Perubahan Gelar Raja Yogyakarta Ditolak
A
A
A
YOGYAKARTA - Sabdaraja Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X tentang perubahan nama dan gelar Raja Keraton Yogyakarta ditolak keluarga Sultan HB I-IX. Mereka juga siap menggugat Kemendagri jika mengabulkan permohonan itu.
HB X memang telah membuat sabdaraja tentang perubahan nama dan gelar Raja Keraton Yogyakarta dari Sri Sultan Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawano. Bahkan, sang raja akan menyerahkan perubahan nama dan gelar tersebut ke Kementerian Dalam negeri (Kemendagri) untuk disahkan. Langkah itu dinilai adik-adik HB X sebagai kekhilafan sang raja. HB X dianggap telah keluar dari paugeran keraton.
Karena itu, beberapa kerabat keraton pun melakukan ziarah ke makan Ki Ageng Pamanahan di Kotagede, Yogyakarta, dan Ki Ageng Giring III di Desa Sodo, Paliyan, Gunungkidul, Yogyakarta. Mereka memohonkan ampunan dan maaf atas sikap Sri Sultan HB X. Beberapa kerabat keraton yang melakukan ziarah di antaranya GBPH Prabukusumo, GBPH Yudhaningrat, GBPH Candradiningrat, GBPH Cakraningrat, yang didampingi KRT Poerbokusumo atau yang dikenal dengan RM Acun Hadiwijoyo serta Raden Riyo Jaganegara.
”Kami memang sengaja melakukan ziarah. Kami memohonkan ampunan atas sikap Ngarso Dalem (HB X) atas sikapnya yang keluar dari paugeran keraton,” terang GBPH Prabukusumo, kemarin. Dia menjelaskan, sabda raja yang dikeluarkan Sri Sultan merupakan sebuah langkah yang keliru karena selama ratusan tahun, Raja Keraton Yogyakarta adalah Sri Sultan Hamengku Buwono, bukan Hamengku Bawono.
”Apalagi beliau menyebut akan memutus perjanjian Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring, kami datang untuk nyekar ke makam dua leluhur tersebut,” lanjutnya. Menurutnya, para kerabat keraton yang sengaja datang berziarah ini tanda rasa sayang dan hormat. Maka itu, dia berharap raja keraton Yogyakarta mau meminta maaf kepada Tuhan. ”Apalagi tidak mau lagi menjadi khalifatullah, dan tidak mau menggunakan kalimat salam secara islam,” imbuhnya.
Dalam kesempatan berziarah, para kerabat keraton juga sempat bertemu dua putri Sri Sultan HB X, GKR Pembayun dan GKR Bendara. Di depan Putri Sultan inilah, Prabukusumo mengaku memohonkan maaf atas sikap Sultan di depan putrinya.
”Saya memang menyampaikan kedatangan ziarah adalah untuk mohon maaf atas sikap Ngarso Dalem,” ucapnya. Menurut Gusti Prabu, sapaan akrab GBPH Prabukusumo, Mendagri juga tidak akan berani memutuskan perubahan nama yang disampaikan sang raja seperti dalam sabdaraja. ”Mendagri tidak akan berani memutuskan begitu saja. Kalau memutuskan dan menjadikannya sebagai produk hukum, (Kemendagri) akan di-PTUN-kan oleh keluarga dari HB I sampai bapak (HB IX),” tegasnya.
Gusti Prabu yakin Mendagri tidak akan gegabah mengambil keputusan seputar perubahan nama dan gelar Sri Sultan HB X. ”Mendagri tidak akan gegabah. Mendagri pasti akan mempelajari dan meminta masukan dari para sejarawan dan budayawan,” ungkapnya. Jika Mendagri akhirnya memutuskan untuk mengabulkan perubahan nama dan gelar tersebut, keluarga besar Sultan HB I sampai HB IX akan menggugat Mendagri ke PTUN. ”Kami lihat perkembangan nanti. Jika iya (Mendagri mengabulkan perubahan nama dan gelar), itu (gugatan ke PTUN) akan kami lakukan,” tegasnya.
Gusti Prabu berharap sang raja bisa legawa dengan kondisi yang ada. Dia mengaku khawatir kelembagaan Keraton Yogyakarta tercabik-cabik jika memaksakan sabdaraja itu. ”Kami harap (Sri Sultan HB X) bisa legawa,” pintanya. Sementara itu, sampai kemarin pihak DPRD DIY mengaku belum menerima surat resmi pemberitahuan mengenai sabdaraja tersebut dari Sri Sultan HB X. Padahal, sang raja berencana akan menyampaikan itu kepada DPRD dan Pemerintah Provinsi DIY pada Senin (4/5).
”Sampai sekarang (kemarin) belum ada surat masuk,” kata Wakil Ketua DPRD DIY Arif Noor Hartanto kemarin. Menurut dia, jika surat resmi mengenai sabdaraja itu telah sampai ke tangan DPRD, pihaknya akan langsung berkoordinasi dengan Pemda DIY. ”Institusi DPRD dan eksekutif (Pemprov DIY) harus solid menyikapi hal ini. Jika memungkinkan meminta keterangan resmi dari Sri Sultan HB X, itu akan kami lakukan,” kata Arif.
Politikus PAN itu juga mengaku menerima SMS dari berbagai kalangan mulai masyarakat umum, akademisi, dan elemen lain. Mereka seluruhnya menyayangkannya dan merasa khawatir dengan sabdaraja itu. Arifberpendapat, selain dikhawatirkan menghilangkan nilai spiritualnya, pergantian nama dan gelar itu juga akan berimplikasi terhadap keberadaan Undang-Undang Keistimewaan (UUK).
”Kami dinilai gagal menjalankan UUK DIY. Atau kemudian Sultan yang berganti gelar itu akhirnya dinyatakan tidak sesuai UUK yang artinya tidak memenuhi syarat (menjabat gubernur),” ungkapnya.
Ridwan anshori/ suharjono
HB X memang telah membuat sabdaraja tentang perubahan nama dan gelar Raja Keraton Yogyakarta dari Sri Sultan Hamengku Buwono menjadi Hamengku Bawano. Bahkan, sang raja akan menyerahkan perubahan nama dan gelar tersebut ke Kementerian Dalam negeri (Kemendagri) untuk disahkan. Langkah itu dinilai adik-adik HB X sebagai kekhilafan sang raja. HB X dianggap telah keluar dari paugeran keraton.
Karena itu, beberapa kerabat keraton pun melakukan ziarah ke makan Ki Ageng Pamanahan di Kotagede, Yogyakarta, dan Ki Ageng Giring III di Desa Sodo, Paliyan, Gunungkidul, Yogyakarta. Mereka memohonkan ampunan dan maaf atas sikap Sri Sultan HB X. Beberapa kerabat keraton yang melakukan ziarah di antaranya GBPH Prabukusumo, GBPH Yudhaningrat, GBPH Candradiningrat, GBPH Cakraningrat, yang didampingi KRT Poerbokusumo atau yang dikenal dengan RM Acun Hadiwijoyo serta Raden Riyo Jaganegara.
”Kami memang sengaja melakukan ziarah. Kami memohonkan ampunan atas sikap Ngarso Dalem (HB X) atas sikapnya yang keluar dari paugeran keraton,” terang GBPH Prabukusumo, kemarin. Dia menjelaskan, sabda raja yang dikeluarkan Sri Sultan merupakan sebuah langkah yang keliru karena selama ratusan tahun, Raja Keraton Yogyakarta adalah Sri Sultan Hamengku Buwono, bukan Hamengku Bawono.
”Apalagi beliau menyebut akan memutus perjanjian Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring, kami datang untuk nyekar ke makam dua leluhur tersebut,” lanjutnya. Menurutnya, para kerabat keraton yang sengaja datang berziarah ini tanda rasa sayang dan hormat. Maka itu, dia berharap raja keraton Yogyakarta mau meminta maaf kepada Tuhan. ”Apalagi tidak mau lagi menjadi khalifatullah, dan tidak mau menggunakan kalimat salam secara islam,” imbuhnya.
Dalam kesempatan berziarah, para kerabat keraton juga sempat bertemu dua putri Sri Sultan HB X, GKR Pembayun dan GKR Bendara. Di depan Putri Sultan inilah, Prabukusumo mengaku memohonkan maaf atas sikap Sultan di depan putrinya.
”Saya memang menyampaikan kedatangan ziarah adalah untuk mohon maaf atas sikap Ngarso Dalem,” ucapnya. Menurut Gusti Prabu, sapaan akrab GBPH Prabukusumo, Mendagri juga tidak akan berani memutuskan perubahan nama yang disampaikan sang raja seperti dalam sabdaraja. ”Mendagri tidak akan berani memutuskan begitu saja. Kalau memutuskan dan menjadikannya sebagai produk hukum, (Kemendagri) akan di-PTUN-kan oleh keluarga dari HB I sampai bapak (HB IX),” tegasnya.
Gusti Prabu yakin Mendagri tidak akan gegabah mengambil keputusan seputar perubahan nama dan gelar Sri Sultan HB X. ”Mendagri tidak akan gegabah. Mendagri pasti akan mempelajari dan meminta masukan dari para sejarawan dan budayawan,” ungkapnya. Jika Mendagri akhirnya memutuskan untuk mengabulkan perubahan nama dan gelar tersebut, keluarga besar Sultan HB I sampai HB IX akan menggugat Mendagri ke PTUN. ”Kami lihat perkembangan nanti. Jika iya (Mendagri mengabulkan perubahan nama dan gelar), itu (gugatan ke PTUN) akan kami lakukan,” tegasnya.
Gusti Prabu berharap sang raja bisa legawa dengan kondisi yang ada. Dia mengaku khawatir kelembagaan Keraton Yogyakarta tercabik-cabik jika memaksakan sabdaraja itu. ”Kami harap (Sri Sultan HB X) bisa legawa,” pintanya. Sementara itu, sampai kemarin pihak DPRD DIY mengaku belum menerima surat resmi pemberitahuan mengenai sabdaraja tersebut dari Sri Sultan HB X. Padahal, sang raja berencana akan menyampaikan itu kepada DPRD dan Pemerintah Provinsi DIY pada Senin (4/5).
”Sampai sekarang (kemarin) belum ada surat masuk,” kata Wakil Ketua DPRD DIY Arif Noor Hartanto kemarin. Menurut dia, jika surat resmi mengenai sabdaraja itu telah sampai ke tangan DPRD, pihaknya akan langsung berkoordinasi dengan Pemda DIY. ”Institusi DPRD dan eksekutif (Pemprov DIY) harus solid menyikapi hal ini. Jika memungkinkan meminta keterangan resmi dari Sri Sultan HB X, itu akan kami lakukan,” kata Arif.
Politikus PAN itu juga mengaku menerima SMS dari berbagai kalangan mulai masyarakat umum, akademisi, dan elemen lain. Mereka seluruhnya menyayangkannya dan merasa khawatir dengan sabdaraja itu. Arifberpendapat, selain dikhawatirkan menghilangkan nilai spiritualnya, pergantian nama dan gelar itu juga akan berimplikasi terhadap keberadaan Undang-Undang Keistimewaan (UUK).
”Kami dinilai gagal menjalankan UUK DIY. Atau kemudian Sultan yang berganti gelar itu akhirnya dinyatakan tidak sesuai UUK yang artinya tidak memenuhi syarat (menjabat gubernur),” ungkapnya.
Ridwan anshori/ suharjono
(ars)