Indonesia Bakal Produksi Alat Detektor Sinyal Nuklir
A
A
A
JAKARTA - Konsorsium dalam negeri akan memproduksi alat detektor sinyal nuklir atau Radiology Delta Monitoring System (RDMS). Rencananya konsorsium tersebut akan mulai memproduksi RDMS tahun depan.
"Ada konsorsium yang akan membuat RDMS untuk mengurangi impor. Jadi (alat ini) akan diproduksi di dalam negeri," ujar Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Jazi Eko Istianto, saat tampil sebagai pembicara pada Penganugerahan Bapeten Safety and Security Award 2017 di Jakarta, akhir pekan lalu.
Jazi mengungkapkan, konsorsium tersebut terdiri atas Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), PT LEN Industri, dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Saat ini, kata Jazi, konsorsium tersebut sedang melakukan uji coba pembuatan RDMS.
Selama ini, pengadaan RDMS masih bergantung impor dari Eropa. Apabila uji coba tersebut berhasil, kata Jazi, impor RDMS akan dihentikan. "Kalau berhasil, akan kita produksi massal. Saat ini prototipenya sudah selesai, tapi belum tahu apakah bisa langsung diproduksi atau enggak," ungkap Jazi.
Jazi mengatakan, saat ini Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) akan mengkaji anggaran untuk proteksi nuklir sehingga saat ini pengadaan impor tidak terlalu membebani Bapeten. "Bappenas memasukkan program kita soal peningkatan infrastruktur keamanan nuklir masuk di anggaran," kata Jazi.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Perizinan dan Inspeksi Bapeten Khoirul Huda mengatakan, Indonesia membutuhkan 126 sinyal proteksi nuklir. Saat ini RDMS baru terpasang enam pemancar di Indonesia. "Sekarang ini baru ada enam di Pulau Jawa," katanya.
Khoirul menyebutkan, RDMS yang dipasang kebanyakan produk impor dari Eropa. Bapeten mengusahakan pengadaan alat setiap tahun tergantung dari anggaran yang ada. "Impor dari Eropa kebanyakan RDMS. Kita usahakan setiap tahun," ungkap Khoirul.
Khoirul mengatakan tentang perlunya partisipasi masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan terhadap penggunaan atau pemanfaatan energi nuklir. "Dalam hal penyelenggaraan perizinan, kami sudah menerapkan perizinan secara online sehingga lebih mudah bagi pengguna, lebih transparan, akuntabel, dan tentunya prosesnya lebih cepat," tutur Khoirul.
"Ada konsorsium yang akan membuat RDMS untuk mengurangi impor. Jadi (alat ini) akan diproduksi di dalam negeri," ujar Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Jazi Eko Istianto, saat tampil sebagai pembicara pada Penganugerahan Bapeten Safety and Security Award 2017 di Jakarta, akhir pekan lalu.
Jazi mengungkapkan, konsorsium tersebut terdiri atas Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), PT LEN Industri, dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Saat ini, kata Jazi, konsorsium tersebut sedang melakukan uji coba pembuatan RDMS.
Selama ini, pengadaan RDMS masih bergantung impor dari Eropa. Apabila uji coba tersebut berhasil, kata Jazi, impor RDMS akan dihentikan. "Kalau berhasil, akan kita produksi massal. Saat ini prototipenya sudah selesai, tapi belum tahu apakah bisa langsung diproduksi atau enggak," ungkap Jazi.
Jazi mengatakan, saat ini Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) akan mengkaji anggaran untuk proteksi nuklir sehingga saat ini pengadaan impor tidak terlalu membebani Bapeten. "Bappenas memasukkan program kita soal peningkatan infrastruktur keamanan nuklir masuk di anggaran," kata Jazi.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Perizinan dan Inspeksi Bapeten Khoirul Huda mengatakan, Indonesia membutuhkan 126 sinyal proteksi nuklir. Saat ini RDMS baru terpasang enam pemancar di Indonesia. "Sekarang ini baru ada enam di Pulau Jawa," katanya.
Khoirul menyebutkan, RDMS yang dipasang kebanyakan produk impor dari Eropa. Bapeten mengusahakan pengadaan alat setiap tahun tergantung dari anggaran yang ada. "Impor dari Eropa kebanyakan RDMS. Kita usahakan setiap tahun," ungkap Khoirul.
Khoirul mengatakan tentang perlunya partisipasi masyarakat untuk ikut melakukan pengawasan terhadap penggunaan atau pemanfaatan energi nuklir. "Dalam hal penyelenggaraan perizinan, kami sudah menerapkan perizinan secara online sehingga lebih mudah bagi pengguna, lebih transparan, akuntabel, dan tentunya prosesnya lebih cepat," tutur Khoirul.
(amm)