Soroti Rusuh Capitol Hill, Fahri Hamzah: Elite Jangan Membelah Masyarakat
Jum'at, 08 Januari 2021 - 10:30 WIB
JAKARTA - Mantan Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menyoroti kerusuhan di Capitol Hill, gedung Kongres Amerika Serikat (AS) di Washington DC pada Kamis (7/1) pagi oleh pendukung Presiden AS Donald Trump . Fahri membandingkannya dengan demonstrasi mahasiswa Indonesia pada Mei 1998, di mana pendemo berhasil menduduki gedung DPR RI Senayan.
(Baca juga : Sergio Ramos Gabung Liverpool, Mohamed Salah Pindah? )
"Ini komentar saya tentang situasi di AS yang acara visual itu terjadi persis sama dengan yang terjadi pada Mei 1998, sekitar 22 tahun lalu, di Indonesia ketika terjadinya pergantian pemerintahan," kata Fahri kepada wartawan di Jakarta, Jumat (8/1/2021).
"Memang kalau kita lihat bedanya, sama-sama pergantian pemerintahan, Donald enggan mengakui kekalahannya di Pilpres AS kemarin, kalai di Indonesia waktu itu juga rezim yang sudah berkuasa lama dan dianggap mahasiswa enggan mengundurkan diri," bebernya.
(Baca: Inggris Sebut Pernyataan dan Retorika Trump Penyebab Penyerbuan US Capitol)
Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gelora itu, pelajaran penting yang bisa ditarik yaitu kedua peristiwa ini bisa disebut sebagai proses politik yang menciptakan radikalisasi di tingkat rakyat. Kalau pada 1998, radikalisasi terjadi oleh kuatnya pemerintahan dan berkurangnya kebebasan, rakyat yang dipimpin oleh kekuatan mahasiswa mengambil inisiatif untuk melakukan kontrol terhadap gedung parlemen.
(Baca juga : Pengadilan Irak Keluarkan Perintah Penangkapan untuk Donald Trump )
Sementara yang terjadi di AS adalah ketidakpuasan pendukung Donald terhadap hasil pemilu, yang menyebabkan mereka menganggap bahwa kongres itu adalah penghambat bagi proses pemilu dan dianggap curang. "Kongres juga dianggap menjadi oposisi yang terlalu kuat terhadap presiden Donald Trump," imbuhnya.
(Baca juga : Inilah Rahasianya Khabib Nurmagomedov Tidak Terkalahkan di UFC )
(Baca juga : Sergio Ramos Gabung Liverpool, Mohamed Salah Pindah? )
"Ini komentar saya tentang situasi di AS yang acara visual itu terjadi persis sama dengan yang terjadi pada Mei 1998, sekitar 22 tahun lalu, di Indonesia ketika terjadinya pergantian pemerintahan," kata Fahri kepada wartawan di Jakarta, Jumat (8/1/2021).
"Memang kalau kita lihat bedanya, sama-sama pergantian pemerintahan, Donald enggan mengakui kekalahannya di Pilpres AS kemarin, kalai di Indonesia waktu itu juga rezim yang sudah berkuasa lama dan dianggap mahasiswa enggan mengundurkan diri," bebernya.
(Baca: Inggris Sebut Pernyataan dan Retorika Trump Penyebab Penyerbuan US Capitol)
Menurut Wakil Ketua Umum Partai Gelora itu, pelajaran penting yang bisa ditarik yaitu kedua peristiwa ini bisa disebut sebagai proses politik yang menciptakan radikalisasi di tingkat rakyat. Kalau pada 1998, radikalisasi terjadi oleh kuatnya pemerintahan dan berkurangnya kebebasan, rakyat yang dipimpin oleh kekuatan mahasiswa mengambil inisiatif untuk melakukan kontrol terhadap gedung parlemen.
(Baca juga : Pengadilan Irak Keluarkan Perintah Penangkapan untuk Donald Trump )
Sementara yang terjadi di AS adalah ketidakpuasan pendukung Donald terhadap hasil pemilu, yang menyebabkan mereka menganggap bahwa kongres itu adalah penghambat bagi proses pemilu dan dianggap curang. "Kongres juga dianggap menjadi oposisi yang terlalu kuat terhadap presiden Donald Trump," imbuhnya.
(Baca juga : Inilah Rahasianya Khabib Nurmagomedov Tidak Terkalahkan di UFC )
Lihat Juga :
tulis komentar anda