Iran Masuki Babak Baru
A
A
A
Iran akan menjadi ”negara baru” selepas penandatanganan draf kesepakatan program nuklir antara Iran dan enam kekuatan dunia (P5+1) yang beranggotakan Amerika Serikat (AS), Prancis, Inggris, Rusia, China, dan Jerman.
Teheran akan bangkit dari keterpurukan akibat sanksi ekonomi dari AS dan negara Uni Eropa. Mereka akan menjadi kekuatan baru yang dapat menjadi ancaman bagi negara Arab lainnya, meskipun tanpa memiliki bom atom. Selama Iran terjerat dalam berbagai sanksi, perekonomian Iran porak-poranda.
Pembangunan berjalan sangat terhambat. Jarang investor asing yang mau masuk Iran. Imbasnya, rakyat yang menjadi korban. Shaul Baksash, profesor sejarah dari Universitas George Mason di Fairfax, Virginia, AS, mengungkapkan bahwa sanksi sangat merusak perekonomian Iran.
AS dan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Iran pada 1979, 1995, dan 2006. Pada 2012, Uni Eropa memberlakukan sanksi minyak Iran dan membekukan aset perbankan Iran. Akibatnya, pendapatan minyak Iran menurun separuhnya. Sistem perbankan Iran tidak terkoneksi dengan pasar internasional. Industri manufaktur tidak mendapatkan pasokan suku cadang. Fasilitas medis sangat terbatas.
Riyal Iran harus terdepresiasi dua pertiga terhadap dolar AS. Pemerintah Iran di bawah kepemimpinan Presiden Rouhani mampu meyakinkan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Khamenei bahwa Iran harus melakukan reformasi politik dan mengubah sikap Iran di panggung dunia.
Keinginan Rouhani itu dibuktikan dengan kompromi dalam program nuklir Iran dengan imbalan yang lebih besar. ”Pencabutan sanksi perbankan akan mengubah segalanya,” kata Khadijeh Karimi, konsultan ekonomi, kepada Al Jazeera. Karimi menjelaskan, harga berbagai komoditas, terutama barang teknologi tinggi, mesin industri minyak, dan perlengkapan pesawat, akan menurun tajam. Iran tidak lagi mengandalkan pembelian dari pihak ketiga. ”Investasi asing akan meningkatkan, perekonomian akan tumbuh pesat,” tambahnya.
Dengan pencabut sanksi ekonomi, menurut Yahya al-Eshaq, kepala Kamar Dagang Teheran, Iran dapat mengakses aset industri senilai lebih dari USD100 miliar yang berada di luar negeri. Umumnya aset tersebut tersebar di China, India, dan Jepang dalam bentuk rekening di bank asing. Iran juga masih menyimpan lebih dari 30 juta barel minyak.
Selama sanksi ekonomi, Iran tidak mampu menjual minyaknya ke China, Jepang, Korea Selatan, dan India. ”Ketika sanksi dicabut, Iran akan mampu menjual minyak ke pasar dunia,” kata Vahid Amiri, analis industri minyak. Sangat nyata sekali bahwa kesepakatan dengan P5+1 bukan hanya mengubah ekonomi Iran semata.
Kesepakatan itu juga mengubah segalanya di Iran, baik politik, sosial, finansial, maupun budaya. Rakyat Iran tidak perlu khawatir untuk tidak mendapatkan visa. Mereka akan bebas bepergian ke berbagai negara. ”Kita juga dapat mengajukan beasiswa kuliah di Eropa,” kata Azadeh Rajaei, dosen bahasa Prancis di Kota Babolsar, Iran.
Menurut Rajaei, dengan keuntungan ekonomi, rakyat Iran akan dihargai komunitas internasional. Kamis (2/4) lalu, Iran dan P5+1 menandatangani kesepakatan pembatasan program nuklir Iran di Lausanne, Swiss. Intinya, Iran harus membatasi program nuklir. Sebagai imbalan, berbagai sanksi ekonomi Iran dicabut.
Kesepakatan nuklir Iran mengatur kewajiban Teheran harus mengurangi dua pertiga sentrifugal yang dapat digunakan untuk mengayakan uranium untuk membuat bom. Iran juga wajib mengubah pembangkit listrik sehingga tidak mampu memproduksi plutonium. Teheran juga diwajibkan memperbolehkan inspektur asing untuk melakukan investigasi.
Negeri Para Mullah itu juga tidak boleh mengayak uranium lebih dari 3,67% dalam kurun waktu 15 tahun. Presiden Iran Hassan Rouhani bertekad untuk mematuhi seluruh ketentuan kesepakatan awal tentang nuklir. ”Dunia mesti tahu bahwa kami tak berniat untuk curang,” tutur Rouhani.
Namun, Rouhani memperingatkan bahwa Iran akan memiliki pilihan-pilihan lain jika negara-negara besar dunia itu suatu hari memutuskan untuk menempuh jalan lain. Iran, kata Rouhani, tidak bermuka dua dan akan menghormati segala bentuk kesepakatan akhir.
”Jika pihak lain berperilaku sebagaimana yang dijanjikan, Iran akan patuh pada apa yang kami janjikan. Namun jika suatu hari mereka memutuskan untuk menempuh jalan yang berbeda, negeri kita pun akan selalu bebas untuk membuat pilihan,” imbuhnya.
Kesuksesan atau Bumerang Obama?
Kesuksesan kesepakatan program nuklir Iran merupakan legasi yang ingin ditinggalkan Presiden AS Barack Obama di akhir masa pemerintahannya. Kesepakatan itu merupakan kemenangan diplomatik yang sangat besar. Itu juga menandai penurunan ketegangan antara Washington dan Teheran yang telah terjadi lebih dari beberapa dekade lamanya.
”Pemerintahan Obama ingin Iran bersikap seperti negara lainnya. Presiden Iran Hassan Rouhani juga menginginkan hubungan yang lebih baik denganAS. Bagaimanapun, keduabelah pihak juga menghadapi perlawanan di dalam negerinya,” kata Alireza Nader, analis kebijakan internasional RAND Corp, kepada Al Jazeera.
Washington dan Iran terjebak dalam hubungan yang memanas sejak Revolusi Islam 1979 dan pengambilalihan Kedutaan Besar AS di Teheran. ”Seluruhnya, selama 35 tahun, hubungan AS dan Iran selalu tegas. Ini (kesepakatan nuklir) merupakan kesempatan yang besar,” kata Gary Sick, profesor kajian internasional di Universitas Columbia di New York, AS.
Para analis memandang kesepakatan nuklir itu bukan sebagai jaminan dalam pemulihan hubungan diplomatik kedua negara. Kesepakatan itu justru akan menjadi bumerang bagi Obama dalam kebijakannya di Timur Tengah. Hasil perundingan nuklir di Lausanne, Swiss itu justru akan melemahkan aliansi AS di kawasan Arab.
Pasalnya, Iran juga terlibat dalam banyak konflik di Timur Tengah, seperti Irak, Suriah, dan Yaman. Apalagi berbagai negara Arab yang berseberangan dengan Iran, juga masih menganggap Teheran sebagai musuh yang membahayakan. ”Keterbukaan Iran seharusnya membuat perubahan dalam peta politik,” ungkap Andrew Bacevich, penulis dan pakar militer dari Universitas Boston.
Washington harus meyakinkan aliansi Arabnya, khususnya Arab Saudi dan beberapa negara Teluk lainnya, untuk menjadi mitra yang sanggup menghadapi Iran di kawasan. ”Kesempatan nuklir Iran akan memperkuat Iran di kawasan,” ungkap Aaron David Miller, peneliti di Wilson Center, thinktankWashington.
Untuk itu, AS harus memberikan kesempatan bagi Arab Saudi untuk berkembang agar bisa bersaing dengan Iran. Contohnya, AS harus mendukung operasi militer Saudi di Yaman. Itu cara terbaik untuk membendung hegemoni Iran di Timur Tengah. Negara Arab juga sudah menyadari kalau pertahanan mereka akan diperkuat seiring dengan kesepakatan nuklir Iran itu.
”Belanja pertahanan akan meningkat tajam di berbagai negara Teluk meskipun harga minyak mengalami penurunan,” kata Meir Javedanfar, peneliti kelahiran Iran yang tinggal di Israel, dikutip Washington Post. Mereka ingin membendung pengaruh di Iran di kawasan.
Andika hendra m/ Arvin
Teheran akan bangkit dari keterpurukan akibat sanksi ekonomi dari AS dan negara Uni Eropa. Mereka akan menjadi kekuatan baru yang dapat menjadi ancaman bagi negara Arab lainnya, meskipun tanpa memiliki bom atom. Selama Iran terjerat dalam berbagai sanksi, perekonomian Iran porak-poranda.
Pembangunan berjalan sangat terhambat. Jarang investor asing yang mau masuk Iran. Imbasnya, rakyat yang menjadi korban. Shaul Baksash, profesor sejarah dari Universitas George Mason di Fairfax, Virginia, AS, mengungkapkan bahwa sanksi sangat merusak perekonomian Iran.
AS dan Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) memberlakukan sanksi ekonomi terhadap Iran pada 1979, 1995, dan 2006. Pada 2012, Uni Eropa memberlakukan sanksi minyak Iran dan membekukan aset perbankan Iran. Akibatnya, pendapatan minyak Iran menurun separuhnya. Sistem perbankan Iran tidak terkoneksi dengan pasar internasional. Industri manufaktur tidak mendapatkan pasokan suku cadang. Fasilitas medis sangat terbatas.
Riyal Iran harus terdepresiasi dua pertiga terhadap dolar AS. Pemerintah Iran di bawah kepemimpinan Presiden Rouhani mampu meyakinkan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Khamenei bahwa Iran harus melakukan reformasi politik dan mengubah sikap Iran di panggung dunia.
Keinginan Rouhani itu dibuktikan dengan kompromi dalam program nuklir Iran dengan imbalan yang lebih besar. ”Pencabutan sanksi perbankan akan mengubah segalanya,” kata Khadijeh Karimi, konsultan ekonomi, kepada Al Jazeera. Karimi menjelaskan, harga berbagai komoditas, terutama barang teknologi tinggi, mesin industri minyak, dan perlengkapan pesawat, akan menurun tajam. Iran tidak lagi mengandalkan pembelian dari pihak ketiga. ”Investasi asing akan meningkatkan, perekonomian akan tumbuh pesat,” tambahnya.
Dengan pencabut sanksi ekonomi, menurut Yahya al-Eshaq, kepala Kamar Dagang Teheran, Iran dapat mengakses aset industri senilai lebih dari USD100 miliar yang berada di luar negeri. Umumnya aset tersebut tersebar di China, India, dan Jepang dalam bentuk rekening di bank asing. Iran juga masih menyimpan lebih dari 30 juta barel minyak.
Selama sanksi ekonomi, Iran tidak mampu menjual minyaknya ke China, Jepang, Korea Selatan, dan India. ”Ketika sanksi dicabut, Iran akan mampu menjual minyak ke pasar dunia,” kata Vahid Amiri, analis industri minyak. Sangat nyata sekali bahwa kesepakatan dengan P5+1 bukan hanya mengubah ekonomi Iran semata.
Kesepakatan itu juga mengubah segalanya di Iran, baik politik, sosial, finansial, maupun budaya. Rakyat Iran tidak perlu khawatir untuk tidak mendapatkan visa. Mereka akan bebas bepergian ke berbagai negara. ”Kita juga dapat mengajukan beasiswa kuliah di Eropa,” kata Azadeh Rajaei, dosen bahasa Prancis di Kota Babolsar, Iran.
Menurut Rajaei, dengan keuntungan ekonomi, rakyat Iran akan dihargai komunitas internasional. Kamis (2/4) lalu, Iran dan P5+1 menandatangani kesepakatan pembatasan program nuklir Iran di Lausanne, Swiss. Intinya, Iran harus membatasi program nuklir. Sebagai imbalan, berbagai sanksi ekonomi Iran dicabut.
Kesepakatan nuklir Iran mengatur kewajiban Teheran harus mengurangi dua pertiga sentrifugal yang dapat digunakan untuk mengayakan uranium untuk membuat bom. Iran juga wajib mengubah pembangkit listrik sehingga tidak mampu memproduksi plutonium. Teheran juga diwajibkan memperbolehkan inspektur asing untuk melakukan investigasi.
Negeri Para Mullah itu juga tidak boleh mengayak uranium lebih dari 3,67% dalam kurun waktu 15 tahun. Presiden Iran Hassan Rouhani bertekad untuk mematuhi seluruh ketentuan kesepakatan awal tentang nuklir. ”Dunia mesti tahu bahwa kami tak berniat untuk curang,” tutur Rouhani.
Namun, Rouhani memperingatkan bahwa Iran akan memiliki pilihan-pilihan lain jika negara-negara besar dunia itu suatu hari memutuskan untuk menempuh jalan lain. Iran, kata Rouhani, tidak bermuka dua dan akan menghormati segala bentuk kesepakatan akhir.
”Jika pihak lain berperilaku sebagaimana yang dijanjikan, Iran akan patuh pada apa yang kami janjikan. Namun jika suatu hari mereka memutuskan untuk menempuh jalan yang berbeda, negeri kita pun akan selalu bebas untuk membuat pilihan,” imbuhnya.
Kesuksesan atau Bumerang Obama?
Kesuksesan kesepakatan program nuklir Iran merupakan legasi yang ingin ditinggalkan Presiden AS Barack Obama di akhir masa pemerintahannya. Kesepakatan itu merupakan kemenangan diplomatik yang sangat besar. Itu juga menandai penurunan ketegangan antara Washington dan Teheran yang telah terjadi lebih dari beberapa dekade lamanya.
”Pemerintahan Obama ingin Iran bersikap seperti negara lainnya. Presiden Iran Hassan Rouhani juga menginginkan hubungan yang lebih baik denganAS. Bagaimanapun, keduabelah pihak juga menghadapi perlawanan di dalam negerinya,” kata Alireza Nader, analis kebijakan internasional RAND Corp, kepada Al Jazeera.
Washington dan Iran terjebak dalam hubungan yang memanas sejak Revolusi Islam 1979 dan pengambilalihan Kedutaan Besar AS di Teheran. ”Seluruhnya, selama 35 tahun, hubungan AS dan Iran selalu tegas. Ini (kesepakatan nuklir) merupakan kesempatan yang besar,” kata Gary Sick, profesor kajian internasional di Universitas Columbia di New York, AS.
Para analis memandang kesepakatan nuklir itu bukan sebagai jaminan dalam pemulihan hubungan diplomatik kedua negara. Kesepakatan itu justru akan menjadi bumerang bagi Obama dalam kebijakannya di Timur Tengah. Hasil perundingan nuklir di Lausanne, Swiss itu justru akan melemahkan aliansi AS di kawasan Arab.
Pasalnya, Iran juga terlibat dalam banyak konflik di Timur Tengah, seperti Irak, Suriah, dan Yaman. Apalagi berbagai negara Arab yang berseberangan dengan Iran, juga masih menganggap Teheran sebagai musuh yang membahayakan. ”Keterbukaan Iran seharusnya membuat perubahan dalam peta politik,” ungkap Andrew Bacevich, penulis dan pakar militer dari Universitas Boston.
Washington harus meyakinkan aliansi Arabnya, khususnya Arab Saudi dan beberapa negara Teluk lainnya, untuk menjadi mitra yang sanggup menghadapi Iran di kawasan. ”Kesempatan nuklir Iran akan memperkuat Iran di kawasan,” ungkap Aaron David Miller, peneliti di Wilson Center, thinktankWashington.
Untuk itu, AS harus memberikan kesempatan bagi Arab Saudi untuk berkembang agar bisa bersaing dengan Iran. Contohnya, AS harus mendukung operasi militer Saudi di Yaman. Itu cara terbaik untuk membendung hegemoni Iran di Timur Tengah. Negara Arab juga sudah menyadari kalau pertahanan mereka akan diperkuat seiring dengan kesepakatan nuklir Iran itu.
”Belanja pertahanan akan meningkat tajam di berbagai negara Teluk meskipun harga minyak mengalami penurunan,” kata Meir Javedanfar, peneliti kelahiran Iran yang tinggal di Israel, dikutip Washington Post. Mereka ingin membendung pengaruh di Iran di kawasan.
Andika hendra m/ Arvin
(ftr)