Semarak Tanpa Ogoh-ogoh

Senin, 23 Maret 2015 - 10:35 WIB
Semarak Tanpa Ogoh-ogoh
Semarak Tanpa Ogoh-ogoh
A A A
SEMERBAK dupa bakar menyengat di Lager Moosbad, Altdorf, Uri, Swiss, Jumat (20/3) petang. Warga sekitar yang kebetulan jalan-jalan sore di kawasan yang dikepung tebing Gunung Alpen itu menyempatkan diri menengok sumber wewangian itu.

Apalagi, di pelataran gedung kayu tersebut terpasang beberapa ornamen Bali. Usut punya usut, ”ketidakwajaran” suasana pinggiran desa tersebut tak lepas dari kegiatan Kelompok Bale Banjar, komunitas Bali di Swiss. ”Kami memang sedang menyiapkan perayaan Nyepi. Sudah menjadi kewajiban bagi kami untuk menyiapkan air suci,” tutur Made Yasa.

Proses pembuatan air suci itulah, mengharuskan laki-laki asal Bali yang kini menetap di Bern, membakar dupa, kemenyan dan kulit pohon gaharu, yang baunya memendar hingga ke mana-mana. ”Kalau dupa bisa dibeli di sini, kalau kemenyan harus diimpor langsung dari Denpasar,” tegas Made Yasa. Rekan sesama Bali yang lain, terutama kalangan ibu-ibu, sibuk menata buah, kue dan bunga menjadi susunan nan indah di atas nampan kayu.

”Tidak semua bisa didapatkan di sini, tapi kami berusaha sesempurna mungkin melakukan ini,” kata Nyoman, wanita asal Bangli yang kini menetap di Zurich. Untuk melasti, ritual Hindu yang di Bali dilakukan di pantai, karena di Swiss tidak ada laut, mau tak mau, mereka melakukannya di danau.

”Asal aliran airnya ke laut,” tutur Gede Suartana, ketua Bale Banjar. Karena alasan keamanan, terutama kekhawatiran terjadinya kebakaran, pembakaran dupa tidak boleh dilakukan di dalam gedung. Ogoh-ogoh juga absen, sementara gamelan cukup diputar dari cakram padat di tape recorder. ”Tidak ada masalah dengan ketidaklengkapan itu, semua bisa disesuaikan, yang penting adalah niatnya,” tambah Dominique, laki-laki asli Swiss yang bertugas memimpin doa.

Toh, sebagaimana dikatakan Dominque, adanya berbagai keterbatasan itu tidak membuat perayaan Nyepi kehilangan jati dirinya. Menjelang senja, ketika sesajian sudah tertata rapi, komunitas Bali yang tadinya berpakaian biasa, mulai berganti destar putih kuning, sementara kaum wanita mengenakan kain kebaya warna warni. Ketika upacara dimulai, semua tampak khusyuk dan khidmat.

Keterbatasan persiapan yang dihadapi komunitas ini malam itu sama sekali tidak terlihat lagi. Sebaiknya, wajah damai dan berseri-seri tampak memendar di komunitas ini. ”Tentu saja kami sangat senang bisa melakukan perayaan Nyepi bersama komunitas Bali di sini,” kata Sascha Meier, laki-laki Swiss yang memeluk agama Hindu. Apalagi, inilah perayaan Nyepi paling besar di Swiss.

”Dulu kami hanya bisa merayakannya di rumah karena tanggalnya tidak pas libur di Swiss. Kali ini jatuh di hari Jumat, weekend, jadi bisa dirayakan bersama sama,” kata Gede Suartana.

Laporan Koresponden Koran Sindo
Krisna Diantha
SWISS
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7421 seconds (0.1#10.140)