CFIRST: Diskusi Antariman Mestinya Jadi Ruang Terbuka Kedepankan Toleransi

Sabtu, 02 November 2024 - 22:46 WIB
Direktur Center for Inter-Religious Studies and Traditions (CFIRST) Arif Mirdjaja. Foto/Istimewa
JAKARTA - Direktur Center for Inter-Religious Studies and Traditions (CFIRST) Arif Mirdjaja mengingatkan kepolisian bahwa pasal penistaan agama telah dihapus dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Meskipun aturan tersebut belum sepenuhnya berlaku efektif.

Menurutnya, kendati KUHP baru ini masih dalam tahap transisi, semangatnya sudah seharusnya diimplementasikan oleh institusi penegak hukum untuk mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang dianggap menistakan agama.

Langkah ini, menurut Arif, adalah bentuk komitmen terhadap perlindungan hak asasi manusia yang sudah diamanatkan dalam konstitusi. Dia berpendapat bahwa interaksi dan diskusi antariman semestinya menjadi ruang terbuka untuk mengedepankan toleransi, bukan untuk dipidana.





"Diskusi yang sehat antarkeyakinan tidak seharusnya dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal lama yang sudah tidak relevan lagi," ujarnya, Sabtu (2/11/2024).

Arif menambahkan, dalam masyarakat plural, diskusi agama adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dilindungi dan harus dihormati selama tidak mengandung unsur kebencian atau pemaksaan. Prinsip ini penting untuk membangun harmoni dalam masyarakat yang memiliki keragaman agama seperti Indonesia.

Mantan Aktivis 98 ini menekankan bahwa dalam menerapkan KUHP baru, kepolisian tidak boleh terpengaruh oleh tekanan dari kelompok mayoritas atau kepentingan kelompok tertentu. "Interpretasi hukum tidak boleh dibentuk atas dasar desakan kelompok tertentu karena itu berpotensi membuat kepolisian dianggap tidak netral," jelasnya.

Sebagai lembaga negara, kepolisian memiliki kewajiban untuk menjaga netralitas dan melindungi seluruh warga negara tanpa memandang latar belakang keyakinan. Sikap netral ini disebutnya kunci untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum.

Selain itu, Arif mengingatkan bahwa kebebasan beragama dan kebebasan berbicara adalah hak asasi manusia yang diakui oleh konstitusi sebagai hak non-derogable atau hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apa pun. "Artinya, hak-hak ini bersifat mendasar dan harus tetap dihormati, baik dalam situasi normal maupun dalam keadaan krisis," ungkapnya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More