Indonesia Peringkat Tujuh Kasus Perkawinan Anak

Jum'at, 03 November 2017 - 19:16 WIB
Indonesia Peringkat Tujuh Kasus Perkawinan Anak
Indonesia Peringkat Tujuh Kasus Perkawinan Anak
A A A
JAKARTA - United Nations Children's Fund (Unicef) menyebutkan, Indonesia menduduki peringkat ketujuh di dunia dalam kasus perkawinan anak.

Menurut Unicef, perkawinan anak merupakan pelanggaran hak-hak anak perempuan dan anak laki-laki.

“Tingginya perkawinan anak di Indonesia sangat berdampak besar terhadap peningkatan angka kematian ibu dan bayi, putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, dan kemiskinan, serta turut berkontribusi dalam rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM),” kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise.

Hal itu diungkapkan Yohana saat meluncurkan Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA), Jakarta, Jumat (3/11/2017).

Yohana mengajak pemerintah pusat dan daerah, orang tua, lembaga, masyarakat, dunia usaha dan media mendukung gerakan bersama yang akan dilaksanakan di lima wilayah di Indonesia.

Saat ini, kata dia, Kementerian PP dan PA sudah bekerja sama dengan 11 kementerian/lembaga dan lebih dari 30 organisasi/lembaga.

Yohana mengungkapkan banyaknya anak putus sekolah berdampak terhadap IPM Indonesia. Salah satunya anak putus sekolah karena mengandung setelah menikah. Mereka tidak sekolah karena takut di-bully.

Selain berdampak terhadap pendidikan, kata Yohana, perkawinan anak juga memengaruhi kesehatan reproduksi. Kehamilan usia anak berisiko medis lebih besar dibandingkan orang dewasa karena alat reproduksi belum cukup matang.

Hasil kajian dan penelitian di Kanada dan Indonesia mengungkapkan usia rahim prima secara fisik di atas 20 tahun dan kurang dari 35 tahun.

Kasus perkawinan usia anak juga berdampak besar terhadap peningkatan jumlah angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). “AKI di Indonesia saat ini 359 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2012), dan Indonesia telah menempati posisi yang tinggi AKI dan AKB jika dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya,” ungkap Yohana.

Melalui kegiatan roadshow Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di lima kota, diharapkan para pengambil keputusan maupun masyarakat akan menyadari perkawinan anak sangat merugikan negara, masyarakat, bahkan bagi anak itu sendiri beserta keluarganya.

“Kami berharap Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak menyadarkan semua pihak bahwa Indonesia memiliki komitmen menghentikan praktik perkawinan anak agar anak Indonesia lebih berkualitas dan terwujud Indonesia Layak Anak 2030 menuju Generasi Emas 2045,” tutur Yohana.

Deputi Menteri PP dan PA Bidang Tumbuh Kembang Anak, Lenny N Rosalin menilai perkawinan anak berdampak terhadap banyak faktor. “Sebelum membenahi masalah AKI dan AKB yang tinggi, meningkatkan kualitas pendidikan dan IPM Indonesia, seharusnya kita benahi inti dari permasalahan tersebut terlebih dahulu, yaitu perkawinan anak,” kata Lenny.

Meski terjadi penurunan kasus perkawinan anak dari tahun 2013 sekitar 43,19% dan menjadi 34,23% di tahun 2014. Namun secara kuantitatif, kata dia, penurunan belum terlihat signifikan.

Berdasarkan data BPS, jumlah perkawinan usia anak di daerah perdesaan sepertiga lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Masing-masing untuk perkotaan 17,09% dan perdesaan 27,11% pada tahun 2015.

Provinsi Sulawesi Barat, Papua, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Papua Barat merupakan lima provinsi tertinggi yang memiliki rata-rata tertinggi persentase perkawinan usia anak di bawah 15 tahun.

Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak akan dilakukan sepanjang November di lima kota besar yang angka perkawinan anak tinggi, yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4634 seconds (0.1#10.140)