Kebijakan KHDPK Dinilai sebagai Upaya Pulihkan Lingkungan dan Hutan

Senin, 25 Juli 2022 - 20:08 WIB
Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Hariadi Kartodihardjo. Foto/Ist
JAKARTA - Kebijakan KHDPK atau Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus, dipilih sebagai strategi memulihkan lingkungan dan hutan di Jawa. Hal ini dikatakan oleh Guru Besar Kebijakan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Hariadi Kartodihardjo.

Selain itu kata Hariadi, kebijakan ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang kehidupannya sangat tergantung pada kawasan hutan.

"Untuk itu, kawasan hutan yang dikelola KHDPK semestinya dipilih dari kawasan hutan yang selama ini menjadi ruang konflik, tidak produktif, berupa lahan kritis, atau pun secara de facto telah berubah peruntukannya bukan sebagai hutan," kata Hariadi, Senin (25/7/2022).





Menurut Hariadi, sampai di titik ini, tentu ada asumsi bahwa Perhutani dapat mengubah dirinya sehingga berkapasitas menjadi pengelola hutan secara profesional. Sementara, Pemerintah juga mempunyai kapasitas kelembagaan di lapangan dengan kemampuan melebihi kapasitas Perhutani di masa lalu.

"KHDPK akan dikelola pemerintah untuk enam jenis pemanfaatan, yaitu untuk kepentingan perhutanan sosial, penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, atau pun pemanfaatan jasa lingkungan (Pasal 472, Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021)," papar Hariadi yang juga Anggota Forci Fakultas Kehutanan dan Lingkungan, IPB University.

Dari statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK (2020) kawasan hutan negara di Jawa seluas 3,04 juta hektare. Dari luas ini, Perhutani mengelolanya seluas 2,43 juta hektare.

Bila ditinjau dari aspek tatakelolanya, dari diskusi mengenai penanganan konflik kepentingan dalam lingkup BUMN pada Maret 2021, Direktorat Monitoring, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan beberapa kasus di Perhutani.

Saat itu, KPK mengidentifikasi terdapat persoalan yang mendesak untuk diselesaikan. Sejumlah persoalan tersebut antara lain indikasi kebocoran dalam penerimaan pendapatan dari kayu maupun getah, jual atau sewa lahan garapan kepada petani, pemilikan lahan garapan oleh oknum karyawan, oknum karyawan Perhutani sebagai pihak yang ikut kerja sama dengan Perhutani, serta adanya penguasaan aset perusahaan yang menguntungkan karyawan dan pihak tertentu.

Persoalan tata kelola demikian itu diperkirakan juga dapat terjadi dalam pengelolaan KHDPK oleh pemerintah. Pelaksanaan perhutanan sosial, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan sejauh ini juga rentan terhadap penyalahgunaan wewenang atau dominasi pihak tertentu, terutama yang menguasai politik lokal maupun nasional.

"Ironisnya, hal seperti ini seringkali tidak dapat menjadi alasan formal atas suatu kegagalan pelaksanaan kebijakan tertentu. Di sisi lain, situasi seperti itu memang sudah berada di luar repertoar standar pekerjaan suatu profesi atau pegawai negara," tutup Prof Hariadi.
(maf)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More