BEM UI Unggah Meme Puan Berbadan Tikus, PDIP: Umpatan yang Kurang Terdidik dan Asal Bunyi

Jum'at, 24 Maret 2023 - 06:55 WIB
loading...
BEM UI Unggah Meme Puan...
Politikus Senior PDIP Hendrawan Supratikno menyayangkan kritik yang disampaikan oleh BEM UI terhadap Ketua DPR Puan Maharani dengan meme berbadan tikus. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Politikus Senior PDIP Hendrawan Supratikno menyayangkan kritik yang disampaikan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) terhadap Ketua DPR Puan Maharan i dengan meme berbadan tikus.

"Selama ini kritik dan masukan dari kampus, sangat diperhatikan. Kunjungan kerja Alat Kelengkapan Dewan (AKD), termasuk Badan Legislasi, sering ke kampus-kampus. Kami selalu berharap kampus memberi masukan secara lengkap dan mendalam," ujar Hendrawan Supratikno, Kamis (23/3/2023).



Ia menilai satir meme yang dibuat oleh BEM UI terhadap institusi DPR tidak patut. "Rasanya kurang patut apabila mahasiswa menyampaikan umpatan-umpatan yang kurang terdidik, asal bunyi, merendahkan akal budi. Ajak wakil-wakil rakyat berdiskusi, berdebat, secara terbuka dan mendasar," kata Hendrawan.

Hendrawan menghimbau mahasiswa BEM UI untuk melakukan kritik dengan mengedepankan kode etik akademik. Menurutnya, itulah esensi peran dan kontribusi insan kampus dalam membangun peradaban bangsa.

"Bukan melakukan umpatan-umpatan yang dangkal dan spekulatif. Dalam bahasa Jawa ada istilah waton suloyo, asal-asalan, yang penting beda dan menarik perhatian," pungkas Hendrawan Supratikno.

Sebagaimana diketahui sebelumnya, video meme yang diunggah BEM UI di media sosial Tiktok viral di media sosial. Dalam video tersebut tampak Ketua DPR Puan Maharani, gedung kura-kura DPR, dan sejumlah tikus berdasi.

DPR yang pada umumnya dimaknai sebagai singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat dalam meme tersebut dipelesetkan menjadi Dewan Perampok Rakyat.

Ketua BEM UI Melki Sedek Huang mengatakan pihaknya membuat meme tersebut sebagai puncak amarah mahasiswa UI kepada sikap apatis DPR hari-hari ini terhadap aspirasi rakyat.

"Saya rasa keseluruhan publikasi kami tersebut sudah menggambarkan kemarahan kami terhadap DPR hari ini," ujar Melki Sedek.

Ia melihat DPR sudah tidak pantas lagi menyandang nama Dewan Perwakilan Rakyat dan lebih pantas diganti namanya menjadi Dewan Perampok, Penindas, ataupun Pengkhianat Rakyat.

"Sebab produk hukum inkonstitusional yang mereka sahkan kemarin jelas merampas hak-hak masyarakat, mengkhianati konstitusi, dan tak sesuai dengan isi hati rakyat," tegas Melki Sedek.

DPR, kata dia, harusnya menuruti putusan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dengan partisipasi bermakna, bukannya malah turut mengamini tindakan inkonstitusional Presiden Jokowi dengan mengesahkan Perppu Cipta Kerja yang menyalahi konstitusi.

"Melalui publikasi tersebut kami ingin sampaikan pada masyarakat untuk jangan berharap dan percaya banyak pada DPR saat ini karena bagi kami DPR tak lebih dari perampas hak masyarakat dan pelanggar konstitusi," pungkas Melki Sedek.

Sebelumnya Aliansi BEM se-UI pada 22 Maret 2023 mengecam Pengesahan RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja. Berikut isi kecaman dan tuntutan dari Aliansi BEM se-UI.

Pada 30 Desember 2022, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Kemudian, pada 21 Maret 2023, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja telah resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Dengan disahkannya RUU tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja, Perppu Cipta Kerja akan segera diundangkan dan mencabut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Dalam putusan tersebut, UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat atas beberapa pertimbangan, antara lain pembentukan UU Cipta Kerja tidak mengikuti cara, metode, dan standar yang jelas; adanya perubahan pada beberapa substansi setelah persetujuan bersama; dan bertentangan dengan prinsip partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian memberikan kesempatan kepada para pembuat undang-undang untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dalam kurun waktu 2 (dua) tahun, terhitung sejak 25 November 2021, atau UU Cipta Kerja akan dinyatakan inkonstitusional permanen.

Tak hanya cacat secara formil, UU Cipta Kerja juga bermasalah dari aspek Sinergi Gelorakan Aksi materiil, dimana terdapat sejumlah pasal yang mengancam dan merampas hak-hak para pekerja, salah satunya Pasal 81 angka 29 UU Cipta Kerja yang menghapus kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja juga telah mempermudah perusahaan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara sepihak sehingga kian merentankan posisi para pekerja. Belum lagi hadirnya pasal-pasal yang membahayakan lingkungan hidup, seperti Pasal 36 angka 2 UU Cipta Kerja yang mengubah dan menghapus aturan besaran kawasan hutan yang harus dipertahankan dari suatu wilayah serta Pasal 37 angka 20 UU Cipta Kerja yang melanggengkan pengusaha yang berkegiatan di dalam kawasan hutan tanpa ada sanksi pidana yang dijatuhkan.

Selain itu, terdapat pula Pasal 22 angka 4 UU Cipta Kerja terkait ketentuan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang tidak mengikutsertakan kepentingan masyarakat lain dan memangkas partisipasi masyarakat adat. Masalah-masalah ini hanyalah segelintir dari sekian banyak ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang menempatkan pekerja sebagai objek eksploitasi, menghiraukan aspek lingkungan hidup, dan mendiskreditkan partisipasi masyarakat adat. Meskipun pemerintah berdalih bahwa UU Cipta Kerja dibuat untuk kepentingan investasi, tetapi ketentuan-ketentuan dalam UU Cipta hanya menguntungkan para oligarki dan mengabaikan hak-hak pekerja, lingkungan hidup, serta masyarakat adat.

Perppu Cipta Kerja sejatinya hanyalah salinan dengan minimnya perubahan dari UU Cipta Kerja yang bermasalah, baik secara formil maupun materiil. Penerbitan Perppu Cipta Kerja juga terbukti tidak memenuhi ihwal kegentingan memaksa sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dan dipersyaratkan lebih lanjut oleh PMK Nomor 138/PUU-VII/2009. Dengan demikian, pengesahan RUU tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi pertanda bahwa negara memiliki ragam cara untuk mengelabui konstitusi. Sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan berkekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dilanggar begitu saja oleh Pemerintah dan DPR RI.



Terlebih, DPR RI sebagai wakil rakyat pun acuh tak acuh terhadap gelombang penolakan dari segenap elemen masyarakat sipil yang yang menggema sejak diterbitkannya Perppu Cipta Kerja. AKSI Beranjak dari hal tersebut, sebagai negara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi, penerbitan Perppu Cipta Kerja dan pengesahan RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja telah menciptakan preseden buruk sekaligus catatan kelam dalam proses legislasi di Indonesia. Maka dari itu, Aliansi BEM se-UI menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Mengecam Presiden dan DPR RI yang telah mengkhianati UUD NRI Tahun 1945 melalui Pengesahan RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja;
2. Menolak pemberlakuan Undang-Undang tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja;
3. Mendesak Presiden dan DPR RI untuk melakukan segala upaya dalam rangka membatalkan pemberlakuan Undang-Undang tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja; serta
4. Mengajak seluruh elemen masyarakat sipil untuk bersama-sama menyuarakan perlawanan terhadap pengesahan RUU tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja.
(kri)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1097 seconds (0.1#10.140)