Utamakan Akal Sehat, Kunci Selamat dari Bias Informasi di Era Digital
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perubahan kebiasaan manusia era modern dalam cara berkomunikasi berpengaruh terhadap pembentukan persepsi masyarakat. Saat ini, persepsi terhadap kebenaran bukan tergantung dari seberapa terujinya suatu substansi, tapi lebih kepada bias personal dan popularitas semata.
Hal ini disampaikan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, Senin (7/8/2023). Menurutnya, dalam mencari dan mencerna suatu informasi, perilaku manusia zaman modern cenderung mengambil informasi yang ia butuhkan hanya dari sumber yang membenarkan apa yang telah ia yakini. Dalam dunia psikologi bias kognitif ini sering disebut dengan motivated reasoning atau confirmation bias.
"Ketika kita mencari informasi, kita cenderung sudah punya pemahaman, cara pandang, atau stigma tertentu, lalu kita mencari informasi untuk membenarkan pemahaman atau cara pandang kita tadi. Hal ini terjadi bahkan sebelum adanya media sosial. Dengan adanya media sosial, kecenderungan terjadinya bias kognitif itu menjadi lebih kuat lagi," kata Noor Huda.
Keadaan seperti ini diperparah dengan munculnya algoritma dalam layanan mesin pencarian atau search engine seperti Google atau Bing. Sebagai contoh, penggemar klub bola Arsenal, maka kalau nge-klik Arsenal, seluruh informasinya itu yang berkaitan dengan klub Arsenal saja. Klub bola lain seperti Manchester United jelas tidak akan muncul.
Dalam cara memahami ajaran agama tertentu, kalau sudah meng-klik misalnya al-wala wal bara', istilah, atau acara tertentu yang didorong oleh kelompok pro kekerasan, cenderung akan hanya menerima informasi yang sama. Di dunia akademis hal ini disebut dengan filter bubble.
"Kita membuat bubble atau ruang kita sendiri berdasarkan dari filter atau pencarian yang kita lakukan. Inilah fenomena saat ini yang mengakibatkan polarisasi, yang berhaluan kanan jadi kanan banget, yang kiri jadi kiri banget, haluan tengah menjadi kosong," kata Noor Huda.
Peraih gelar Ph.D dari Monash University ini menegaskan pentingnya mencari sumber informasi pembanding dari apa yang sudah diyakini. Semua orang perlu mengadopsi tradisi berpikir kritis, untuk bisa membedakan bahwa apa yang di internet belum tentu semuanya benar. Kemampuan membandingkan suatu informasi dengan hal yang sama, namun dari sumber dan perspektif yang berbeda menjadi penting.
Menurutnya, tren medium yang digunakan serta kecenderungan cara berkomunikasi masyarakat dunia memang telah berubah. Sekarang percakapan baru ada setiap detik, komunikasi serba cepat saat ini dianggap sebagai sebuah kebenaran. Saat ini masyarakat di seluruh dunia cenderung tidak melihat mana yang benar, tapi justru mana yang viral.
"Kalau nggak viral ya dia tidak diperhatikan, tapi yang follower-nya banyak justru diperhatikan. Ini adalah jenis kebenaran baru, maka dalam dunia akademisi fenomena ini disebut sebagai 'the death of expert', kematian para pakar. Sebagai contoh, gue yang bisa mendapatkan beasiswa ke luar negeri, kredibilitasnya bisa kalah oleh selebgram seperti Atta Halilintar di mata masyarakat saat ini," kata Noor Huda.
Pengamat isu terorisme ini juga menyoroti pentingnya belajar teknologi sebagai suatu kenyataan yang tak terelakkan. Ini berlaku mulai dari masyarakat lapisan terbawah, hingga para pejabat yang memegang kendali. Ketika di suatu negara para pemangku kepentingannya tidak memahami perkembangan teknologi, tentu akan berdampak buruk terhadap kebijakan atau keputusan yang diambil.
"Keharusan memahami perkembangan teknologi adalah pekerjaan rumah bagi semuanya. Teknologi ini kan semuanya harus belajar," katanya.
Jika tidak, kata Noor Huda, pasti akan ketinggalan zaman. Contohnya ketika CEO TikTok dipanggil oleh Kongres Amerika Serikat untuk melakukan hearing (sesi tanya jawab) di muka publik. Anggota parlemen Amerika Serikat dikira sebagai sekumpulan orang dengan intelektual di atas rata-rata, justru melempar pertanyaan-pertanyaan yang bodoh terkait teknologi informasi.
"Ini akibatnya jika pemangku kepentingan tidak tanggap terhadap perkembangan teknologi," kata Noor Huda.
Untuk itu, Noor Huda berharap masyarakat tidak percaya pada satu guru atau sumber saja tapi harus bisa dan mau melihat dari berbagai macam sumber. Masyarakat juga harus menggunakan akal sehat untuk bisa memilih dan memilah informasi. Kemudian dalam membagikan informasi, prinsipnya think before you share atau saring sebelum sharing.
"Saya pikir ini skill yang penting, karena apa yang kita lihat di media sosial itu belum tentu kebenaran. Seberapa terlihat viral atau penting suatu informasi itu sebenarnya bisa diciptakan atau direkayasa selama ada dananya," kata Noor Huda.
Hal ini disampaikan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, Senin (7/8/2023). Menurutnya, dalam mencari dan mencerna suatu informasi, perilaku manusia zaman modern cenderung mengambil informasi yang ia butuhkan hanya dari sumber yang membenarkan apa yang telah ia yakini. Dalam dunia psikologi bias kognitif ini sering disebut dengan motivated reasoning atau confirmation bias.
"Ketika kita mencari informasi, kita cenderung sudah punya pemahaman, cara pandang, atau stigma tertentu, lalu kita mencari informasi untuk membenarkan pemahaman atau cara pandang kita tadi. Hal ini terjadi bahkan sebelum adanya media sosial. Dengan adanya media sosial, kecenderungan terjadinya bias kognitif itu menjadi lebih kuat lagi," kata Noor Huda.
Keadaan seperti ini diperparah dengan munculnya algoritma dalam layanan mesin pencarian atau search engine seperti Google atau Bing. Sebagai contoh, penggemar klub bola Arsenal, maka kalau nge-klik Arsenal, seluruh informasinya itu yang berkaitan dengan klub Arsenal saja. Klub bola lain seperti Manchester United jelas tidak akan muncul.
Dalam cara memahami ajaran agama tertentu, kalau sudah meng-klik misalnya al-wala wal bara', istilah, atau acara tertentu yang didorong oleh kelompok pro kekerasan, cenderung akan hanya menerima informasi yang sama. Di dunia akademis hal ini disebut dengan filter bubble.
"Kita membuat bubble atau ruang kita sendiri berdasarkan dari filter atau pencarian yang kita lakukan. Inilah fenomena saat ini yang mengakibatkan polarisasi, yang berhaluan kanan jadi kanan banget, yang kiri jadi kiri banget, haluan tengah menjadi kosong," kata Noor Huda.
Peraih gelar Ph.D dari Monash University ini menegaskan pentingnya mencari sumber informasi pembanding dari apa yang sudah diyakini. Semua orang perlu mengadopsi tradisi berpikir kritis, untuk bisa membedakan bahwa apa yang di internet belum tentu semuanya benar. Kemampuan membandingkan suatu informasi dengan hal yang sama, namun dari sumber dan perspektif yang berbeda menjadi penting.
Menurutnya, tren medium yang digunakan serta kecenderungan cara berkomunikasi masyarakat dunia memang telah berubah. Sekarang percakapan baru ada setiap detik, komunikasi serba cepat saat ini dianggap sebagai sebuah kebenaran. Saat ini masyarakat di seluruh dunia cenderung tidak melihat mana yang benar, tapi justru mana yang viral.
"Kalau nggak viral ya dia tidak diperhatikan, tapi yang follower-nya banyak justru diperhatikan. Ini adalah jenis kebenaran baru, maka dalam dunia akademisi fenomena ini disebut sebagai 'the death of expert', kematian para pakar. Sebagai contoh, gue yang bisa mendapatkan beasiswa ke luar negeri, kredibilitasnya bisa kalah oleh selebgram seperti Atta Halilintar di mata masyarakat saat ini," kata Noor Huda.
Pengamat isu terorisme ini juga menyoroti pentingnya belajar teknologi sebagai suatu kenyataan yang tak terelakkan. Ini berlaku mulai dari masyarakat lapisan terbawah, hingga para pejabat yang memegang kendali. Ketika di suatu negara para pemangku kepentingannya tidak memahami perkembangan teknologi, tentu akan berdampak buruk terhadap kebijakan atau keputusan yang diambil.
"Keharusan memahami perkembangan teknologi adalah pekerjaan rumah bagi semuanya. Teknologi ini kan semuanya harus belajar," katanya.
Jika tidak, kata Noor Huda, pasti akan ketinggalan zaman. Contohnya ketika CEO TikTok dipanggil oleh Kongres Amerika Serikat untuk melakukan hearing (sesi tanya jawab) di muka publik. Anggota parlemen Amerika Serikat dikira sebagai sekumpulan orang dengan intelektual di atas rata-rata, justru melempar pertanyaan-pertanyaan yang bodoh terkait teknologi informasi.
"Ini akibatnya jika pemangku kepentingan tidak tanggap terhadap perkembangan teknologi," kata Noor Huda.
Untuk itu, Noor Huda berharap masyarakat tidak percaya pada satu guru atau sumber saja tapi harus bisa dan mau melihat dari berbagai macam sumber. Masyarakat juga harus menggunakan akal sehat untuk bisa memilih dan memilah informasi. Kemudian dalam membagikan informasi, prinsipnya think before you share atau saring sebelum sharing.
"Saya pikir ini skill yang penting, karena apa yang kita lihat di media sosial itu belum tentu kebenaran. Seberapa terlihat viral atau penting suatu informasi itu sebenarnya bisa diciptakan atau direkayasa selama ada dananya," kata Noor Huda.
(abd)