Soal Larangan Mudik, Pemerintah Harus Tegakkan Aturan Secara Konsisten
Kamis, 22 April 2021 - 11:10 WIB
JAKARTA - Pemerintah diminta menegakkan aturan secara konsisten untuk mencegah masyarakat melakukan mudik . Jika aparat di lapangan bisa konsisten, diyakini bisa mengurungkan niat mudik.
"Sanksi hukum itu saya pikir kalau memang diberlakukan dengan konsekuen, konsisten itu, ya itu bisa. Problemnya itu kan problem yang ada di Indonesia itu selalu mengenai konsistensi antara aturan dan implementasi daripada aturan tersebut," kata Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Nadia Yovani, Kamis (22/4/2021).
Diketahui, pemerintah melarang mudik bagi seluruh kalangan masyarakat, mulai dari karyawan BUMN, karyawan swasta, pegawai negeri sipil, anggota TNI-Polri, pekerja formal maupun informal, hingga masyarakat umum dalam rangka upaya pengendalian penyebaran Covid-19.
Dia menilai perlunya sanksi yang bisa membuat orang sadar bahwa pandemi Covid-19 belum tuntas. Menurut Nadia, aparat di lapangan tidak boleh mengambil ekses dari sanksi yang diberlakukan pemerintah atau harus konsisten. "Misalnya negosiasi gitu ya dengan aparat," ujarnya.
Nadia menilai sanksi sosial bagi pemudik yang nekat merupakan salah satu hal yang bisa dilakukan kalau memang kulturnya sudah terbentuk. "Lah kalau misalnya semuanya masih mengaminkan bahwa mudik Lebaran itu memang perlu untuk dilakukan, bagaimana mau melakukan sanksi sosial. Sanksi sosial yang bisa dilakukan paling di sosial media dengan meng-highlight tindakan-tindakan nekat dari pemudik misalnya," imbuhnya.
Kata Nadia, warganet Indonesia akan memberikan komentar negatif terhadap mereka yang nekat mudik. "(Komentar negatif netizen) itu sebenarnya sudah merupakan bentuk sanksi sosial sebenarnya dengan kita hidup di era digital seperti ini. Tapi yang diutamakan lebih kepada sanksi yang diberlakukan oleh pemerintah ketika warga masyarakat melanggar," katanya.
Nadia mengatakan, semua tahu bahwa mudik itu adalah aktivitas rutin yang dilakukan bertahun-tahun. Menurut dia, sebuah aktivitas sosial yang dilakukan secara rutin itu bisa dibilang sebagai budaya.
"Kalau kita bilang budaya itu dia sudah inheren kayak tertanam dalam dirinya dia. Kayak kita makan aja, bahwa sehari tuh makan tiga kali tuh, itu adalah keharusan, atau sehari dua kali kalau kebiasaan sehari dua kali. Atau kalau enggak makan nasi itu enggak afdol. Jadi, dia itu levelnya sudah sampai seperti itu, dia inheren di dalam pikiran manusia Indonesia itu sudah tertanam dan entah kenapa itu wajib untuk dilakukan," ungkapnya.
Dia berpendapat bahwa lonjakan mudik Lebaran merupakan lonjakan yang paling tinggi. "Pembatasan pada peak season pada musim yang sangat tinggi ini, itu kenapa harus dilakukan karena tadi, sifat daripada pandeminya itu sendiri begitu dia jumlahnya banyak, rentan untuk kemudian penyebaran besar atau orang terinfeksi untuk kena," ujarnya.
Menurut dia, untuk mengubah kultur seseorang mengenai mudik itu bisa dilakukan dengan pendekatan secara top down atau institutional approach kelembagaan. "Harusnya ketika sudah ada prosedur untuk pembatasan untuk mudik atau larangan mudik di lebaran tahun ini, itu juga disertai dengan prosedur yang jelas, aturannya juga klir, nah sanksinya juga jelas," katanya.
"Sanksi hukum itu saya pikir kalau memang diberlakukan dengan konsekuen, konsisten itu, ya itu bisa. Problemnya itu kan problem yang ada di Indonesia itu selalu mengenai konsistensi antara aturan dan implementasi daripada aturan tersebut," kata Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Nadia Yovani, Kamis (22/4/2021).
Diketahui, pemerintah melarang mudik bagi seluruh kalangan masyarakat, mulai dari karyawan BUMN, karyawan swasta, pegawai negeri sipil, anggota TNI-Polri, pekerja formal maupun informal, hingga masyarakat umum dalam rangka upaya pengendalian penyebaran Covid-19.
Dia menilai perlunya sanksi yang bisa membuat orang sadar bahwa pandemi Covid-19 belum tuntas. Menurut Nadia, aparat di lapangan tidak boleh mengambil ekses dari sanksi yang diberlakukan pemerintah atau harus konsisten. "Misalnya negosiasi gitu ya dengan aparat," ujarnya.
Nadia menilai sanksi sosial bagi pemudik yang nekat merupakan salah satu hal yang bisa dilakukan kalau memang kulturnya sudah terbentuk. "Lah kalau misalnya semuanya masih mengaminkan bahwa mudik Lebaran itu memang perlu untuk dilakukan, bagaimana mau melakukan sanksi sosial. Sanksi sosial yang bisa dilakukan paling di sosial media dengan meng-highlight tindakan-tindakan nekat dari pemudik misalnya," imbuhnya.
Kata Nadia, warganet Indonesia akan memberikan komentar negatif terhadap mereka yang nekat mudik. "(Komentar negatif netizen) itu sebenarnya sudah merupakan bentuk sanksi sosial sebenarnya dengan kita hidup di era digital seperti ini. Tapi yang diutamakan lebih kepada sanksi yang diberlakukan oleh pemerintah ketika warga masyarakat melanggar," katanya.
Nadia mengatakan, semua tahu bahwa mudik itu adalah aktivitas rutin yang dilakukan bertahun-tahun. Menurut dia, sebuah aktivitas sosial yang dilakukan secara rutin itu bisa dibilang sebagai budaya.
"Kalau kita bilang budaya itu dia sudah inheren kayak tertanam dalam dirinya dia. Kayak kita makan aja, bahwa sehari tuh makan tiga kali tuh, itu adalah keharusan, atau sehari dua kali kalau kebiasaan sehari dua kali. Atau kalau enggak makan nasi itu enggak afdol. Jadi, dia itu levelnya sudah sampai seperti itu, dia inheren di dalam pikiran manusia Indonesia itu sudah tertanam dan entah kenapa itu wajib untuk dilakukan," ungkapnya.
Dia berpendapat bahwa lonjakan mudik Lebaran merupakan lonjakan yang paling tinggi. "Pembatasan pada peak season pada musim yang sangat tinggi ini, itu kenapa harus dilakukan karena tadi, sifat daripada pandeminya itu sendiri begitu dia jumlahnya banyak, rentan untuk kemudian penyebaran besar atau orang terinfeksi untuk kena," ujarnya.
Menurut dia, untuk mengubah kultur seseorang mengenai mudik itu bisa dilakukan dengan pendekatan secara top down atau institutional approach kelembagaan. "Harusnya ketika sudah ada prosedur untuk pembatasan untuk mudik atau larangan mudik di lebaran tahun ini, itu juga disertai dengan prosedur yang jelas, aturannya juga klir, nah sanksinya juga jelas," katanya.
(zik)
tulis komentar anda