA asing harus patuh dengan peraturan perizinan Indonesia. "Pemerintah sebagai regulator harus bersikap adil. Jika OTA asing tidak mendirikan BUT, maka mereka harus ditutup. Negara tidak boleh membiarkan sesuatu yang merugikan konsumen dan pelaku usaha lokal," tegas dia.

Alan berharap pemerintah dapat segera mengambil tindakan tegas untuk menyelesaikan masalah ini. "Pemerintah harus berlaku adil. Pariwisata selalu dianggap memberikan devisa yang baik, namun jika ketertiban BUT tidak dilakukan, maka ini hanya merugikan industri lokal," ucapnya.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0979 seconds (0.1#10.140)