Qari Langgam Jawa di Istana Banyak Menyalahi Tajwid dan Makhraj
A
A
A
JAKARTA - Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin diminta segera meredam polemik pembacaan ayat suci Alquran menggunakan langgam Jawa dalam acara Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW di Istana Negara, akhir pekan lalu.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Susanto menilai, qari (pembaca Alquran) dengan langgam Jawa dalam acara peringatan Isra Mikraj di Istana Negara, Jumat, 15 Mei 2015 malam lalu banyak menyalahi tajwid dan makhraj.
Bahkan kata dia, sejumlah kritik juga datang dari pakar yang ahli dalam bidang qiraah sabah. "Pada kesempatan di Istana itu, banyak sekali tajwid dan makhraj yang dipaksakan, karena membaca Alquran dengan langgam yang bukan biasanya. Tidak selamanya tajwid dan makhraj itu kompatibel dengan langgam Jawa," kata Ismail dalam perbincangannya dengan Sindonews melalui sambungan telepon, Selasa (19/5/2015).
Dia mengingatkan, dalam membaca Alquran sebaiknya si pembaca (qari) berusaha mengurangi peluang adanya kekeliruan. Maka itu, lanjutnya, seni dan nilai lokal dapat dikesampingkan.
"Jangan sampai demi menonjolkan prinsip lokal kemudian malah meminggirkan inti dari ibadah itu sendiri. Saya kira kalau Menteri Agama bilang bertanggung jawab, hendaknya polemik ini segera disudahi," tegasnya.
Namun dirinya mengakui sepanjang tidak menyalahi tajwid dan mikhraj, membaca menggunakan langgam Jawa tidak dipersoalkan. "Membaca Alquran itu konteksnya adalah tajwid dan makhraj," tukasnya.
Dia menambahkan, persoalan muncul jika tata cara membaca Alquran dibaca menggunakan langgam yang tidak adaptif dengan tajwid dan makhraj.
"Artinya Alquran ini adalah Bahasa Arab. Mestinya dibaca dengan langgam bahasa Arab, bukan yang lainnya," ucapnya.
Baca: Penjelasan Menag Usulkan Baca Alquran Gunakan Langgam Jawa.
Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia, Ismail Susanto menilai, qari (pembaca Alquran) dengan langgam Jawa dalam acara peringatan Isra Mikraj di Istana Negara, Jumat, 15 Mei 2015 malam lalu banyak menyalahi tajwid dan makhraj.
Bahkan kata dia, sejumlah kritik juga datang dari pakar yang ahli dalam bidang qiraah sabah. "Pada kesempatan di Istana itu, banyak sekali tajwid dan makhraj yang dipaksakan, karena membaca Alquran dengan langgam yang bukan biasanya. Tidak selamanya tajwid dan makhraj itu kompatibel dengan langgam Jawa," kata Ismail dalam perbincangannya dengan Sindonews melalui sambungan telepon, Selasa (19/5/2015).
Dia mengingatkan, dalam membaca Alquran sebaiknya si pembaca (qari) berusaha mengurangi peluang adanya kekeliruan. Maka itu, lanjutnya, seni dan nilai lokal dapat dikesampingkan.
"Jangan sampai demi menonjolkan prinsip lokal kemudian malah meminggirkan inti dari ibadah itu sendiri. Saya kira kalau Menteri Agama bilang bertanggung jawab, hendaknya polemik ini segera disudahi," tegasnya.
Namun dirinya mengakui sepanjang tidak menyalahi tajwid dan mikhraj, membaca menggunakan langgam Jawa tidak dipersoalkan. "Membaca Alquran itu konteksnya adalah tajwid dan makhraj," tukasnya.
Dia menambahkan, persoalan muncul jika tata cara membaca Alquran dibaca menggunakan langgam yang tidak adaptif dengan tajwid dan makhraj.
"Artinya Alquran ini adalah Bahasa Arab. Mestinya dibaca dengan langgam bahasa Arab, bukan yang lainnya," ucapnya.
Baca: Penjelasan Menag Usulkan Baca Alquran Gunakan Langgam Jawa.
(kur)